Ratusan militan di Indonesia akan bebas dari penjara, yang merupakan sarang radikalisme di mana para pemimpin radikal yang berpengaruh secara terbuka menyebarkan ideologi ekstremis mereka.
Hal ini menimbulkan kewaspadaan dan ketakutan bahwa beberapa dari mereka yang bebas akan bergabung dengan kelompok Negara Islam (ISIS).
Lebih dari satu dekade setelah Indonesia bersumpah untuk membongkar jaringan teroris untuk memotong serangkaian serangan, pengabaian kondisi penjara telah memungkinkan para tahanan papan atas untuk mempromosikan pandangan mereka dari balik jeruji, dan bahkan di luar itu berkat ponsel dan laptop.
Sekitar 200 militan yang dipenjara akan bebas dalam dua tahun mendatang, dan para ahli mengatakan upaya-upaya deradikalisasi yang tidak memadai akan membuat mereka meninggalkan penjara dengan masih memiliki ideologi yang sama.
"Pejnara masih menjadi pusat terorisme di Indonesia. Militan-militan paling berbahaya ada di balik jeruji dan perekrutan masih berjalan," ujar ahli terorisme Taufik Andrie dari Institute for International Peace Building di Jakarta.
Tren yang mengkhawatirkan ini terjadi meski pihak berwenang terus waspada dengan militansi agama terutama ISIS, yang mendeklarasikan diri sebagai kekhalifahan Islam di wilayah yang luas di Suriah dan Irak.
Pihak berwenang mengatakan sekitar 60 warga Indonesia diyakini telah bergabung dengan ISIS, meski sebagian besar analis yakin jumlah sebenarnya mencapai 200, dan kekhawatiran bertambah karena mereka dapat kembali dan menghidupkan lagi jaringan militan yang canggih.
Singapura mengatakan militan-militan ISIS dari Malaysia dan Indonesia telah membentuk kelompok sendiri -- Katibah Nusantara Lid Daulah Islamiyyah, atau Unit Nusantara Melayu untuk Negara Islam -- yang memunculkan ancaman keamanan yang jelas untuk Asia Tenggara.
Pemerintah Indonesia telah melarang dukungan untuk ISIS, namun para ahli mengatakan upaya-upaya di Indonesia terhalang kegagalan untuk mengatasi masalah di penjara.
Sumpah Setia pada ISIS dari Balik Penjara
Abu Bakar Baasyir, mantan pemimpin spiritual Jemaah Islamiyah (JI), difoto sedang bersumpah setia untuk ISIS di penjara. Foto-foto itu diunggah di laman-laman radikal hampir pada waktu yang sama foto itu diambil.
Aman Abdurrahman, seorang ulama berpengaruh, merupakan penerjemah utama Indonesia untuk ISIS dan telah dapat menyebarkan informasi di Internet dari dalam penjara dengan penjagaan maksimum, termasuk seruan kelompok tersebut baru-baru ini agar para Muslim membunuh orang Barat tanpa pandang bulu.
Sumpah mereka diikuti gelombang sumpah setia untuk ISIS oleh kelompok-kelompok radikal besar, termasuk oleh 23 tahanan yang dipenjara bersama Baasyir, menurut lembaga pemikiran di Jakarta, Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC).
Skema-skema deradikalisasi pemerintah masih berupa ad-hoc dan kurang menyasar target serta hampir tidak ada program, menurut para kritik. Irfan Idrus, kepala deradikalisasi pada Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), mengakui belum ada sistem untuk mengidentifikasi mereka yang telah mengembangkan pandangan-pandangan ekstremis dan memerlukan pemantauan pasca pembebasan.
Ketika Haris Amir Falah dibebaskan setelah dipenjara tiga tahun karena terorisme, ia langsung kembali ke kelompok ekstremis yang dipimpin Baasyir. Falah dihukum karena mendanai sebuah kamp pelatihan militan yang merencanakan serangan terhadap "musuh Islam", termasuk presiden.
Sebelumnya ia telah berperang bersama JI di beberapa daerah dalam konflik-konflik agama, menurut sumber AFP. Fatah klaim ia datang untuk memberikan bantuan. Hanya tiga sesi deradikalisasi yang diadakan saat ia dipenjara, termasuk dialog dengan ulama-ulama moderat.
"Cukup menarik, tapi tidak mengubah jalan pikiran saya," ujarnya.
Falah sekarang tokoh senior dalam sebuah kelompok, dan mengatakan bahwa meski ISIS "terlalu ekstrem" ia mendukung "jihad" di Suriah dan mendukung Front al-Nusra yang terkait al-Qaida.
"Belum ada program-program yang berguna pada skala nasional di penjara yang berdampak jelas," ujar direktur IPAC Sidney Jones, menambahkan bahwa dorongan deradikalisasi di Indonesia "tidak jelas" dan agak "berantakan."
Ia menunjuk pada program untuk mengedukasi terdakwa teroris mengenai Pancasila untuk menanamkan nasionalisme dalam diri mereka.
"Bukannya orang-orang ini tidak merasa jadi orang Indonesia, jadi itu solusi yang salah untuk masalah itu. Banyak dari program-program ini sama tidak terarahnya," ujarnya. (AFP)