Kekurangan Kader Berkualitas, Politisi Kritik Kampus Steril Politik

  • Nurhadi Sucahyo

Sebanyak 9.277 mahasiswa baru Universitas Lampung (Unila) mengikuti Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB). Kampus, sebagai tempat berkumpulnya intelektual muda sampai saat ini dinilai berjarak dengan politik praktis.(Foto: Ilustrasi/Humas Unila)

Sekitar 60 persen pemilih dalam Pemilu 2024 diprediksi adalah anak muda. Namun, kampus, sebagai tempat berkumpulnya intelektual muda sampai saat ini dinilai berjarak dengan politik praktis. Kondisi ini adalah warisan mantan presiden Soeharto di masa Orde Baru.

Anggota DPR dari Partai NasDem, Willy Aditya, mempertanyakan sikap perguruan tinggi di Indonesia yang sampai saat ini masih melarang politik masuk ke kampus. Padahal, kampus berperan menyiapkan kader politik berkualitas.

“Hari ini, dominant actors adalah pengusaha. Kenapa? Kita harus sama-sama, tepuk dada tanya selera. Jangan hanya partai, kampus kan punya tangung jawab pendidikan juga. Kenapa berjarak dengan partai. Kenapa kampus anti partai?” ujar Willy.

Anggota DPR dari Partai NasDem, Willy Aditya. (Foto: Nurhadi)

Pernyataan itu muncul ketika Willy menanggapi pertanyaan dalam diskusi Mengembalikan Politik Programatik di Pemilu 2024, Senin (10/10). Diskusi yang diselenggarakan Departemen Politik dan Pemerintahan, Fisipol, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta ini juga menghadirkan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dan jurubicara PKS, Muhammad Kholid.

Willy mengingatkan, Muhammad Hatta pernah mengeluarkan Maklumat X pada 1945 yang mendasari berdirinya partai politik di Indonesia ketika itu. Di masa lalu, kampus perguruan tinggi juga membuka ruang berdirinya organisasi mahasiswa, berdasar kecenderungan politiknya. Organisasi mahasiswa itu, menjadi tulang punggung kaderisasi partai politik, kata Willy.

Dalam sejarahnya, Soeharto di masa Orde Baru kemudian membersihkan kampus dari politik. Program ini disebut sebagai Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Keorganisasian (NKK/BKK).

Sebanyak 9.833 mahasiswa baru Universitas Gadjah Mada mengikuti Pelatihan Pembelajar Sukses bagi Mahasiswa Baru (PPSMB) yang berlangsung 1-13 Agustus. (Foto: Humas UGM)

“Sekarang kita lupa. Partai masuk ke kampus diusir,” tandas Willy.

Padahal, partai adalah kunci maju mundurnya demokrasi. Karena itulah aktor dominan dalam politik, seharusnya adalah orang-orang berdedikasi, berintegritas dan berideologi. Ideologi, kata Willy, hanya dipegang oleh mereka yang berpengetahuan. Jika politisi didominasi oleh pebisnis, maka ideologinya adalah untung rugi.

“Kenapa? Karena kampus juga abstain. Kita masih mempertahankan NKK/BKK dalam hal ini. Kita masih tetap memakai istilah organisasi intra dan ekstra. Siapa yang mengusir teman-teman organisasi ini dari dalam kampus?” tandasnya.

Anak Muda dan Politik

Gambaran ketertarikan anak muda terhadap politik, setidaknya dapat dibaca pada hasil survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS), yang dirilis September lalu. Dalam survei tersebut, hanya 14 persen responden yang menyatakan tertarik mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau anggota DPRD. Sedangkan untuk bergabung dalam partai politik atau organisasi di bawah partai, hanya 1,1 persen responden yang tertarik. Organisasi kepemudaan, organisasi masyarakat dan organisasi pelajar/mahasiswa lebih dipilih sebagai tempat beraktivitas.

Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, saat berada di kampus UGM. (Foto: Courtesy)

Survei ini menunjukkan, 44 persen responden menyebut kesejahteraan masyarakat merupakan isu strategis yang menjadi perhatian dalam Pemilu 2024. Selanjutnya, isu yang menjadi perhatian anak muda dalah lapangan kerja (21 persen), pemberantasan korupsi (15 persen), demokrasi dan kebebasan sipil (8 persen), kesehatan (6 persen) dan lingkungan hidup (2 persen).

