Kelompok Millenial Terus Melawan Intoleransi dan Radikalisme

  • Rio Tuasikal

Lisna Siti Ratnasari (kiri), mahasiswi Perbandingan Agama-Agama UIN Bandung kerap mengikuti kegiatan lintas-iman di kota ini. Lisna berfoto dengan Sianita Devi (kanan) usai diskusi "Strategi Pembauran Indonesia" di Kong Miao, Bandung, 4 Desember 2018. (Foto: dok)

Sejumlah studi menunjukkan intoleransi dan radikalisme telah masuk dan berkembang di berbagai kalangan, termasuk pemuda atau generasi millenial di Indonesia. Karena itu, sebuah gerakan bertajuk Indonesia Millenial Movement berupaya menanamkan bibit perdamaian pada anak muda.

Lembaga Maarif Institute mencatat sejumlah pemuda terlibat dalam beberapa aksi terorisme pada 2018. Antara lain, peledakan bom di Surabaya yang melibatkan seorang pemuda YF, 18 tahun; dan upaya penusukan anggota polisi di Mako Brimob yang melibatkan pemuda 18 tahun dan 21 tahun.

Dalam acara Kopdar Generasi Milenial di UIN Bandung, Kamis (10/1), Direktur Maarif Institute, Muhammad Abdullah Darraz, mengatakan gejala intoleransi dan radikalisme terus masuk ke kalangan muda.

“Kita mulai tidak bisa menenggang perbedaan itu. Itu yang kita sebut sebagai intoleransi. Kita menghadapi suatu situasi bagaimana eskalasi gejala intoleransi, intoleransi semakin mengemuka. Di luar itu juga kita menghadapi misalnya di kalangan generasi muda kita ada fenomena radikalisme, ekstremisme. Nanti ujungnya ada fenomena terorisme. Kalau itu Sudah dalam bentuk perbuatan,” ujarnya saat membuka acara.

Direktur Maarif Institute, Muhammad Abdullah Darraz, menyerahkan buku "Milenial Bincang Perdamaian" kepada Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Bandung, Rosihon Anwar, Kamis (10/1/2019). Buku itu merupakan antologi esai dari generasi muda dan membahas upaya menj

Dua kejadian di atas juga didukung sejumlah studi. Survei terbaru dari Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta pada 2017 mengungkap opini pelajar dan mahasiswa yang radikal 58 persen, intoleransi internal 51,1 persen, dan intoleransi eksternal 34,4 persen.

Survei Wahid Foundation pada 2016 menunjukkan 60 persen anak muda yang aktif di kegiatan rohani Islam (rohis), yang mengikuti pelatihan tertentu, bersedia berperang ke wilayah konflik seperti Poso dan Suriah. 10 persen dari mereka mendukung serangan Bom di Thamrin, Jakarta, ditambah 6 persen mendukung ISIS.

Situasi itulah yang mendorong Maarif Institute, yang lama berkecimpung dalam isu toleransi, memulai Indonesia Millenial Movement (IMM). Mereka menggaet dan melatih 100 pemuda 17-25 tahun dari berbagai provinsi di Indonesia untuk menjadi agen perdamaian. Generasi millenial yang dinilai berpandangan terbuka, visioner, dan aktif mengkampanyekan perdamaian ini dikonsolidasikan untuk menjaga keberagaman di tanah air.

BACA JUGA: BIN: Penyebaran Paham Radikal Tidak Lepas Dari Konflik di Timteng

“Bagaimana kita sebagai generasi muda, generasi milenial, ingin tetap melihat Indonesia ke depan, mungkin sampai satu hari sebelum kiamat, itu masih utuh. Masih tetap dalam kondisi damai dan harmoni,” paparnya lagi.

Salah satu duta perdamaian dari IMM, Nita Mujahidah yang berkuliah di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, mengatakan keberagaman adalah modal kemajuan bangsa.

“Jargon tersebut merupakan modal dalam menyikapi keberagaman yang ada di Indonesia. Ketika kita meyakini keberagaman bukanlah sebuah perbedaan dan kita menghargai segala sesuatu yang ada di alam keberagaman tersebut, maka itu akan menelurkan kemajuan bagi bangsa kita,” paparnya.

Menurut perempuan berhijab ini, generasi muda sendiri harus turut memberantas intoleransi dan radikalisme. “Kita lah sebagai generasi milenial yang akan meneruskan estafet perjuangan pahlawan terdahulu. Dengan apa? Dengan memutus rantai fenomena-fenomena tersebut,” tegasnya lagi.

Tiga perempuan berhijab berfoto di kawasan Pecinan Bandung dalam tur Malam Imlek 2018 yang digelar Jaringan Kerja Antar-umat Beragama (Jakatarub) sejak 2013. (Courtesy: Kharisma Prima/Bandung Lautan Damai)

Di samping IMM, sejumlah gerakan toleransi juga telah menyasar anak muda, antara lain Temu Kebangsaan di Jakarta, Peace Generation di Bandung, Jawa Barat, dan StaraMuda di Jombang, Jawa Timur. Gerakan-gerakan ini mempertemukan pemuda dari berbagai suku dan agama untuk membicarakan upaya menjaga perdamaian di Indonesia.

Menanam Bibit Toleransi di Kampus Islam

Di samping gerakan-gerakan dari kelompok masyarakat sipil, institusi pendidikan juga diharapkan menanamkan bibit toleransi kepada mahasiswa-mahasiswinya. Di Fakultas Ushuluddin UIN Bandung, yang mempelajari dasar-dasar keyakinan dalam Islam, peserta didik diajak melihat agama Islam dengan cara pandang baru.

Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Bandung, Rosihon Anwar, mendorong pengenalan titik temu agama-agama kepada mahasiswa program Studi Agama-Agama.

“Kita coba perkenalkan kepada mahasiswa tentang common platform atau istilah Al Quran-nya kalimatun sawa, dari agama-agama yang ada. Ini yang kita usung untuk menciptakan perdamaian,” jelasnya.

Mahasiswa-mahasiswa program studi ini sering terlihat dalam kegiatan lintas-iman di Kota Bandung, misalnya diskusi buku atau resepsi hari besar keagamaan.

BACA JUGA: Membuka “Ruang Perjumpaan” Tionghoa dan Etnis Lain

Fakultas Ushuluddin UIN Bandung memiliki setidaknya 1.200 mahasiswa, terbanyak dibandingkan fakultas ushuluddin lain se-Indonesia. Empat jurusan lain di fakultas ini, yakni Aqidah dan Filsafat Islam, Ilmu Al Quran dan Tafsir, Ilmu Hadist, dan Tasawuf Psikoterapi, juga melakukan pendekatan Islam moderat.

“Di samping formalitas (agama) juga bisa melihat dari segi substansi. Substansi perdamaian, kedamaian, saling kerjasama dan sebagainya,” ucap profesor yang rutin mengisi acara siraman rohani di TVRI Jawa Barat ini.

Penulis buku-buku Islam ini berharap, pendekatan tersebut bisa mendorong pemuda menjaga keberagaman khususnya di Jawa Barat. “Supaya Jawa Barat sebagai masyarakat yang terkenal punya budaya someah atau budaya damai, untuk mempertahankan kedamaian di bumi Pasundan ini,” pungkasnya. [rt]