Lahir di Magelang tahun 1996 dari seorang ibu Jepang dan ayah Indonesia, seniman Utami Atashi Ishii mulai aktif berkarya sejak 2014.
Utami yang beraliran abstrak, menekuni karya lukisnya dengan mikroskop seperti di laboratoium. Ia mencermati jamur dengan mikroskop dan kemudian apa yang dilihatnya melalui mikroskop itu, ia lukis di atas kanvas.
“Sambal kan biasanya merah warnanya. Tetapi setelah saya teliti melalui mikroskop, ternyata ada warna biru sedikit, hijau dan hitam sedikit, ada bintik-bintik putihnya. Jadi saya capture juga dari hasil mikroskop itu. Terus ada karya terbaru saya yang ukurannya dua kali dua meter itu, hasil dari representasi sambel itu. Saya ambil beberapa bagian seperti tektur, warnanya dan saya padukan di kanvas." papar Utami.
Namun dalam pameran kali ini, Utami menampilkan karya “Sambal”-nya dengan teknologi, yang dipamerkan dalam Media Art Global (MAG) di Austria.
Mengapa ia mengambil tema “Sambal”? Utami yang baru saja lulus dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta mengatakan kepada VOA: “Karena sambal itu dari Sabang sampai Merauke, ada di Indonesia dan menurut saya sangat menarik untuk diperkenalkan ke dunia”.
Warisan 300 Jenis Sambal
Dari 322 jenis sambal yang terdapat di Indonesia, sepuluh di antaranya ia tampilkan dalam pameran itu.
“Dari karya saya itu, ada preparat kaca yang isinya sambel trasi, sambel colo-colo, sambel bawang, sambel ijo, sambal tomat, terong, sambal teri, sambal udang, sambah mentah dan sambal matah," katanya.
“Saya bikin konsep dan hubungi beberapa seniman yang menurut saya menarik dan sesuai tema. Seniman new media art karena mereka bergerak tidak dengan lukisan, tetapi melukis dengan teknologi. Saya ngobrol dengan Utami sesuatu yang berkaitan dengan warisan budaya Indonesia. Akhirnya saya memilih rempah-rempah untuk dipadukan dengan sains dan teknologi. Dan Utami waktu itu mengusulkan sambal sebagai ciri khas Indonesia," ujar Kurator pameran, Mona Liem, tamatan Zurich University of Arts yang kini tinggal di Swiss.
Maka jadilah sebuah karya dari Utami yang dipamerkan dengan seni yang menghasilkan suara atau sound art. Suara lombok, terung, tomat, bawang, dll yang menjadi bahan utama sambal, dihasilkan dengan peralatan elektronk. Kemudian suara-suara itu ia padukan dengan video cara membuat sambal.
Rendang dan Nasi goreng
Pameran diikuti puluhan negara, di antaranya Polandia, AS, Jerman, Prancis, Italia, Jepang, dan China. Karya seni yang bermuatan teknologi dijital itu menarik bagi penonton pameran yang diadakan pertengahan September lalu secara virtual di Austria.
Your browser doesn’t support HTML5
“Jadi menariknya acara kami itu, kami bekerja sama dengan banyak pihak yang masih prototip, yang masih bereksperimen. Nah proyek kami berkelanjutan, kalau seni lukis kan sudah jadi, selesai. Kami terus mengembangkannya, mungkin dalam tahap-tahap finalnya, nanti suara yang dihasilkan bisa beragam."
Menurut Mona Liem dan Utami, para pemerhati seni sangat terkesan dan tertarik dengan makanan tradisional sambal, karena sebelumnya mereka hanya tahu tentang nasi goreng dan rendang. Maka dengan adanya karya “sambal” ini mereka ingin tahu lebih lanjut tentang Indonesia, terutama makanannya.
Seorang pelukis senior yang juga tamatan ISI Yogyakarta, Untung Yuli Prastiawan menanggapi karya “Sambal” Utami.
“Menurut saya itu karya yang sangat menarik karena fenomenal, mengungkap tentang kebudayaan, teknologi, seni, dan tradisi menjadi satu. Yang kedua, karya itu bisa sepanjang masa, modern," katanya.
Selain melalui virtual yang telah berlangsung September lalu, penyelenggara pameran, Ars Electronica Austria juga akan menggelar pameran langsung di Jakarta dan di Yogyakarta National Museum pada November depan. [ps/em]