Memainkan peran besar dalam revolusi tahun lalu, perempuan Yaman sekarang menghadapi masalah kelaparan dan kekerasan.
Keadaan perempuan di Yaman saat ini lebih buruk dari setahun yang lalu, saat mereka memainkan peran signifikan dalam revolusi di negara tersebut yang menjanjikan perubahan politik dan ekonomi, menurut sebuah lembaga bantuan internasional.
Dalam sebuah laporan yang dirilis Senin (24/9), Oxfam International mengatakan bahwa empat dari lima perempuan Yaman mengkalim hidup mereka memburuk selama 12 bulan terakhir. Berhadapan dengan krisis kemanusiaan yang meningkat, yang membuat 25 persen perempuan berumur 15-49 tahun menderita malnutrisi akut, kaum perempuan mengatakan bahwa mereka kesulitan memberi makan keluarga dan tidak dapat berpartisipasi dalam periode transisi di negara mereka.
“Krisis makanan adalah kendala terbesar,” ujar Sultana Begum, penasihat kebijakan kemanusiaan Oxfam yang menulis laporan tersebut. “Bagaimana bisa orang-orang berpartisipasi dalam proses yang sangat penting ini, yang akan menentukan masa depan sebuah negara, jika mereka harus fokus pada bertahan hidup setiap harinya?”.
Program Makanan Dunia dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan bahwa 10 juta orang Yemen, atau hampir setengah dari populasi, tidak memiliki cukup makanan. Krisis ini disebabkan oleh sejumlah faktor, termasuk harga makanan dan bahan bakar yang melesat dalam setahun terakhir. Pasar-pasar di kota dan di desa dipenuhi buah, sayuran dan daging, namun lembaga-lembaga swasta mengatakan bahwa orang-orang tidak mampu membeli makanan karena tingginya tingkat pengangguran, kerusuhan dan konflik internal yang memisahkan para keluarga.
Banyak warga yang telah menjual tanah dan ternaknya, menarik anak-anak dari sekolah dan mengambil langkah putus asa untuk memenuhi kebutuhan mereka. Oxfam menyatakan bahwa lebih banyak lagi orangtua yang menikahkan anak perempuannya di usia muda, beberapa malah baru 12 tahun, dan mengirim anak-anak lelaki mereka ke perbatasan Arab Saudi untuk menyelundupkan qat, atau sejenis daun narkotika.
“Saya telah mengunjungi desa-desa di mana para ibu telah kehilangan anak-anaknya dan mereka mengatakan bahwa itu karena mereka tidak mampu memberi makan dengan benar, karena kelaparan,” ujar Caroline Gluck, juru bicara Oxfam di ibukota Sanaa.
Laporan tersebut, yang menyurvei 136 perempuan di seluruh Yaman pada Juli dan Agustus, juga mengatakan bahwa mayoritas perempuan merasa lebih tidak aman dibanding setahun yang lalu. Mereka menyatakan keprihatinannya atas penyebaran senjata kecil; pertempuran bersenjata di jalanan di Sanaa; dan risiko serangan seksual. Di kamp-kamp pengungsian seperti di Haradh di utara, perempuan mengatakan bahwa tekanan-tekanan dari krisis-krisis yang ada sekarang telah menyebabkan kekerasan dalam rumah tangga meningkat.
Perempuan pengungsi juga mengatakan mereka merasa tidak aman kembali ke rumah mereka di daerah, seperti provinsi Abyan di selatan, dimana pemerintah merebut wilayah-wilayah dari kelompok militan al-Qaida musim panas ini. Selain itu, para perempuan mengatakan bahwa perlindungan dari polisi dan pihak berwenang lainnya kurang.
Pada sektor politik, para perempuan menjadi lebih berani karena gerakan revolusi tahun lalu, namun saat ini mereka merasa “dipinggirkan oleh proses transisi dan mendapati akses mereka terhadap pembuatan keputusan ditutup oleh partai politik dan pemerintah,” tutur laporan tersebut.
Beberapa yang diwawancara mengatakan bahwa seharusnya ada quota untuk mengikutsertakan perempuan dalam parlemen dan komite yang mengawasi transisi pemerintahan baru dari Presiden Abed Rabbo Mansour Hadi, yang menggantikan Ali Abdullah Saleh yang digulingkan pada Februari.
Para petinggi Oxfam mengatakan bahwa mereka harus mengurangi bantuan, yang termasuk distribusi uang tunai pada keluarga yang memerlukan, karena kurangnya pendanaan. Di antara rekomendasi yang ada dalam laporan tersebut, mereka meminta Friends of Yemen, yang dijadwalkan bertemu di New York minggu ini, untuk segera mengalokasikan dana kemanusiaan segera. Para donor dalam kelompok ini telah berjanji memberikan dana US$6.4 miliar, namun Oxfam mengatakan perlu transparansi dalam penggunaan dana.
