Di salah satu sudut pabrik pengolahan limbah makanan milik PT Magalarva Sayana Indah di Gunung Sindur, Jawa Barat, terhampar pemandangan menjijikkan. Sampah makanan dengan bau menyengat, mulai dari nasi basi, kulit buah, dan tulang ikan yang dihamparkan di lantai semen tampak dikerubungi ribuan maggot atau larva lalat.
Bagi mereka yang tak biasa, pemandangan itu cukup membuat selera makan hilang berhari-hari. Namun, larva-larva itu bukan sembarang larva, melainkan larva lalat tentara hitam atau black soldier fly (BSF) (Hermetia illucens) yang mampu mengurai limbah makanan dalam jumlah besar dalam waktu singkat.
Tak heran, kini pemerintah getol mendorong industri pengolahan limbah makanan dengan BSF sebagai bagian solusi pengurangan emisi karbon dari sampah. Pasalnya, jika tidak dikelola dengan baik, sampah organik menjadi penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca. Padahal, 40 persen dari timbulan sampah di Indonesia adalah sampah organik.
“BSF ini yang sangat ganas makan sampah food waste atau organic waste, sampai habis dan cepat banget,” ujar founder dan CEO Magalarva, Rendria Labde (31 tahun), dalam perbincangan dengan VOA baru-baru ini di kantornya.
Bau busuk menyengat dari gunungan-gunungan sampah di lokasi pabrik masih menyelinap ke ruang kantornya dan tak mampu diredam dengan masker. Di sudut lain pabrik Magalarva, tampak mesin-mesin pengering larva bersuara menderu-deru. Begitu lah sekelumit hiruk pikuk kegiatan keseharian Magalarva.
Magalarva, yang berdiri pada 2017, adalah satu dari sekian banyak perusahaan bioteknologi di Indonesia yang menggeluti bisnis pengolahan limbah makanan menjadi makanan ternak dan pupuk organik dengan teknologi BSF.
“This is A Real Problem”
Rendria dan rekan-rekannya mendirikan Magalarva karena prihatin dengan masalah penanganan sampah organik, terutama sampah makanan, di Indonesia. Selama ini, katanya, gerakan kesadaran sampah hanya berkutat pada pengelolaan sampah non-organik, seperti plastik.
Ia pernah melihat tumpukan sampah yang menggunung hingga bisa mencapai belasan lantai bangunan di sebuah tempat pembuangan akhir (TPA) tanpa ada solusi.
“Kalau yang itu (TPA) udah jenuh, maka pindah, jenuh (lagi), pindah (lagi). Nah, dari situ lah kita lihat…. wah, this is a real problem. Yang organik malah nggak ada [solusi] sama sekali. Di situ lah kita mengambil keputusan, oke, let's find a solution untuk ini,” tukas Rendria, lulusan Teknik Mesin Universitas Indonesia
Menurut data KLHK, pada 2022, sebanyak 65,83 persen sampah di Indonesia masih diangkut dan dibuang ke tempat pembuangan sampah.
Dari serangkaian riset yang dilakukan Magalarva, BSF dianggap sebagai senjata paling efektif dalam mengurangi volume sampah makanan. Karena lalat BSF tidak punya mulut dan organ pencerna, mereka makan hanya saat tahapan larva dan hanya memakan sisa hewan atau tumbuhan yang membusuk.
Satu larva BSF bisa makan empat kali lipat dari berat badannya. Ibarat mesin, larva BSF hanya membutuhkan 2-3 hari untuk mengganyang sampah sisa makanan, dengan volume “kakap” dibandingkan dengan pengomposan sampah biasa yang memakan waktu berbulan-bulan.
Cara kerja BSF sederhana. Larva BSF mengonsumsi sisa-sisa makanan itu dan menguraikan menjadi pupuk organik, pupuk cair dan minyak. Larva-larva tadi kemudian ada yang sebagian diternakan kembali menjadi lalat dan sebagian lagi dikeringkan menjadi makanan ternak premium.
Produk maggot yang dikeringkan, kata Rendria, biasanya lebih banyak digunakan untuk keperluan ekspor, yang telah merambah hingga Singapura, Jepang dan Korea Selatan. Dalam satu tahun saja, Magalarva bisa mengolah 2.735 ton sampah organik dengan larva BSF.
