Kekerasan bersenjata melonjak di banyak komunitas AS pada tahun 2022, termasuk jumlah insiden penembakan massal yang hampir mencapai rekor. Secara keseluruhan, tingkat kematian akibat senjata api naik ke level tertinggi dalam hampir tiga dekade.
Pada bulan Mei, seorang pria bersenjata, usia 18 tahun, yang menggunakan senapan semi-otomatis, membunuh 19 anak dan dua orang dewasa di Sekolah Dasar Robb di Uvalde, Texas. Insiden itu merupakan penembakan di sekolah AS paling mematikan dalam hampir satu dekade. Seminggu kemudian, Presiden Joe Biden berbicara kepada warga Amerika.
“Demi Tuhan, berapa banyak lagi pembantaian yang mau kita terima? Berapa banyak lagi nyawa orang Amerika yang tidak bersalah yang harus direnggut sebelum kita mengatakan cukup sudah?”
BACA JUGA: Sekolah di AS Tingkatkan Keamanan, Guru DipersenjataiBeberapa hari sebelumnya, seorang remaja berusia 19 tahun melepaskan tembakan dengan senapan semi-otomatis di sebuah supermarket di Buffalo, New York, menewaskan 10 orang. Tersangka mengatakan dia menarget orang-orang kulit hitam.
Pada tanggal 4 Juli di Highland Park, Illinois, seorang pria bersenjata memuntahkan 83 peluru dalam waktu kurang dari satu menit dari atas sebuah gedung, menewaskan tujuh orang dan melukai puluhan orang yang berkumpul untuk parade Hari Kemerdekaan.
Pada bulan November, seorang penembak membunuh lima orang dan melukai 17 lainnya di sebuah klub malam gay di Colorado. Tersangka berusia 22 tahun itu telah didakwa dengan pembunuhan, kejahatan bermotif bias, dan penyerangan.
Kriminolog dan profesor Jack McDevitt dari Northeastern University melihat pola yang meresahkan. “Kita mulai melihat senjata api lebih sering digunakan dalam kejahatan rasial. Itu tidak terjadi dalam waktu yang lama. Kita mulai lebih sering melihat bahwa orang menggunakan senjata api untuk menarget korban yang mereka anggap berbeda,” ujarnya.
Penembakan massal secara luas didefinisikan sebagai insiden di mana empat orang atau lebih ditembak atau dibunuh, tidak termasuk penembaknya. Itu terjadi di hampir setiap negara bagian AS, dengan total lebih dari 600 secara nasional pada tahun 2022. Sebagian orang melihat hubungan antara meningkatnya retorika kebencian dan kekerasan karena bias seperti disampaikan oleh Carlos Cuevas, kriminolog dan profesor di Northeastern University.
“Retorika politik yang kita lihat selama beberapa tahun terakhir telah berkontribusi pada hal itu, dan saya pikir, seiring dengan peningkatan (retorika) itu kita menyaksikan tumbuhnya kelompok-kelompok kebencian.”
Penembakan massal menjadi berita utama nasional, tetapi jumlah kematian yang diakibatkannya merupakan persentase kecil dari lebih dari 40 ribu kematian akibat senjata di AS yang tercatat pada tahun 2022. Setengahnya karena bunuh diri.
Pada bulan Juni, Kongres menyetujui undang-undang kepemilikan senjata nasional pertama dalam beberapa dekade. Undang-undang itu berusaha menghindarkan senjata api jatuh ke tangan mereka yang dianggap mengancam keselamatan publik, dan meningkatkan pemeriksaan latar belakang untuk pembelian senjata.
Sementara para pendukung pengendalian senjata ingin melangkah lebih jauh dan melarang senjata semi-otomatis, Mahkamah Agung AS pada bulan Juni membatalkan undang-undang negara bagian New York yang melarang membawa pistol secara terselubung di depan umum. Para pembela hak kepemilikan senjata menyambut keputusan MA AS itu dengan suka cita.
Steven Lollo, seorang instruktur penggunaan senjata adalah pembela hak kepemilikan senjata, mengatakan, “Apa yang saya perhatikan adalah tempat-tempat yang memiliki undang-undang senjata legal yang lebih sederhana, menjadi lebih aman. Penembakan baru-baru ini yang kita alami, saya rasa jika suatu tempat tidak terlindungi dengan senjata api, maka tempat itu menjadi sasaran empuk.”
Di tengah perdebatan itu, Amerika Serikat tetap mencatat tingkat kematian paling tinggi akibat senjata api di kalangan negara-negara industri maju. [lt/ka]