"Saat ini, Yaman terbenam dalam kesulitan karena krisis kemanusiaan. Negara tersebut belum dapat menyelesaikan masalah ini dan sangat perlu uang lebih banyak,” ujar Gluck. (AP/Nafeesa Syeed)
Dalam sebuah laporan yang dirilis Senin (24/9), Oxfam International mengatakan bahwa empat dari lima perempuan Yaman mengkalim hidup mereka memburuk selama 12 bulan terakhir. Berhadapan dengan krisis kemanusiaan yang meningkat, yang membuat 25 persen perempuan berumur 15-49 tahun menderita malnutrisi akut, kaum perempuan mengatakan bahwa mereka kesulitan memberi makan keluarga dan tidak dapat berpartisipasi dalam periode transisi di negara mereka.
“Krisis makanan adalah kendala terbesar,” ujar Sultana Begum, penasihat kebijakan kemanusiaan Oxfam yang menulis laporan tersebut. “Bagaimana bisa orang-orang berpartisipasi dalam proses yang sangat penting ini, yang akan menentukan masa depan sebuah negara, jika mereka harus fokus pada bertahan hidup setiap harinya?”.
Program Makanan Dunia dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan bahwa 10 juta orang Yemen, atau hampir setengah dari populasi, tidak memiliki cukup makanan. Krisis ini disebabkan oleh sejumlah faktor, termasuk harga makanan dan bahan bakar yang melesat dalam setahun terakhir. Pasar-pasar di kota dan di desa dipenuhi buah, sayuran dan daging, namun lembaga-lembaga swasta mengatakan bahwa orang-orang tidak mampu membeli makanan karena tingginya tingkat pengangguran, kerusuhan dan konflik internal yang memisahkan para keluarga.
Banyak warga yang telah menjual tanah dan ternaknya, menarik anak-anak dari sekolah dan mengambil langkah putus asa untuk memenuhi kebutuhan mereka. Oxfam menyatakan bahwa lebih banyak lagi orangtua yang menikahkan anak perempuannya di usia muda, beberapa malah baru 12 tahun, dan mengirim anak-anak lelaki mereka ke perbatasan Arab Saudi untuk menyelundupkan qat, atau sejenis daun narkotika.
“Saya telah mengunjungi desa-desa di mana para ibu telah kehilangan anak-anaknya dan mereka mengatakan bahwa itu karena mereka tidak mampu memberi makan dengan benar, karena kelaparan,” ujar Caroline Gluck, juru bicara Oxfam di ibukota Sanaa.
Laporan tersebut, yang menyurvei 136 perempuan di seluruh Yaman pada Juli dan Agustus, juga mengatakan bahwa mayoritas perempuan merasa lebih tidak aman dibanding setahun yang lalu. Mereka menyatakan keprihatinannya atas penyebaran senjata kecil; pertempuran bersenjata di jalanan di Sanaa; dan risiko serangan seksual. Di kamp-kamp pengungsian seperti di Haradh di utara, perempuan mengatakan bahwa tekanan-tekanan dari krisis-krisis yang ada sekarang telah menyebabkan kekerasan dalam rumah tangga meningkat.
Perempuan pengungsi juga mengatakan mereka merasa tidak aman kembali ke rumah mereka di daerah, seperti provinsi Abyan di selatan, dimana pemerintah merebut wilayah-wilayah dari kelompok militan al-Qaida musim panas ini. Selain itu, para perempuan mengatakan bahwa perlindungan dari polisi dan pihak berwenang lainnya kurang.
Pada sektor politik, para perempuan menjadi lebih berani karena gerakan revolusi tahun lalu, namun saat ini mereka merasa “dipinggirkan oleh proses transisi dan mendapati akses mereka terhadap pembuatan keputusan ditutup oleh partai politik dan pemerintah,” tutur laporan tersebut.
Beberapa yang diwawancara mengatakan bahwa seharusnya ada quota untuk mengikutsertakan perempuan dalam parlemen dan komite yang mengawasi transisi pemerintahan baru dari Presiden Abed Rabbo Mansour Hadi, yang menggantikan Ali Abdullah Saleh yang digulingkan pada Februari.
Para petinggi Oxfam mengatakan bahwa mereka harus mengurangi bantuan, yang termasuk distribusi uang tunai pada keluarga yang memerlukan, karena kurangnya pendanaan. Di antara rekomendasi yang ada dalam laporan tersebut, mereka meminta Friends of Yemen, yang dijadwalkan bertemu di New York minggu ini, untuk segera mengalokasikan dana kemanusiaan segera. Para donor dalam kelompok ini telah berjanji memberikan dana US$6.4 miliar, namun Oxfam mengatakan perlu transparansi dalam penggunaan dana.
"Saat ini, Yaman terbenam dalam kesulitan karena krisis kemanusiaan. Negara tersebut belum dapat menyelesaikan masalah ini dan sangat perlu uang lebih banyak,” ujar Gluck. (AP/Nafeesa Syeed)