Selagi pemerintah AS terus menghadapi tekanan menjelaskan operasi spionase internasional-nya, beberapa tuduhan baru mengemuka tentang luasnya pemantauan AS di Asia, termasuk Indonesia.
JAKARTA —
Kementerian Luar Negeri Indonesia telah memanggil Wakil Duta Besar Amerika di Jakarta, Kristen Bauer, untuk menjelaskan tuduhan-tuduhan bahwa Kedutaan Besar Amerika di Jakarta telah memata-matai Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono.
Laporan-laporan media – yang berdasarkan dokumen-dokumen terbaru yang dibocorkan mantan kontraktor Badan Keamanan Nasional Amerika NSA menunjukkan bahwa Kedutaan Besar Amerika di Jakarta memasang peralatan penyadap yang telah digunakan untuk memonitor Presiden SBY dan pejabat-pejabat Indonesia lainnya.
Menteri Luar Negeri Indonesia Marti Natalegawa mengatkaan kegiatan-kegiatan itu tidak hanya dinilai sebagai pelanggaran keamanan, tetapi juga “pelanggaran norma-norma dan etika” serius, dan telah menuntut penjelasan Amerika.
Analis politik Aleksius Jemadu dari Universitas Pelita Harapan mengatakan klaim ini bisa merongrong hubungan kedua negara.
“Saya kira pemerintah Amerika harus punya keberanian untuk menjelaskan, guna memulihkan kepercayaan yang benar-benar dibutuhkan untuk memperkuat dan mengembangkan hubungan baik, dengan memperhitungkan bahwa Indonesia berperan penting dalam stabilitas di Asia Tenggara,” kata Aleksius.
Wakil Duta Besar Amerika di Jakarta Kristen Bauer yang ditanyai oleh Kementerian Luar Negeri Indonesia menolak berkomentar.
Indonesia adalah sekutu penting Amerika di kawasan itu, khususnya sebagai pengimbang diplomatik terhadap klaim wilayah yang dilakukan secara agresif oleh China atas Laut China Selatan.
Sekutu-sekutu Amerika lainnya telah menunjukkan kemarahan terhadap beberapa laporan tentang luasnya pemantauan yang dilakukan Amerika terhadap para pemimpin asing.
Departemen Luar Negeri Amerika tidak bersedia menanggapi klaim-klaim spesifik itu, hanya mengatakan kajian pengumpulan informasi inteljen akan selesai selambat-lambatnya pada akhir tahun ini.
Tetapi pengungkapan tentang sejauh mana kegiatan-kegiatan Badan Keamanan Nasional Amerika NSA di luar negeri, telah menyorot keikutsertaan beberapa sekutu Amerika dalam tindakan spionase ini.
Laporan-laporan media yang didasarkan pada beberapa dokumen NSA mengungkapkan bahwa Australia telah mengijinkan program rahasia NSA beroperasi di kedutaan-kedutan Australia di Indonesia, Thailand, Vietnam, China dan Timor Timur. Dokumen-dokumen tersebut menguraikan fasilitas-fasilitas tersebut sangat tersembunyi di dalam kompleks kedutaan. Sebagian besar staf diplomatik dilaporkan tidak mengetahui keberadaan program rahasia NSA tersebut.
Profesor Hikmahanto Juwana – pakar hukum di Universitas Indonesia mengatakan, tuduhan-tuduhan itu bahkan dapat lebih merugikan hubungan kedua negara.
“Saya kira akan sangat menyulitkan bagi pemerintah Indonesia untuk menentang Amerika secara sangat kasar. Namun ini berbeda dengan Australia karena Indonesia melihat Australia tidak sekuat Amerika dan saya kira pemerintah Indonesia akan membuat keributan besar atas isu ini,” kata Hikmahanto.
Hikmahanto Juwana mengatakan Indonesia bisa menolak untuk bekerjasama dengan Australia dalam beberapa isu penting, seperti upaya-upaya menghentikan penyelundupan manusia.
Kemarahan atas tindakan spionase Amerika ini terjadi setelah sebelumnya muncul kecaman dari China, Rusia dan India bahwa Amerika terlalu banyak menguasai infrastruktur di dunia maya.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying hari Kamis menuntut Amerika menjelaskan penggunaan kedutaan besar Australia untuk melakukan tindakan spionase.
Hua Chunying mengatakan, pemerintah China sangat prihatin atas laporan ini. Ia menambahkan mereka meminta seluruh kedutaan besar di China untuk menghormati Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik dan tidak terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang bisa merugikan keamanan dan kepentingan China.
