Sekitar tahun 2016, set designer atau desainer ruang, Teddy Setiawan, mendapat rekomendasi sebuah novel berjudul “Crazy Rich Asians” dari seorang teman dan langsung jatuh cinta dengan ceritanya. Biasa bertugas mendesain gambar sebuah bangunan atau ruangan yang dipakai untuk lokasi syuting film asing, Teddy langsung membayangkan betapa cantiknya jika cerita dalam novel karya penulis asal Singapura, Kevin Kwan, itu bisa dijadikan sebuah film.
Siapa yang menyangka, selang satu tahun kemudian Teddy dipercaya untuk mengangkat kemegahan dan keglamoran bangunan yang diceritakan dalam novel tersebut ke layar lebar. Walaupun merasa “girang bukan kepalang,” begitu katanya saat dihubungi oleh VOA Indonesia, Teddy merasakan adanya beban mental tersendiri.
“Karena ketika saya baca bukunya, saya sudah membayangkan setnya ‘oh ini akan sangat cantik sekali apabila dijadikan sebuah film.’ Tapi dari situ pula mungkin ekspektasi pribadi ya, mungkin karena ekspektasi pribadi dan gambaran yang sudah saya punya saat membaca bukunya, di situ ada beban tersendiri saat saya dipanggil untuk mendesain set untuk filmnya,” papar pria kelahiran tahun 1980 ini.
Film Crazy Rich Asians yang sukses di Box Office Amerika bercerita tentang lika-liku kehidupan keluarga kaya raya di Singapura. Film ini ber-setting di Amerika dan Singapura. Selama kurang lebih tiga bulan, Teddy dan seorang desainer ruang lain yang berasal dari Kanada, Kyle White, bekerja langsung dengan production designer Nelson Coates dan tim untuk membangun setiap sudut ruangan yang sangat identik dengan kebudayaan Asia, secara detil. Tantangannya? Hampir seluruh proses syuting harus dilakukan di Malaysia.
“Betul, untuk semua rumahnya dari mulai Tyersall Park (Red: rumah kediaman keluarga Young) itu kita shoot di Malaysia juga kita ubah. Jadi itu adalah guest house, semacam wisma kenegaraan Malaysia yang telah lama kosong dan tidak terawat, lalu kita renovasi dan kita perbaiki sampai jadi seperti di film. Itu di handle oleh kami berdua, saya dan Kyle, set designer dari kanada. Lalu Kyle menangani set bachelor party, kebetulan saya kebagian untuk pesta pernikahannya yang di Singapura, di gereja maupun yang di Gardens by the Bay,” ujar lulusan fakultas seni rupa dan desain dari Institut Teknologi Bandung ini.
Tantangan yang dihadapi oleh Teddy pun tidak berhenti di situ saja. Beberapa adegan yang menceritakan dua tokoh utama dalam film ini, yaitu Nick Young dan Rachel Chu, yang ber-setting di kota New York pun juga harus ia pindah ke Malaysia.
“Jadi Rachel Chu ngajar di universitas di New York, lalu kafe di New York, bahkan JFK (John F. Kennedy International Airport), itu kita shoot semua di Malaysia. Kita juga mendesain dan membangun keseluruhan set pesawat yang ditumpangi oleh Nick dan Rachel dari New York ke Singapura,” cerita Teddy.
Your browser doesn’t support HTML5
Selesai di Malaysia, Teddy dan tim bergegas ke Singapura untuk membangun lokasi syuting untuk adegan pernikahan kawan Nick. Mereka pun berpacu dengan waktu untuk mempersiapkan semuanya. Ide awal dari desain yang digambar oleh Teddy sudah siap untuk dibangun di sana.
“Tantangannya biasa waktu ya, tergantung jenis filmnya. Kadang untuk beberapa film yang kita cukup asing yang referensinya cukup asing, kita harus melakukan banyak riset dalam waktu sangat singkat. Selain itu adaptasi dengan tim yang hampir selalu baru di setiap pekerjaan,” kata desainer yang gemar membaca ini.
Pilihan lokasi upacara pernikahan jatuh kepada CHIJMES, restoran dan bar dengan bangunan berbentuk seperti gereja yang sudah berdiri sejak tahun 1904 di Singapura. Tempat tersebut berhasil disulap menjadi taman kecil yang menjadi tema upacara pernikahannya, hanya dalam waktu 30 jam saja. Dari situ berlanjut ke adegan resepsi pernikahan yang berlangsung di tempat favorit turis mancanegara, Gardens by the Bay.
“Production Designer akan muncul dengan ide awalnya. Biasanya beliau akan menunjukkan, ‘oke kira-kira saya mau set-nya terlihat kira-kira seperti ini, mood-nya seperti ini, dengan memberi beberapa referensi. Lalu dari situ set designer akan buat riset lebih mendalam dan mulai mendesain set-nya,” jelas Teddy.
Detil di setiap sudut pun harus diperhatikan keasliannya, seperti misalnya dinding yang dihiasi kaligrafi dan puisi yang diangkat dari kebudayaan China, lalu juga ada benda dan artifak yang harus dipesan dari berbagai negara, seperti harimau imitasi yang adalah karya seorang seniman asal Thailand. Harimau imitasi tersebut sempat dicurigai di bagian bea cukai karena terlihat sangat asli, mengingat harimau yang diawetkan adalah barang terlarang. Selain harimau tersebut, ada juga barang-barang yang dipesan dari Indonesia seperti beberapa ukiran dan kandang ayam kate.
Karir Sebagai Desainer Ruang Untuk Film
Ini bukan pertama kalinya Teddy terlibat sebagai desainer ruang untuk film asing. Ia pernah ikut dalam penggarapan film Beirut, Beyond Skyline, Joker Game, 1965, dan serial Netflix, Marco Polo. Keterlibatan Teddy bermula ketika ia ikut dalam penggarapan beberapa film asing yang melakukan syuting di Indonesia, salah satunya film Black Hat yang dibintangi oleh aktor Chris Hemsworth. Kala itu Teddy dipercaya untuk menjadi seorang set dresser.
Your browser doesn’t support HTML5
“Jadi kita yang mendekor ruangannya, dengan mulai dari korden, mulai dari furnitur, lampu dan aksesori lainnya,” jelas pria yang juga pernah menjadi desainer untuk ruang pameran ini.
Profesinya sebagai seorang desainer ruang telah membawanya ke berbagai negara. Saat dihubungi VOA Indonesia, Teddy sedang berada di Maroko untuk menyelesaikan proyek terbarunya.
“Jadi di maroko saya sedang mengerjakan satu film Hollywood lagi, tepatnya di kota Marrakech dan ada beberapa kota lain nanti di Maroko. Judulnya John Wick 3,” kata alumni SMA Kanisius Jakarta ini.
Tentunya hasil kerja kerasnya ini memerlukan kegigihan yang tinggi, mengingat menurut Teddy, industri yang ia tekuni cukup menantang.
“Untuk skill teknis itu dituntut untuk bisa menggambar teknik yaitu menggambar untuk dibangun, semacam gambar teknik arsitektur dan desain. Selain itu saya selalu bilang sih jadi pribadi yang tulus ya dan baik karena di industri ini pastinya kita akan selalu bertemu orang-orang yang berbeda dari latar belakang yang berbeda. Dan karena tuntutannya tinggi dan semua orang ingin targetnya tercapai jadi ya untuk bisa mewujudkan itu kita harus ks dengan baik ya, jadi jangan gontok-gontokan gitu,” pungkas Teddy menutup wawancara dengan VOA. [di]