Olimpiade Tokyo belum dimulai sampai akhir bulan ini. Tetapi karena pembatasan COVID-19, sebagian media mencap Olimpiade sebagai “Olimpiade yang Tidak Menyenangkan.” Tim VOA melihat bagaimana pembatasan pandemi itu memberi tantangan unik bagi para atlet Olimpiade.
Courtney Frerichs akan segera bertanding di Tokyo melawan beberapa pelari tercepat di dunia. Tetapi seperti tiap atlet yang bersiap untuk Olimpiade Musim Panas, fokus mereka tidak hanya pada bertanding.
BACA JUGA: Ibu Negara Jill Biden akan Pimpin Delegasi AS di Olimpiade TokyoFrerichs, pelari jarak menengah dari Amerika, juga menghabiskan hari-hari terakhir latihannya untuk memastikan ia mematuhi serangkaian aturan pandemi yang rumit. “Kami baru saja meninjau peraturan dan segalanya untuk memastikan bahwa kami memenuhi syarat yang tertera di formulir dan menyelesaikan semua hal ... dan di atas semua itu, memahami peraturan pelacakan kontak. Banyak hal,” tukasnya.
Frerichs berbicara kepada VOA melalui telepon baru-baru ini di sela-sela latihannya di Portland, Oregon. Ia cepat menunjukkan bahwa ia mengerti mengapa aturan-aturan itu perlu. “Ini masalah yang cukup serius. Kita masih dalam pandemi dunia. Tetapi aturan itu pasti menambah stres untuk semuanya.”
Peraturan resmi untuk para atlet itu ditulis dalam 70 halaman "Playbook," yang pada dasarnya seperti hal besar yang tidak menyenangkan.
Satu bagian memperingatkan: “Anda harus makan sendiri sebanyak mungkin. Aturan lain berbunyi: "Anda tidak boleh berjalan keliling kota."
Pelukan, tos, dan jabat tangan semuanya dilarang. Minuman berkadar alkohol juga tidak diperbolehkan, kecuali jika atlet meminumnya di dalam kamar mereka.
BACA JUGA: Tokyo, Okinawa Berlakukan Keadaan Darurat Hingga 22 AgustusAtlet juga harus menyerahkan “rencana kegiatan” yang terperinci, menjelaskan di mana mereka berada setiap waktu, setiap hari.
Setelah atlet selesai bertanding, mereka harus meninggalkan Jepang dalam waktu 48 jam.
Karena acara itu diadakan di tengah pandemi, sebagian media mencapnya sebagai Olimpiade yang “tidak menyenangkan”.
Jack Tarrant adalah wartawan lepas yang berkantor di Tokyo. Ia meliput acara olimpiade. “Berada di sini dua minggu sebelum Olimpiade dimulai, hampir tidak ada semangat sama sekali. Tidak meriah. Segala jenis spanduk atau tanda-tanda penyambutan untuk pengunjung dan atlet asing, hanya sedikit yang kita lihat di jalanan, ... Ini benar-benar sangat tidak biasa dan berbeda dari Olimpiade lainnya yang pernah saya alami.”
Jajak pendapat menunjukkan, sebagian besar orang Jepang menentang penyelenggaraan Olimpiade, yang sudah ditunda setahun karena pandemi. Kekhawatiran meningkat setelah penularan COVID-19 melonjak baru-baru ini, yang mendorong keadaan darurat di Tokyo.
Itu sangat kontras dari Olimpiade lainnya, di mana perayaan adalah unsur utama, bahkan untuk atlet. Namun mantan perenang Olimpiade dari Selandia Baru, David Gerrard mengatakan, fokusnya pada pertandingan.
"Siapa pun yang menganggap ini 'Olimpiade yang membosankan' benar-benar salah paham tentang apa sebenarnya Olimpiade itu,” kata Gerrard.
Gerrard seharusnya tahu. Ia pertama kali bertanding di Olimpiade Tokyo tahun 1964. Ini akan menjadi Olimpiade Musim Panas ke-11 yang ia ikuti. Tahun ini ia akan bekerja dalam tim medis. “Mereka bukanlah orang yang ingin berwisata atau berbelanja. Mereka adalah kelompok atlet terbaik dunia yang berada di sana untuk melakukan yang terbaik dengan kemampuan mereka,” tambahnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Tetapi apakah peraturan-peraturan itu, dan terutama stadion yang kosong berarti para atlet akan kurang semangat dalam menghadapi pertandingan yang spektakuler?
Belum tentu. Selama satu setengah tahun pandemi, para atlet kini terbiasa tampil tanpa penonton penggemarnya, kata Frerichs.
Sementara ia mengatakan akan ada unsur yang hilang, ia menantikan tantangan fisik dan mental.
Frerichs mengatakan, ia menganggap Olimpiade seperti perjalanan bisnis, tidak seperti sesuatu yang diimpikan. Namun seperti banyak atlet lain, ia bersyukur Olimpiade bisa berlangsung. [ps/ka]