Remaja perempuan inisial Y, di Indramayu, Jawa Barat, meninggal karena diduga mjadi korban kekerasan dalam rumah tangga KDRT suaminya sendiri, D, yang juga masih berusia belasan tahun. Y dan D menikah tahun 2016 ketika baru berusia 15 dan 16 tahun. Keduanya menikah setelah mendapat dispensasi usia perkawinan dari pengadilan setempat.
Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), yang mendampingi keluarga korban, mengatakan selama dua tahun berumah tangga Y kerap mendapatkan kekerasan. Y sering mengadukan hal tersebut kepada keluarga dan tetangga.
Kepolisian sejak awal berasumsi Y meninggal karena kanker, tetapi hasil autopsi terhadap jenazah Y menunjukkan adanya bekas luka di pelipis dan belakang kepala.
Sekretaris KPI Jawa Barat, Darwinih, mengatakan polisi seharusnya mendalami indikasi kekerasan oleh suami.
Your browser doesn’t support HTML5
“Dari awal autopsi belum keluar kok sudah berasumsi ini ada gejala kanker dan sebagainya. Kenapa nggak diambil dari sisi setelah menikah dia sering mengalami kekerasan dalam rumah tangganya. Dari situ kenapa tidak digali lagi? Apa lagi korbannya sudah meninggal,” jelasnya kepada VOA saat dihubungi.
Pengurus KPI Indramayu, Siti Halimatussa’diyah, mengatakan akan memeriksa kembali hasil autopsi dengan dibantu Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan ahli medis. Pihaknya ingin mendalami “bekas-bekas luka” dan mengajukan proses hukum. “Berencana lapor dan menyiapkan saksi-saksi. Bekas-bekas luka masih bisa didalami,” terangnya.
Dispensasi Pengadilan Membuat Anak di Bawah Umur Tetap Bisa Menikah
Perkawinan anak masih marak terjadi di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2017 menunjukkan perkawinan anak terjadi merata di seluruh provinsi di Indonesia, dengan jumlah persentase perempuan berbeda-beda. Angka tertinggi terjadi di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah dengan 39%, sementara yang terendah di DKI Jakarta dan Yogyakarta dengan 11%. Jawa Barat ada di posisi 22 dengan angka 27%.
UU Perkawinan No.1/1974 Pasal 7 ayat 1 mengatur usia minimum 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan yang ingin menikah. Tetapi pada ayat 2 disebutkan bahwa “dalam hal penyimpangan terhadap ayat 1 maka dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak laki-laki dan perempuan.”
Di Indramayu, sepanjang tahun 2016 pihak pengadilan telah memberikan 354 dispensasi, sementara pada tahun 2017 mencapai 287 dispensasi. Kebanyakan keluarga – termasuk keluarga Y dan D – menggunakan alasan agama ketika meminta dispensasi.
Plan Indonesia: 100% Perempuan yang Kawin Dini, Jadi Korban KDRT
Namun menurut Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), alasan apapun tetap tidak membenarkan perkawinan anak. Menurut Direktur Advokasi dan Program PKBI, Frenia Nababan, perkawinan anak justru membuat anak rentan jadi korban kekerasan.
“Kita takut pada suatu hal yang belum terjadi (zina) tapi malah kita ceburkan anak itu ke suatu keadaan yang rawan kekerasan. Rentan kekerasan secara fisik. Karena dia belum bisa melindungi dirinya dan tidak memahami konsep perkawinan secara menyeluruh,” jelasnya.
Data “Plan Indonesia” pada 2011 menunjukkan bahwa 100 persen anak perempuan yang menikah dini menjadi korban KDRT. Sebanyak 44 persen mengalami KDRT dalam frekuensi tinggi dan 56 persen frekuensi rendah. Penelitian ini dilakukan di delapan kabupaten meliputi Indramayu (Jawa Barat), Grobogan dan Rembang (Jawa Tengah), Tabanan (Bali), Dompu (NTB), Timor Tengah Selatan, Sikka, dan Lembata (NTT).
PKBI bersama koalisi masyarakat sipil sudah pernah meminta naiknya batas usia pernikahan lewat uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2015. Namun MK menolak permohonan tersebut. Pada 2016, masyarakat sipil merumuskan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Pencegahan dan Penghapusan Perkawinan Anak. Rancangan Perppu itu telah diserahkan ke Menteri Agama, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta Kantor Staf Presiden.
Frenia Nababan berharap Perppu itu bisa mengubah pandangan masyarakat supaya tidak menikahkan anak di bawah umur.
“Itu diharapkan bisa mengubah nilai di masyarakat dan memperketat pemberian dispensasi. Jadi kalau nanti orang KUA, atau ada nikah siri yang tahu kalau usia 18 tahun ke Bawah itu belum siap atau itu termasuk kegiatan seksual, maka siapapun tidak mau melakukannya,” pungkasnya.
Namun sampai dua tahun berjalan, rancangan Perppu itu belum juga ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo. [rt/em]