Yayasan amal Bunda Teresa -- Misionaris Cinta Kasih – menerima kejutan yang tidak menyenangkan di penghujung tahun 2021. Pemerintah India memutus pendanaan asing bagi organisasi Katolik yang membantu orang-orang miskin di negara yang jumlah penduduknya terbanyak kedua di dunia itu.
Dalam sebuah pernyataannya, Kementerian Dalam Negeri mengatakan, yayasan amal tersebut "tidak memenuhi persyaratan kelayakan" berdasarkan Undang-Undang Peraturan Kontribusi Asing (FCRA), tanpa memberikan perincian lebih lanjut.
Keputusan itu dikeluarkan tidak lama setelah beberapa kelompok Hindu garis keras mengganggu misa-misa Natal di beberapa wilayah India Desember lalu, termasuk di daerah pemilihan parlemen Modi di negara bagian Uttar Pradesh yang paling padat penduduknya di mana pemilihan kepala daerah dijadwalkan berlangsung tahun ini.
Kelompok garis keras Hindu yang berafiliasi dengan Partai Bharatiya Janata (BJP) pimpinan Perdana Menteri Narendra Modi telah berulang kali menuduh Misionaris Cinta Kasih menyelenggarakan program pindah agama dengan kedok amal dengan menawarkan uang, pendidikan gratis, dan tempat tinggal kepada umat Hindu yang miskin.
Misionaris Cinta Kasih membantah tuduhan itu, dan Ranjeet Kumar, seorang warga Kalkuta, ibu kota negara bagian Benggala Barat, ikut menegaskannya.
"Saya meminta semua pejabat pemerintah pusat untuk datang ke yayasan ini setiap pagi pada jam 6 dan melihat antrean orang miskin dan tunawisma yang membentang lebih dari satu mil yang diberi makan gratis. Tidak satu pun dari orang-orang itu beragama Kristen dan tidak seorang pun dari mereka yang diminta untuk memeluk agama Kristen," katanya.
BACA JUGA: Penutupan Masjid di Srinagar Ingkari Kebebasan Beragama di IndiaPeraih Nobel Perdamaian Bunda Teresa, biarawati Katolik Roma yang meninggal pada 1997, mendirikan Misionaris Cinta Kasih pada 1950. Badan amal tersebut memiliki lebih dari 3.000 biarawati di seluruh dunia yang mengelola rumah perawatan, dapur umum, sekolah, koloni penderita kusta, dan panti asuhan untuk anak-anak telantar. Di India sendiri, badan amal itu telah membantu ribuan orang,
Sejak Perdana Menteri Narendra Modi berkuasa pada 2014, kelompok-kelompok Hindu garis keras semakin mengonsolidasikan posisi mereka. Mereka melancarkan serangan terhadap kelompok minoritas dengan alasan untuk mencegah terjadinya praktik pindah agama.
Beberapa negara bagian bahkan telah mengesahkan, atau sedang mempertimbangkan, undang-undang antikonversi agama yang semakin menekan kebebasan beragama di negara tersebut.
Banyak tokoh Kristen dan aktivis HAM mengatakan, pengesahan undang-undang antipindah agama merupakan tindakan keliru, dan tidak berdasar. Umat Kristen India hanya mewakili 2,3 persen dari 1,37 miliar penduduk negara itu. Hampir 80 persen penduduk negara itu menganut ajaran Hindu.
Manish Dashee, seorang aktivis HAM, mengecam undang-undang tersebut.
“Kami sepenuhnya menentang undang-undang ini. Kami kecewa dengan apa yang dilakukan pemerintah. Konstitusi jelas-jelas melindungi kebebasan beragama. Mengapa pemerintah terkesan seperti menekan kelompok-kelompok minoritas?" katanya.
Tekanan juga dirasakan kelompok minoritas Muslim di India. Kelompok-kelompok Hindu garis keras sering menggelar protes menjelang kegiatan salat Jumat. Walhasil, banyak acara salat berjamaah itu dibatalkan, atau bahkan tidak dizinkan pihak berwenang setempat karena memicu keonaran.
Perpecahan agama di India semakin dalam di bawah pemerintahan nasionalis Hindu pimpinan Modi. Banyak kelompok masyarakat sipil menuduh pihak berwenang di beberapa negara bagian lebih memihak kepada kelompok Hindu daripada komunitas-komunitas minoritas.
BACA JUGA: Di India, Cinta Beda Agama Berakhir dengan PembunuhanPrerna Mehta, Direktur Asosiasi Pembangunan Perkotaan di World Resources Institute India, sebuah lembaga think-tank, contohnya mengatakan, kelompok-kelompok minoritas di India memiliki lebih sedikit ruang dan akses yang lebih terbatas.
Di Gurugram, dekat ibu kota India, New Delhi, jumlah area publik yang ditunjuk untuk namaz, kata Persia untuk salat Jumat, telah berkurang setengahnya menjadi sekitar 20. Kelompok-kelompok Hindu mengklaim ruang-ruang itu untuk arena permainan dan kegiatan-kegiatan lainnya, dan menyatakan bahwa agama tidak boleh dipraktikkan di sana.
Seorang pejabat tinggi di Gurugram membantah bahwa pihak berwenang lebih memihak kepada kelompok Hindu. "Salat Jumat masih dilakukan di banyak tempat. Protes hanya terjadi di dua atau tiga tempat saja," kata Yash Garg, wakil komisaris distrik Gurugram.
Ia mengatakan, masyarakat dan pemerintah berkomitmen untuk menemukan penyelesaian damai, tanpa memberikan rincian lebih lanjut.
Terlepas dari bantahan itu, banyak aktivis HAM melaporkan adanya peningkatan aksi pembunuhan dan kejahatan kebencian terhadap Muslim dan Dalit, kasta paling rendah di India, selama masa pemerintahan Modi -- tuduhan yang dibantah pemerintah. Sementara itu, banyak acara yang menandai festival-festival keagamaan Hindu menjadi lebih agresif diselenggarakan.
Insiden-insiden semacam itu mencerminkan "pengabaian yang jelas terhadap pembatasan apa pun pada manifestasi keagamaan di ruang publik ketika menyangkut umat Hindu," kata Neha Dabhade, wakil direktur di Pusat Studi Masyarakat dan Sekularisme. [ab/uh]