Pekan ini kantor berita Jepang Kyodo melaporkan bahwa pada tahun 2011, NSA meminta Jepang untuk membantu NSA mengakses kabel-kabel serat optik yang menjadi wahana komunikasi China. Laporan itu mengatakan pejabat-pejabat Jepang menolak permintaan itu karena khawatir hal itu akan melanggar undang-undang penyadapan Jepang.
Laporan-laporan media – yang berdasarkan dokumen-dokumen terbaru yang dibocorkan mantan kontraktor Badan Keamanan Nasional Amerika NSA menunjukkan bahwa Kedutaan Besar Amerika di Jakarta memasang peralatan penyadap yang telah digunakan untuk memonitor Presiden SBY dan pejabat-pejabat Indonesia lainnya.
Menteri Luar Negeri Indonesia Marti Natalegawa mengatkaan kegiatan-kegiatan itu tidak hanya dinilai sebagai pelanggaran keamanan, tetapi juga “pelanggaran norma-norma dan etika” serius, dan telah menuntut penjelasan Amerika.
Analis politik Aleksius Jemadu dari Universitas Pelita Harapan mengatakan klaim ini bisa merongrong hubungan kedua negara.
“Saya kira pemerintah Amerika harus punya keberanian untuk menjelaskan, guna memulihkan kepercayaan yang benar-benar dibutuhkan untuk memperkuat dan mengembangkan hubungan baik, dengan memperhitungkan bahwa Indonesia berperan penting dalam stabilitas di Asia Tenggara,” kata Aleksius.
Wakil Duta Besar Amerika di Jakarta Kristen Bauer yang ditanyai oleh Kementerian Luar Negeri Indonesia menolak berkomentar.
Indonesia adalah sekutu penting Amerika di kawasan itu, khususnya sebagai pengimbang diplomatik terhadap klaim wilayah yang dilakukan secara agresif oleh China atas Laut China Selatan.
Sekutu-sekutu Amerika lainnya telah menunjukkan kemarahan terhadap beberapa laporan tentang luasnya pemantauan yang dilakukan Amerika terhadap para pemimpin asing.
Departemen Luar Negeri Amerika tidak bersedia menanggapi klaim-klaim spesifik itu, hanya mengatakan kajian pengumpulan informasi inteljen akan selesai selambat-lambatnya pada akhir tahun ini.
Tetapi pengungkapan tentang sejauh mana kegiatan-kegiatan Badan Keamanan Nasional Amerika NSA di luar negeri, telah menyorot keikutsertaan beberapa sekutu Amerika dalam tindakan spionase ini.
Laporan-laporan media yang didasarkan pada beberapa dokumen NSA mengungkapkan bahwa Australia telah mengijinkan program rahasia NSA beroperasi di kedutaan-kedutan Australia di Indonesia, Thailand, Vietnam, China dan Timor Timur. Dokumen-dokumen tersebut menguraikan fasilitas-fasilitas tersebut sangat tersembunyi di dalam kompleks kedutaan. Sebagian besar staf diplomatik dilaporkan tidak mengetahui keberadaan program rahasia NSA tersebut.
Profesor Hikmahanto Juwana – pakar hukum di Universitas Indonesia mengatakan, tuduhan-tuduhan itu bahkan dapat lebih merugikan hubungan kedua negara.
“Saya kira akan sangat menyulitkan bagi pemerintah Indonesia untuk menentang Amerika secara sangat kasar. Namun ini berbeda dengan Australia karena Indonesia melihat Australia tidak sekuat Amerika dan saya kira pemerintah Indonesia akan membuat keributan besar atas isu ini,” kata Hikmahanto.
Hikmahanto Juwana mengatakan Indonesia bisa menolak untuk bekerjasama dengan Australia dalam beberapa isu penting, seperti upaya-upaya menghentikan penyelundupan manusia.
Kemarahan atas tindakan spionase Amerika ini terjadi setelah sebelumnya muncul kecaman dari China, Rusia dan India bahwa Amerika terlalu banyak menguasai infrastruktur di dunia maya.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying hari Kamis menuntut Amerika menjelaskan penggunaan kedutaan besar Australia untuk melakukan tindakan spionase.
Hua Chunying mengatakan, pemerintah China sangat prihatin atas laporan ini. Ia menambahkan mereka meminta seluruh kedutaan besar di China untuk menghormati Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik dan tidak terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang bisa merugikan keamanan dan kepentingan China.
Pekan ini kantor berita Jepang Kyodo melaporkan bahwa pada tahun 2011, NSA meminta Jepang untuk membantu NSA mengakses kabel-kabel serat optik yang menjadi wahana komunikasi China. Laporan itu mengatakan pejabat-pejabat Jepang menolak permintaan itu karena khawatir hal itu akan melanggar undang-undang penyadapan Jepang.