Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempun (Komnas Perempuan) hari Rabu (6/3) meluncurkan catatan tahunan (CATAHU) kekerasan terhadap perempuan di Indonesia tahun 2019. Catatan tahunan yang diberi judul “Korban Bersuara, Data Bicara, Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai Wujud Komitmen Negara” itu dikeluarkan bertepatan dengan peringatan Hari Perempuan Internasional 8 Maret.
Di dalam catatan Tahunan 2019 tersebut, terdapat 406.178 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama tahun 2018, atau berarti naik dari tahun sebelumnya yang mencapai 348.466.
Menurut Wakil Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah, kasus kekerasan terhadap perempuan paling tinggi terjadi di ranah privat/ personal dimana pelakunya adalah orang yang memiliki hubungan darah (ayah, kakak,adik, paman dan kakek), kekerabatan, perkawinan (suami) maupun relasi intim (pacaran dengan korban).
BACA JUGA: Presiden Jokowi Terkesan dengan Perjuangan Aktivis Perempuan “Akar Rumput”KDRT Tetap Ada di Urutan Pertama Kekerasan di Ranah Privat
Berdasarkan laporan kekerasan di ranah privat/personal yang diterima mitra pengadan layanan, angka kekerasan dalam pacaran meningkat sebanyak 2.073 kasus. Meski demikian lanjut Yuniyanti, angka kekerasan terhadap istri tetap menempati peringkat pertama yakni 5.114 kasus.
Kekerasan terhadap anak perempuan merupakan kasus ketiga terbanyak (1.417 kasus) setelah kekerasan dalam pacaran. Presentase tertinggi adalah kekerasan fisik 41 persen (3.951 kasus) diikuti kekerasan seksual 31 persen (2.988 kasus), kekerasan psikis dan kekerasan ekonomi.
Catahu Komnas Perempuan Ungkap Tingginya Kasus Incest
Catahu juga menemukan bahwa pelaku kekerasan seksual tertinggi di ranah privat adalah pacar, yaitu sebanyak 1.670 orang, diikuti ayah kandung sebanyak 365 orang, dan kemudian paman yang mencapai 306 kasus. Banyaknya pelaku ayah kandung dan paman selaras dengan meningkatkan kasus incest.
Pelaporan “marital rape” atau perkosaan di dalam perkawinan juga mengalami peningkatan pada tahun 2018. Hubungan seksual dengan cara yang tidak diinginkan dan menyebabkan penderitaan terhadap istri ini mencapai 195 kasus dari sebelumnya 138 kasus.
Kekerasan Seksual di Ranah Publik Capai 2.521 Kasus
Sementara kekerasan di ranah publik mencapai angka 3.915 kasus dimana kekerasan seksual menempati peringkat pertama yaitu sebanyak 2.521 kasus, diikuti kekerasan fisik 883 kasus, kekerasan psikis 212 kasus dan kategori khusus yakni trafficking 158 kasus, sementara kasus kekerasan seksual pada pekerja migrant 141 kasus.
BACA JUGA: “Sisternet” Dorong Perempuan Melek DigitalTiga jenis kekerasan seksual di ranah publik adalah pencabulan (1136 kasus), perkosaan (762 kasus) dan pelecehan seksual (394 kasus).
Di ranah yang menjadi tanggung jawab negara, ada 16 kasus pelecehan seksual oleh satpol PP dan dalam kasus konflik sumber daya alam.
“Kita semua terhenyak dengan besarnya dan kompleks serta ekstrimnya kekerasan yang sekarang yang terjadi di ranah domestik. Kekerasan terhadap istri dari lima tahun terakhir, sangat terlihat kekerasan yang sangat dominan terjadi.Sekarang kita dibuat marah dengan incest, marital rape yang bentuk-bentuknya sangat tidak manusiawi,” kata Yuni.
Wilayah Pengaduan Kekerasan Tertinggi : Jateng, Jatim & DKI Jakarta
Lebih lanjut Yuniyanti menjelaskan wilayah tertinggi yang mencatat angka pengaduan kekerasan terhadap perempuan termasuk anak perempuan adalah provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan DKI Jakarta. Sementara tiga provinsi di bagian timur Indonesia yaitu Maluku Utara, Papua dan Papua Barat masih belum memiliki data tentang kekerasan terhadap perempuan yang bisa diakses secara nasional.
Pemantauan Komnas Perempuan menunjukan sembilan jenis kekerasan seksual yang terjadi sepanjang tahun 2018 dengan berbagai model penanganan yaitu pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemerkosaan, pemaksaan melakukan aborsi, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual dan penyiksaan seksual.
Komnas Perempuan Desak Diloloskannya RUU PK-S
Komnas Perempuan lanjut Yuniyanti meminta semua pihak terkait menciptakan situasi kondusif untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan pemenuhan hak korban, dan menggarisbawahi perlunya segera diloloskan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang sedang dibahas di DPR.
BACA JUGA: Betulkah RUU P-KS Bertentangan dengan Nilai-Nilai Indonesia?Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan pada Isu Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Ali Khasan, mengapresiasi peluncuran laporan tahunan Komnas Perempuan tersebut. Menurutnya data ini bisa menunjukan keadaan yang terjadi di lapangan sehingga bisa mencari solusi atas masalah tersebut.
Terkait dengan masih terjadinya kriminalisasi korban, Khasan mengatakan perangkat hukum yang ada, baik aparat penegak hukum maupun peraturan perundang-undangan, masih belum menjamin hak perempuan korban kekerasan atas akses keadilan secara maksimal.
Pelatihan Untuk Tingkatkan Perspektif Aparat Tak Selamanya Berhasil
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, tambahnya, sudah beberapa kali melakukan pelatihan dan sosialisasi kepada aparat penegak hukum untuk meningkatkan pemahaman dan persepektif aparat dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan ini. Namun ia mengakui hasilnya masih belum maksimal karena seringnya terjadi rotasi dalam badan-badan aparat.
Your browser doesn’t support HTML5
“Setelah mendapatkan pelatihan, sosialisasi dan sebagainya, alasan klasiknya adalah adanya rotasi yang sering. Bahkan ini bukan terjadi pada APH saja baik itu di kepolisian, kejaksaan dan pengadilan,juga terjadi di dinas-dinas khususnya di dinas PPPA yang ada di daerah. Dengan demikian memunculkan persepsi yang berbeda setelah diadakan pelatihan kemudian ganti orangnya, ganti juga komitmennya,” ujar Khasan.
Ali Khasan juga mengatakan perlunya komitmen bersama dan persamaan persepsi antar aparat penegak hukum dalam penanganan perkara kekerasan terhadap perempuan yang responsif gender. (fw/em)