Malawi mencatat peningkatan kasus bunuh diri hingga 57 persen selama pandemi virus corona. Para psikolog menduga hilangnya harapan untuk menghadapi pembatasan sosial dan masalah perekonomian akibat Covid-19 menjadi penyebab utama.
Emily Luangwa mengingat kembali bagaimana saudara lelakinya merasa tertekan untuk membayar utang kreditur sebelum ia mengakhiri hidupnya sendiri Agustus lalu.
Ia mengatakan, akibat Covid-19, usahanya tidak berjalan normal. Akibat tekanan dari pemberi pinjaman, saudaranya mencoba menjual sebagian dari hasil usaha tani, akan tetapi uang yang didapat tidak cukup menutupi utang tersebut. Menurutnya, hal itu mendorongnya untuk gantung diri di sebuah pohon di samping kebunnya.
Luangwa mengatakan bahwa mendiang meninggalkan surat yang menjelaskan bahwa ia memutuskan untuk mengakhiri hidup karena tak bisa lagi menghadapi tekanan dari kreditur yang mengancam akan menyita hartanya dalam tujuh hari.
Kisah itu adalah salah satu contoh penyebab melonjaknya angka bunuh diri di Malawi tahun ini.
Peter Kalaya, wakil juru bicara nasional Kepolisian Malawi mengatakan, “Catatan yang kami punya dari beberapa kantor polisi menunjukkan bahwa pada tahun 2019 dalam periode ini, 116 orang melakukan bunuh diri, sementara tahun ini, 2020, total sebanyak 182 orang telah mengakhiri hidup mereka, yang artinya ada kenaikan 57 persen.”
Kalaya mengatakan mayoritas adalah laki-laki.
“Saya perlu menambahkan bahwa lebih banyak pria melakukan bunuh diri ketimbang perempuan, karena berdasarkan angka di sini, 92 persen korban bunuh diri adalah laki-laki, sementara sisanya, 8 persen, perempuan. Ini adalah sesuatu yang mengkhawatirkan bagi kami polisi,” tambahnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Betchani Tchereni adalah dosen Ekonomi di Universitas Malawi. “Dengan masalah Covid-19, Anda akan mendapati sejumlah orang kehilangan pekerjaan. Bayangkan, 270 ribu orang jadi pengangguran. Hal itu berarti sekitar 2,7 juta orang terlilit masalah, karena satu pekerjaan di Malawi mewakili 10 orang per keluarga. Jadi apabila mereka kehilangan harapan dan menjadi depresi, hal itu bisa mengarah pada skenario terburuk, yaitu bunuh diri,” ujarnya.
Dr. Moses Muotcha adalah psikolog klinis di Perguruan Tinggi Perawatan Kamuzu. Ia meyakini peningkatan kasus bunuh diri sebagian besar disebabkan oleh kurangnya keterampilan dalam mengatasi masalah sosial dan ekonomi akibat Covid-19.
Muotcha mengatakan itulah sebabnya mengapa pria, yang sebagian besar menjadi tulang punggung keluarga, mendominasi kasus bunuh diri. “Perempuan, ketika mereka menghadapi masalah, mereka mampu mengungkapkannya. Seringkali mereka mencurahkan hati ke teman-teman mereka. Sementara pria, dengan budaya bahwa laki-laki tidak boleh menangis, mereka tidak berusaha mencari pertolongan. Jadi jika mereka tidak mampu mengisi perut keluarga mereka, mereka pikir jalan keluar yang terbaik adalah bunuh diri.”
Muotcha juga mengatakan bahwa kurangnya ahli dan institusi kesehatan jiwa di Malawi menjadi tantangan bagi salah satu negara termiskin di Afrika tersebut. Malawi hanya memiliki satu rumah sakit jiwa dan beberapa ahli kesehatan jiwa yang bertugas di rumah sakit lain pun sudah kewalahan.
Juru bicara kepolisian, Kalaya, mengatakan bahwa pihaknya mencoba membantu melalui Unit Bantuan Korban, yang ia sebut memiliki petugas yang sudah terlatih untuk memberikan konseling masalah psikososial. [rd/lt]