Untuk mendapatkan bahan baku sampah, Magalarva bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk untuk mendapatkan bahan baku sampah makanan, baik dari rumah tangga, restoran maupun hotel. Rumah tangga masih mendominasi sumber bahan baku magalarva.
Terkait dengan sampah rumah tangga tersebut, Magalarva salah satunya menggandeng pelaku bisnis lingkungan, Kebun Kumara. Alia Ramadhani, founder Kebun Kumara, mengatakan sejauh ini program tersebut baru menyasar sektor rumah tangga di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi, dan Tangerang Selatan.
"Jadi programnya itu kita ngajakin masyarakat milah sampah, nanti sekali seminggu itu sampah organiknya kita pick up kemudian diolah jadi pupuk di Magalarva,” ujar Alia kepada VOA.
Hingga saat ini, Kebun Kumara telah berhasil melayani 248 rumah dengan jumlah sampah sisa makanan yang terkumpul mencapai 6.185 kg. Sampah tersebut berhasil diolah menjadi kompos sebanyak 730 kg.
Proses Sampah di Tempatnya
Organisasi nirlaba FoodCycle Indonesia, yang fokus membagikan makanan yang masih layak kepada masyarakat yang kurang mampu, juga mulai merambah bisnis pengelolaan limbah dengan teknologi BSF, di bawah bendera FoodCycle Farm.
Berbeda dengan Magalarva yang membawa sampah ke pabriknya untuk diolah, FoodCycle Indonesia memilih untuk mengolah sampah di tempat sampah itu berada.
“Jadi konsepnya itu jangan pindahkan sampah organik, kita selesaikan di tempat. Jadi yang kami tawarkan on-site organic waste management,” ujar co-founder FoodCycle Indonesia, Herman Andryanto (36 tahun) kepada VOA.
FoodCycle menyasar ke industri-industri besar, seperti restoran dan juga perkantoran di Jakarta. Caranya, FoodCycle akan meletakkan rak-rak penyimpanan sampah organik di lokasi yang ditentukan, dan kemudian larva BSF akan melalap limbah organik tersebut.
Pria yang akrab disapa dengan Herman itu mengatakan untuk mengolah volume sampah sebanyak 30 kilogram, hanya dibutuhkan lahan seluas 2x2 meter. Bila kapasitas rak-rak yang tersedia sudah hampir penuh, FoodCycle akan menambah rak baru, tuturnya.
Pakan ternak dan pupuk kompos hasil pengolahan sampah makanan itu ditawarkan ke hotel-hotel, restoran-restoran, dan industri besar lainnya, baik yang bekerja sama dengan FoodCycle maupun tidak. Namun, tidak menutup kemungkinan FoodCycle juga akan membeli hasil pengolahan sampah itu atau program buyback (pembelian kembali).
Sampah Rumah Tangga
Urusan sampah memang masih menjadi masalah pelik di Indonesia. Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) Novrizal Tahar mengakui bahwa hal itu menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung usai.
Data KLHK menyebutkan volume sisa makanan atau food waste mencapai 28,5 juta ton atau 40,6 persen dari seluruh total timbunan sampah di Tanah Air pada 2022. Sektor terbanyak yang menyumbangkan sampah makanan tersebut adalah rumah tangga, sebesar 38,3 persen.
“Perilaku masyarakat pada 2018 yang disurvei oleh BPS (Badan Pusat Statistik -red) itu, 72 persen orang Indonesia nggak peduli terhadap persoalan sampah. Ini juga satu tantangan,” tukas Novrizal.
Hampir sama, Bappenas menyebutkan Indonesia membuang 23-48 juta ton sampah makanan per tahun pada periode 2000-2019. Food waste tersebut, menurut Bappenas, menimbulkan kerugian ekonomi sebesar Rp213-551 triliun per tahun dan secara sosial sebetulnya dapat memberi makan kepada 61-125 juta orang per tahun.
Menurut Badan Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) (United Nations Environment Program/UNEP), Indonesia adalah penghasil limbah makanan terbesar di Asia Tenggara.
Yang menjadi masalah, bukan hanya food waste menjadi pemborosan semata. Namun juga memberi dampak terhadap lingkungan yang banyak tidak orang sadari.
“Kalau food waste itu dibawa ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir -red) kemudian terdekomposisi, dia akan mengeluarkan, merilis gas metan. Jadi food waste ini kalau tidak dikelola dengan baik, akan menyebabkan emisi gas rumah kaca dalam bentuk gas metan,” ujar Novrizal.
