Kelompok HAM internasional mempertanyakan kemandirian Komisi Pemilu Myanmar, setelah komisi itu menuduh pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi melanggar konsitusi, ketika berbicara dalam rapat umum.
Partai Liga Nasional Untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Suu Kyi telah menyerukan kepada rakyat Myanmar untuk menguji parlemen dan mengajukan petisi guna mengubah konstitusi.
Pemimpin kelompok oposisi Aung San Suu Kyi telah mengambil pendekatan secara politik yang lebih agresif dalam kampanye beberapa bulan terakhir ini, Ia menyampaikan seruan menentang peran militer dalam politik dan melancarkan petisi untuk mengubah konstitusi Myanmar.
Salah satu usul penting adalah mengubah posisi parlemen yang sangat berpihak pada militer. Konstitusi Myanmar mencadangkan 25% kursi parlemen bagi militer, dan perubahan apapun terhadap konstitusi mensyaratkan dukungan mayoritas 75%. Aturan ini efektif memberi hak veto bagi militer terhadap perubahan apapun.
Komisi Pemilu Myanmar bulan lalu mengkritisi kampanye Aung San Suu Kyi dan mengeluarkan surat peringatan resmi kepadanya karena pernyataannya melanggar konstitusi, yang mensyaratkan para anggota parlemen untuk “mematuhi dan menjunjung tinggi” konstitusi.
Juru bicara dan kuasa hukum Liga Nasional Untuk Demokrasi NLD Nyan Win mengatakan komisi pemilu bertindak di luar wewenangnya dan salah mengartikan komentar Suu Kyi.
“Kami ingin agar peran militer dalam parlemen dikurangi, ini tujuan kami. Tetapi Suu Kyi tidak berkata demikian dalam kampanye itu,” kata Nyan Win.
Sewaktu Suu Kyi mengkampanyekan usulannya itu secara terbuka, Presiden Thein Sein menanggapi hal itu dengan mengatakan sebelum negara itu mengubah konstitusi, pemerintah harus menyelesaikan dulu perundingan damai dengan kelompok-kelompok etnis dan memberlakukan gencatan senjata secara unilateral. NLD menolak pandangan ini.
Human Rights Watch yang berkantor di New York pekan ini mengeluarkan sebuah pernyataan meminta Komisi Pemilu Myanmar supaya segera menghentikan intimidasi terhadap Suu Kyi dan NLD.
Wakil Direktur Human Rights Watch untuk Asia Phil Robertson mengatakan komisi pemilu telah menuduh Suu Kyi melanggar aturan-aturan pemilu yang bahkan belum ada, dan pernyataan komisi pemilu itu menunjukkan bias militer dalam badan pemilu yang seharusnya independen.
“Fakta politiknya adalah ada pemerintah di dalam pemerintah. Pemerintah dalam pemerintah yang dimaksud itu adalah militer Myanmar. Militer Myanmar tidak melakukan apapun untuk mereformasi diri, untuk mundur dari kekuasaan yang mereka peroleh berdasarkan konstitusi tahun 2008 dan memiliki kemampuan tidak terbatas yang luar biasa lewat jenderal purnawirawan Tin Aye yang menjadi kepala komisi pemilu, untuk mempengaruhi pemilu tahun 2015 secara signifikan,” ujar Robertson.
Phil Robertson juga merujuk pada konstitusi tahun 2008 yang disusun oleh militer dan “dipaksakan” dalam referendum yang dikecam para pengamat sebagai tidak adil.
Pada sisa waktu sebelum pemilu, lebih banyak demonstrasi direncanakan di negara-negara bagian yang dihuni kelompok etnis minoritas – termasuk di ibukota negara bagian Rakhine – Sittwe.
(Gabrielle Palluch/VOA).
Pemimpin kelompok oposisi Aung San Suu Kyi telah mengambil pendekatan secara politik yang lebih agresif dalam kampanye beberapa bulan terakhir ini, Ia menyampaikan seruan menentang peran militer dalam politik dan melancarkan petisi untuk mengubah konstitusi Myanmar.
Salah satu usul penting adalah mengubah posisi parlemen yang sangat berpihak pada militer. Konstitusi Myanmar mencadangkan 25% kursi parlemen bagi militer, dan perubahan apapun terhadap konstitusi mensyaratkan dukungan mayoritas 75%. Aturan ini efektif memberi hak veto bagi militer terhadap perubahan apapun.
Komisi Pemilu Myanmar bulan lalu mengkritisi kampanye Aung San Suu Kyi dan mengeluarkan surat peringatan resmi kepadanya karena pernyataannya melanggar konstitusi, yang mensyaratkan para anggota parlemen untuk “mematuhi dan menjunjung tinggi” konstitusi.
Juru bicara dan kuasa hukum Liga Nasional Untuk Demokrasi NLD Nyan Win mengatakan komisi pemilu bertindak di luar wewenangnya dan salah mengartikan komentar Suu Kyi.
“Kami ingin agar peran militer dalam parlemen dikurangi, ini tujuan kami. Tetapi Suu Kyi tidak berkata demikian dalam kampanye itu,” kata Nyan Win.
Sewaktu Suu Kyi mengkampanyekan usulannya itu secara terbuka, Presiden Thein Sein menanggapi hal itu dengan mengatakan sebelum negara itu mengubah konstitusi, pemerintah harus menyelesaikan dulu perundingan damai dengan kelompok-kelompok etnis dan memberlakukan gencatan senjata secara unilateral. NLD menolak pandangan ini.
Human Rights Watch yang berkantor di New York pekan ini mengeluarkan sebuah pernyataan meminta Komisi Pemilu Myanmar supaya segera menghentikan intimidasi terhadap Suu Kyi dan NLD.
Wakil Direktur Human Rights Watch untuk Asia Phil Robertson mengatakan komisi pemilu telah menuduh Suu Kyi melanggar aturan-aturan pemilu yang bahkan belum ada, dan pernyataan komisi pemilu itu menunjukkan bias militer dalam badan pemilu yang seharusnya independen.
“Fakta politiknya adalah ada pemerintah di dalam pemerintah. Pemerintah dalam pemerintah yang dimaksud itu adalah militer Myanmar. Militer Myanmar tidak melakukan apapun untuk mereformasi diri, untuk mundur dari kekuasaan yang mereka peroleh berdasarkan konstitusi tahun 2008 dan memiliki kemampuan tidak terbatas yang luar biasa lewat jenderal purnawirawan Tin Aye yang menjadi kepala komisi pemilu, untuk mempengaruhi pemilu tahun 2015 secara signifikan,” ujar Robertson.
Phil Robertson juga merujuk pada konstitusi tahun 2008 yang disusun oleh militer dan “dipaksakan” dalam referendum yang dikecam para pengamat sebagai tidak adil.
Pada sisa waktu sebelum pemilu, lebih banyak demonstrasi direncanakan di negara-negara bagian yang dihuni kelompok etnis minoritas – termasuk di ibukota negara bagian Rakhine – Sittwe.
(Gabrielle Palluch/VOA).