Keluarga Korban Kekerasan Seksual di Gereja Butuh Rehabilitasi

Keluarga korban kekerasan seksual membutuhkan rehabilitasi pasca musibah. (Foto: ilustrasi).

Keluarga korban kekerasan seksual di Gereja Paroki Santo Herkulanus Depok, Jawa Barat membutuhkan rehabilitasi pasca musibah yang menimpa salah seorang anak.

Guruh, bukan nama sebenarnya, kerap berteriak dan berkata kotor ketika berkendara mobil sendiri guna melampiaskan kemarahan dan kekesalan. Itu dilakukan saat teringat kembali kekerasan seksual yang dialami anak laki-lakinya yang masih duduk di sekolah dasar. Tidak hanya itu, Guruh setiap malam juga dibayangi rasa bersalah atas kejadian yang menimpa anaknya.

"Saya tiap hari terutama tengah malam, saat anak istri tidur, saya selalu terbangun. Saya marah dengan kejadian yang menimpa anak saya, saya marah dengan diri sendiri, saya tidak bisa menjaga anak saya," tutur Guruh kepada VOA, Rabu (1/7).

Kondisi yang sama juga dialami istri Guruh yang kerap menangis di tengah malam saat anaknya sudah tidur. Sang istri juga kerap menceritakan rasa marah dan kesedihannya kepada Guruh. Namun, Guruh tidak tahu harus bercerita kepada siapa soal kekerasan seksual yang menimpa anaknya.

"Saya papanya anak saya, saya tidak boleh lemah di mata istri dan khususnya anak saya. Kalau saya sampai kelihatan ngedrop di hadapan anak istri, saya seperti apa, mereka bisa tidak kuat," tambah Guruh.

BACA JUGA: PERADI Diminta Menonaktifkan Izin Beracara Tersangka Kekerasan Seksual di Gereja

Guruh dan istrinya mengatakan belum mendapat layanan rehabilitasi meskipun juga mengalami dampak psikologis akibat dampak kekerasan seksual anak mereka. Sejauh ini, baru anaknya yang mendapat layanan psikologis dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Anak Guruh merupakan satu dari 21 korban kekerasan seksual di Gereja Paroki Santo Herkulanus Depok yang melapor ke tim pendamping korban. Menurutnya, tersangka kekerasan seksual SPM melecehkan anaknya sebanyak tujuh kali pada Januari-Maret 2020. Namun, Guruh mengaku baru mengetahui kekerasan seksual tersebut pada 22 Mei setelah seorang jemaat yang curiga terhadap SPM menghubunginya.

Ia lantas bertanya kepada anaknya soal kekerasan seksual tersebut. Kendati demikian, Guruh menuturkan perlu berhati-hati menanyakan kekerasan seksual tersebut kepada anaknya masih masih belajar di sekolah dasar. "Awalnya anak saya ngakunya baru dipegang-pegang kemaluannya. Karena masih anak-anak, kita harus ngerem tidak boleh nanya lagi," ujar Guruh.

BACA JUGA: Kekerasan Seksual di Gereja Herkulanus Depok

Setelah berdialog dengan anaknya, Guruh akhirnya memutuskan untuk melapor ke gereja pada esok harinya dan melapor ke Polres Metro Depok pada (24/5). Ia dan anaknya berharap dengan pemidanaan ini tersangka tidak melakukan kekerasan kembali pada anak lainnya. Selain itu, korban lainnya dapat direhabilitasi sehingga tidak melakukan hal serupa pada masa mendatang. "Anak saya bilang, papa harus laporkan supaya tidak ada korban-korban baru lagi. Pokoknya saya mau supaya tidak ada korban-korban baru lagi," lanjutnya.

Guruh berharap pengadilan akan memberikan hukuman maksimal atas pelanggaran Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak yakni 15 tahun penjara. Ia juga menuntut tersangka dikebiri dan dicabut izin beracara advokatnya.

Kekerasan Seksual Terhadap Anak Adalah Kejahatan Kemanusiaan

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto menilai kekerasan seksual yang dilakukan SPM terhadap anak-anak merupakan kejahatan kemanusiaan yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM. Ia beralasan anak-anak merupakan kelompok yang rentan dan belum bisa mewakili dirinya sendiri di hadapan hukum. Karena itu, kata dia, kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak ini tidak boleh diselesaikan melalui jalur perdamaian.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto. (Foto: law.ui.ac.id)

"Kalau di situ sudah ada kejahatan, apalagi kejahatan terhadap kemanusiaan. Maka hukum negara yang harus jalan, dalam hal ini adalah hukum pidana beserta hukum acaranya. Karena pidana, maka tidak dikenal permaafan atau perdamaian," kata Sulistyowati dalam diskusi online, Minggu (28/6).

Sulistyowati menambahkan Indonesia sudah memiliki sejumlah undang-undang yang melindungi anak-anak. Antara lain Undang-undang Perlindungan Anak, Undang-undang tentang Pengadilan Anak dan Undang-undang tentang Sistem Peradilan Anak. Kendati demikian, anak-anak masih menghadapi kesulitan jika berhadapan dengan hukum. Beberapa penyebabnya adalah beban pembuktian yang dibebankan kepada korban dan penegak hukum yang kurang sensitif terhadap anak.

Your browser doesn’t support HTML5

Keluarga Korban Kekerasan Seksual di Gereja Butuh Rehabilitasi

"Melalui proses penyelidikan dan penyidikan, anak-anak itu menghadapi pertanyaan dari polisi yang menyebabkan korban merekonstruksi kembali peristiwa yang menyakitkan itu. Bahkan pertanyaan itu sudah dibuat standar, kadang tidak ada bedanya pertanyaan kepada orang dewasa dan anak," tambahnya.

Sulistyowati mendesak DPR segera mengesahkan RUU Kekerasan Seksual untuk menghentikan kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Selain itu, kata dia, perlu membuka akses literasi hukum kepada anak-anak tentang kekerasan seksual. Sehingga, mereka dapat mengidentifikasi jenis-jenis kekerasan seksual dan mengetahui apa yang harus dilakukan saat menjadi korban. [sm/em]