BACA JUGA: Bisa Tekan Emisi, Begini Penjelasan Mekanisme Perdagangan KarbonPadahal, lanjutnya, gas metana memiliki potensi pemanasan global yang efeknya sangat dahsyat, yaitu mencapai 28 kali lipat lebih besar dari karbondioksida (CO2). Artinya, meskipun metana dilepaskan dalam jumlah yang jauh lebih kecil daripada CO2, dampaknya dalam jangka pendek akan sangat signifikan terhadap temperatur Bumi.
Data Climate Watch menunjukkan, sampah menyumbang hampir 10 persen dari total emisi karbon Indonesia pada 2020 yang mencapai 1.48 gigaton (Gt).
Dorong Pengomposan Rumah Tangga
Novrizal menekankan pemerintah tak jemu-jemu dalam menggodok skenario untuk memangkas volume sampah organik, terutama sampah sisa makanan. Pararel dengan program pembangunan industri pengelolaan sampah, imbuhnya, pemerintah juga terus mengampanyekan gerakan hidup minim sampah “zero waste, zero emission.”
Tujuannya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa urusan sampah sesungguhnya urusan bersama dan dapat diselesaikan pada level rumah tangga.
Caranya cukup mudah, kata Novrizal, yaitu dengan menyortir sampah organik dan non-organik di rumah, dan kemudian membuat pupuk kompos dari sisa-sisa sampah organik tersebut.
“Jadi kita melihat kalau semua orang Indonesia ngompos di rumah, sisa-sisa makanan di rumah itu, sisa-sisa dapur, itu bisa menurunkan emisi gas rumah kacanya kurang lebih 7 juta ton setahun, di Indonesia saja. Dan bisa mengolah sampah makanan (dari seluruh sektor) kurang lebih 11 juta ton sampai 12 juta ton setahun,” papar Novrizal.
Novrizal menambahkan membangun industrialisasi pengolahan sampah organik, baik secara komersial dengan teknologi BSF dan teknik pengomposan rumah tangga menjadi bagian upaya pemerintah untuk mencapai target pengurangan karbon.
Pemerintah menargetkan pengurangan Gas Emisi Rumah Kaca (GRK) sebesar 31,89 persen pada 2030 dengan usaha sendiri, atau 43,2 persen jika dibantu oleh dunia internasional. Dalam Konferensi Iklim PBB COP-26 di Glasgow, Skotlandia, Pemerintah Indonesia menargetkan bisa mencapai emisi nol karbon atau net zero emission pada 2060.
Pengembangan BSF
Upaya Magalarva dan FoodCycle untuk mengolah limbah makanan dengan teknologi BSF sejalan dengan komitmen pengurangan emisi karbon pemerintah.
Herman mengatakan FoodCycle sedang mengembangkan teknologi BSF menjadi bagian dari program integrated urban farming atau konsep pertanian perkotaan terintegrasi bersama salah satu mitranya yang mengelola panti asuhan di Jati Asih, Bekasi. Idenya, teknologi BSF digunakan untuk mengolah limbah organik di panti asuhan itu.
“Kita belajar bareng sih sebenarnya ya. Selama ini dari awal tahun untuk mengolah limbah organik di lokasi yang hasilnya nanti langsung diberikan ke lele dan pupuknya langsung ke tanaman ubi. Itu integrated urban farm,” papar Herman, jebolan teknik komputer di RMIT University di Australia.
Dia menambahkan FoodCycle berencana menduplikasi konsep pertanian perkotaan dengan teknologi BSF ini ke beberapa lokasi. Harapannya, kata Herman, konsep itu akan menghasilkan gaya hidup nir-sampah, sebagaimana slogan FoodCycle: Zero Hunger & Zero Waste for A Better Indonesia.
Sementara itu, Magalarva memiliki obsesi untuk meningkatkan kapasitas pengolahannya yang artinya akan lebih banyak lagi volume sisa makanan yang diharapkan dapat diolah. Namun, Rendria menekankan perlunya kesadaran masyarakat untuk memilah sampah organik dan non-organik.
“Karena buat saya juga, sebenarnya kalau memang kita melihat suatu solusi yang masif untuk kita berangkat dari kesadaran individu, secara realistis itu rada-rada sulit memang sebenarnya,” tukas Rendria. [ah/dw/ft]