Keputusan Mahkamah Agung Meksiko terkait aborsi memicu kontroversi yang berlarut-larut di negara itu.
September lalu para hakim agung di pengadilan tertinggi itu dengan suara bulat memutuskan bahwa mengkriminalisasi aborsi adalah inkonstitusional. Keputusan itu adalah sebuah kemenangan besar bagi para advokat kesehatan perempuan dan HAM.
Keputusan Mahkamah Agung di negara Katolik Roma terbesar kedua di dunia itu berarti bahwa pengadilan tidak dapat lagi menuntut kasus aborsi. Meksiko mengikuti langkah Argentina yang mulai memberlakukan keputusan yang sama sebelumnya tahun ini.
Menyusul keputusan Mahkamah Agung, kelompok-kelompok agama tidak tinggal diam. Mereka menggelar berbagai aksi protes, dan salah satu yang terbesar berlangsung awal Oktober lalu.
Mereka pada intinya menyerukan agar rakyat Meksiko membela budaya kehidupan atau culture of life yang sering disuarakan Gereja Katolik. Sebagaimana diketahui Meksiko adalah negara Katolik Roma terbesar di dunia setelah Brazil, dan Gereja Katolik pada intinya menentang semua bentuk aborsi.
Milagros Avelar, seorang penentang aborsi, hadir pada sebuah aksi protes di ibu kota Meksiko, Mexico City, awal Oktober lalu. Ia bersama ribuan demonstran lainnya menggelar pawai melalui Reforma Avenue, salah satu jalan utama di Mexico City, sambil mengusung gambar-gambar keagamaan dan melangsungkan doa bersama.
"Kami tidak dapat mendukung undang-undang yang tidak mengusahakan kebaikan bersama. Hukum itu ada untuk mewujudkan kebaikan bersama, bukan untuk mengorbankan kepentingan individu, yang dalam hal ini ada mereka yang belum lahir dan tidak berdaya. Sayangnya, Meksiko bergerak ke arah ini. Kami berharap keputusan itu dibatalkan dan membuka jalan baru untuk kebaikan semua," jelas Milagros Avelar.
Your browser doesn’t support HTML5
Pendapat serupa dilontarkan warga bernama Guadalupe Gutierrez. "Saya sangat menentang dekriminalisasi aborsi. Saya mendukung kehidupan, di sini kami mengatakan ‘ya untuk hidup’. Setiap orang memiliki hak untuk hidup bahkan sebelum mereka keluar dari rahim. Sejak dalam kandungan, setiap orang berhak untuk hidup dan dihormati."
Menurut kelompok-kelompok HAM, ratusan perempuan Meksiko umumnya miskin, digugat secara hukum karena melakukan aborsi. Beberapa puluh orang di antara mereka hingga saat ini masih dipenjarakan. Keputusan terbaru Mahkamah Agung bisa mengubah keadaan itu.
Aksi protes serupa sebetulnya juga terjadi di berbagai penjuru dunia. Di Amerika, baru-baru ini Mahkamah Agung mengizinkan undang-undang di negara bagian Texas yang melarang sebagian besar praktik aborsi untuk tetap berlaku. Keputusan itu dicapai lewat pemungutan suara majelis hakim dengan hasil 5 banding 4, di mana Mahkamah Agung menolak permohonan darurat yang diajukan kelompok-kelompok pembela hak aborsi agar undang-undang tersebut diblokir.
Putusan itu menyebut bahwa para pemohon tidak memenuhi persyaratan yang dibutuhkan untuk menghentikan pemberlakuan undang-undang itu, sambil tetap membuka peluang upaya banding lainnya.
Putusan MA itu disambut kritik tajam Presiden AS Joe Biden dan kelompok-kelompok pejuang hak aborsi.
Dalam sebuah pernyataannya, Biden yang mendukung hak aborsi sebagaimana mayoritas anggota Partai Demokrat lainnya, mengatakan bahwa undang-undang Texas itu “secara terang-terangan melanggar hak konstitusional yang diciptakan” melalui putusan bersejarah dalam kasus Roev. Wade tahun 1973, yang menyebut perempuan memiliki hak konstitusional untuk mengakhiri kehamilan dalam enam bulan pertama, sewaktu janin tidak mampu bertahan hidup di luar kandungan.
Texas adalah satu dari selusin negara bagian, yang kebanyakan dipimpin Partai Republik, yang telah memberlakukan larangan aborsi “detak jantung” alias melarang prosedur aborsi ketika irama kontraksi jaringan jantung janin dapat dideteksi, seringkali pada usia kehamilan enam minggu, dan terkadang ketika seorang perempuan belum menyadari kehamilannya.
Undang-undang antiaborsi Texas tidak biasa karena memberi kekuatan hukum kepada warga untuk menegakkannya, yaitu dengan mengizinkan mereka menggugat penyedia jasa aborsi dan siapapun yang “membantu atau bersekongkol” dalam prosedur aborsi setelah kehamilan usia enam minggu. Mereka yang memenangkan gugatan berhak menerima setidaknya uang sebesar $10,000 atau sekitar Rp140 juta. [ab/uh]