Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya mengatakan sampai 27 Juli limbah medis COVID-19 mencapai 18.460 ton. Ia menjelaskan, limbah medis tersebut berasal dari fasilitas pelayanan kesehatan, rumah sakit darurat, wisma isolasi, karantina mandiri, tempat uji deteksi dan tempat vaksinasi.
“Arahan Bapak Presiden terhadap penanganan limbah medis ini, kita harus intensifkan dan harus lebih sistematis. Betul-betul dilihat dari titik paling jauh di lapangannya. Jadi diperhatikan bagaimana sistem itu bekerja, dari rumah sampai ke pusat-pusat pelayanan atau pararel sampai ke tempat penanganannya,” ungkap Siti usai melakukan rapat terbatas dengan Presiden Joko Widodo, di Jakarta, Rabu (28/7).
Ia menjelaskan, limbah medis COVID-19 ini mencakup infus bekas, masker, vial vaksin (botol vaksin), jarum suntik, face shield, perban, hazmat, APD, pakaian medis, sarung tangan, alat PCR dan antigen, dan alcohol pembersih swab. Data limbah medis tersebut, katanya, berasal dari berbagai provinsi di Tanah Air. Ia memperkirakan data itu masih belum lengkap sehingga kemungkinan jumlahnya bisa lebih besar.
Siti mengatakan, berdasarkan perkiraan dari asosiasi rumah sakit, limbah medis yang dihasilkan per hari bisa mencapai 383 ton. Walaupun fasilitas pengolahan limbah B3 medis bisa mengolah hingga 483 ton per hari, fasilitas tersebut masih terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Maka dari itu, sejak tahun lalu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memberikan relaksasi aturan untuk memberikan percepatan izin bagi fasilitas pelayanan kesehatan yang memiliki incinerator (pembakaran) limbah medis agar bisa segera beroperasi. Incinerator tersebut disyaratkan bisa mencapai suhu 800 derajat celcius dan diawasi oleh KLHK.
“Kita akan bangun alat-alat pemusnah, apakah incinerator atau shredder, nanti yang akan dijelaskan sistemnya oleh kepala BRIN, untuk segera direalisasikan dan diperintahkan Pak Presiden untuk segera dilaksanakan," katanya.
Your browser doesn’t support HTML5
Pemerintah, kata Siti, akan menganggarkan Rp1,3 triliun untuk membangun alat pemusnah limbah B3 medis tersebut. Meski begitu, belum diketahui sumber dana yang akan digunakan untuk pengelolaan sampah medis tersebut. Menurut Siti, sumber dananya bisa berasal dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), atau dana yang berasal dari Satuan Tugas Penanganan COVID-19.
Peningkatan Limbah Medis di Sejumlah Daerah
Siti juga mengungkapkan limbah medis meningkat signifikan di berbagai daerah. Ia mencontohkan, limbah medis di Jawa Barat pada 9 Maret mencapai 74,03 ton, dan meningkat pada 27 Juli menjadi 836,97 ton. Jawa Tengah yang pada 9 Maret memiliki limbah medis sebanyak 122,82 ton, menjadi 502,401 ton pada 27 Juli.
“Banten itu di 9 Maret 228,06 ton, kemudian di 27 Juli 591,79 ton. Di DKI di 9 Maret 7.496,56 ton, di 27 Juli 10.939,053 ton,” jelasnya.
Ia pun berharap pemerintah daerah setempat bisa bekerja sama dengan KLHK untuk pengolahan limbah medis COVID-19 tersebut, agar bisa dihancurkan atau diolah dengan baik sehingga tidak mencemari lingkungan.
“Kita menegaskan bahwa limbah medis COVID-19 tidak boleh dibuang ke TPA. Kalau dibuang ke sana bisa kena sanksi. Terhadap hal-hal ini kami akan intensifkan terhadap kawan-kawan di Dirjen Pengawasan limbah untuk terus intensif, tapi saya juga mengimbau Pemda untuk menyiapkan datanya, dan melaporkan supaya ada integrasi penanganan,” tuturnya.
RI Kembangkan Teknologi Penghancur Sampah Medis
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko mengungkapkan pihaknya sedang mengembangkan teknologi pengolah limbah medis berskala kecil dan mobile. Menurutnya, hal ini diperlukan untuk membantu pengolahan limbah medis yang naik signifikan seiring dengan meledaknya kasus COVID-19. Selain itu, baru 4,1 persen rumah sakit yang memiliki incinerator yang sudah mempunyai izin, dan hanya ada 20 pelaku usaha pengolahan limbah medis di Indonesia dan kebanyakan hanya ada di Pulau Jawa.
“Itu adalah pengolah limbah yang sifatnya mobile, yang dilengkapi dengan plasma supaya kalau pun dia berada atau dekat dengan pemukiman itu hampir tidak ada lagi emisi dioksin yang berbahaya, dan ukurannya tidak besar, biaya operasional juga relatif kecil. Itu tadi yang bisa menjadi solusi untuk shelter khusus pengolahan limbah misalnya di lingkungan tertentu di suatu kelurahan, sehingga tidak perlu dibawa ke TPA, dan ini akan mengatasi problem limbah medis yang dihasilkan terkait isolasi mandiri karena kita tidak bisa menyalahkan karena mereka juga tidak tahu ini harus dibuang kemana,” ungkap Tri Handoko.
Selain itu, teknologi selanjutnya yang sedang dikembangkan yaitu daur ulang limbah medis yang berpotensi memunculkan nilai tambah dan nilai ekonomi yang baru. Menurutnya, dengan adanya daur ulang tersebut bisa meningkatkan kepatuhan fasyankes untuk tertib mengumpulkan limbah medis karena nantinya akan ada insentif finansial dari sisi bisnis daur ulang tersebut, serta berpotensi mengurangi biaya pengolahan limbah secara keseluruhan.
“Contohnya alat penghancur jarum suntik, yang bisa menghasilkan residu berupa stainless steel murni. Dan juga daur ulang untuk APD dan Masker yang bahannya adalah polypropylene sehingga kita bisa peroleh polypropylene (PP)murni, jenis plastik yang nilai ekonominya juga cukup tinggi,” tuturnya.
Ia berharap, hal tersebut selain bisa meningkatkan motivasi untuk mengumpulkan dan mengolah limbah medis dengan tertib, juga bisa menjadi lahan bisnis baru bagi para pelaku usaha di daerah, khususnya pelaku usaha mikro. [gi/ab]