Sebanyak 17 persen anak muda juga lebih suka menyampaikan pendapat politik melalui media sosial, dan hanya 6 persen yang menyampaikan langsung kepada pejabat publik atau anggota dewan.

Partai Klaim Peduli

Juru bicara Partai Keadilan Sejahtera, Muhammad Kholid. (Foto: Nurhadi)

Juru bicara PKS, Muhammad Kholid mengklaim bahwa partainya sangat peduli dengan keterlibatan anak muda dalam politik.

“Di era kepemimpinan sekarang, PKS mewajibkan kuota minimal 30 persen calon legislatif anak muda. Minimal 30 persen, baik pusat, daerah sama wilayah,” ujar Kholid.

Dalam proses penyusunan daftar calon legislatif untuk kepentingan Pemilu, pengurus di daerah wajib mengirimkan daftar nama. Sesuai undang-undang, 30 persen dari nama itu harus perempuan. Namun, PKS menambah kewajiban dengan mengharuskan 30 persen nama tersebut juga harus anak muda.

Your browser doesn’t support HTML5

Kekurangan Kader Berkualitas, Politisi Kritik Kampus Steril Politik

“Kalau wilayah itu mengirimkan caleg kok enggak nyampe 30 persen anak muda, dibalikin sama DPP, suruh ngajuin lagi,” tambahnya.

PKS, kata Kholid mendorong partisipasi anak muda lebih massif, bukan hanya sebagai pemilih, tetapi sebagai aktor atau pemain dalam politik.

Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. (Foto: Nurhadi)

Sementara PDIP melalui Hasto Kristiyanto menekankan, bahwa soal partisipasi, yang lebih penting adalah kualitasnya.

“Pemuda bukan pada jumlahnya. Bung Karno ketika bertanya, “Hai pemuda berapa jumlah kamu, jawablah saya adalah satu”. Yang penting adalah kualitas,” ujar Hasto.

Hasto memastikan bahwa ruang bagi anak muda di PDI P tersedia. Namun, dia menampilkan anak muda di dalam panggung politik bukanlah akhir. Lebih penting lagi adalah bagaimana anak muda di panggung politik itu mampu melakukan perubahan mendasar.

BACA JUGA: Kejar Kualitas, Pemerintah Luncurkan Dana Abadi Perguruan Tinggi

“Membawa kemajuan, sesuai dengan spirit anak muda yang progresif, yang menguasai kreativitas, ilmu pengetahuan, teknologi digital,” ujarnya.

Salah satu bentuknya, PDIP memiliki sekolah partai dimana anak-anak muda, apapun preferensi politiknya, berkesempatan belajar politik.

Kampus Terbuka

Kepala Departemen Politik dan Pemerintahan, Fisipol, UGM, Abdul Gaffar Karim memastikan bahwa mereka terbuka terhadap partai dan politik.

Pengamat politik Fisipol UGM, Abdul Gaffar Karim dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

“Kita tidak alergi pada simbol Parpol. Tidak alergi pada kampanye Parpol sekalipun. Kita tidak menolak ada atribut Parpol. Tahun 2019 bahkan kita mengajak untuk debat calon presiden itu dilakukan di kampus, tetapi ditolak oleh KPU. Enggak tahu sekarang apakah masih bisa dilakukan,” kata Gaffar.

Menjelang 2024, Fisipol UGM akan kembali menggelar berbagai diskusi membedah program para calon presiden.

Mahasiswa baru Unila mengikuti Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru, 15-19 Agustus 2022. (Foto: Humas Unila)

Gaffar juga mengatakan, dalam beberapa waktu ke depan hingga 2024, para politisi akan sibuk di ranah yang dia sebut sebagai jalan raya demokrasi. Peran itu penting untuk memastikan politik elektoral Indonesia berlangsung dengan sebaik-baiknya.

“Di saat yang sama, kampus akan memikirkannya dengan sebaik-baiknya. Tetap di menara gading. Orang-orang kampus jangan semua ke jalanan. Terus yang menjaga menara gading siapa?” kata Gaffar.

Masih dalam perumpamaan yang sama, Gaffar memastikan bahwa kampus dengan menara gadingnya, memiliki pintu yang bisa dimasuki oleh siapapun yang menjalankan politik elektoral di luar kampus. Hubungan keduanya harus dijaga, karena dengan begitulah upaya untuk menjaga demokrasi bisa dilakukan. [ns/ab]