Satu tahun setelah rakyat Iran memulai protes antipemerintah yang menyebabkan penindakan yang menimbulkan korban tewas terbanyak oleh pasukan keamanan dalam beberapa dekade ini, keluarga sejumlah demonstran yang terbunuh korban telah kehilangan harapan mendapat keadilan dari penguasa Islamis yang memberi sedikit janji, namun mengingkarinya dan melontarkan ancaman.
Pemerintah Iran memicu demonstrasi nasional pada 15 November 2019 dengan memerintahkan kenaikan 50 persen harga BBM bersubsidi. Ini semakin membebani rakyat Iran yang menghadapi tingkat pengangguran dan inflasi yang tinggi di tengah perekonomian yang menyusut karena sanksi-sanksi keras AS. Pasukan keamanan menewaskan ratusan orang dan menahan ribuan lainnya sewaktu menumpas protes yang sebagian besar berlangsung damai. Sejumlah orang juga merusak bangunan-bangunan umum dan bisnis di tengah protes tersebut.
Dalam serangkaian wawancara dengan berbagai sumber di Iran akhir bulan lalu, VOA mendapati bahwa keluarga lima demonstran yang tewas telah mengalami kekecewaan serupa dalam upaya mereka menuntut pertanggungjawaban atas pembunuhan tersebut. VOA tidak dapat mengukuhkan secara independen rincian interaksi keluarga tersebut dengan pihak berwenang Iran karena dilarang menyampaikan laporan dari dalam Iran.
Pouya Bakhtiari, 27, adalah salah seorang korban yang banyak mendapat sorotan setelah ia tewas pada 16 November 2019 akibat tembakan di kepalanya di kota Karaj, Iran Utara. Insiden ini menggerakkan ayahnya Manouchehr menjadi pengecam terang-terangan terhadap pemerintah, dan telah dua kali ditangkap pihak berwenang.
Paman Pouya, Mehrdad Bakhtiari, mengatakan kepada VOA bahwa kantor kejaksaan di Karaj semula memanggil keluarganya dan mengatakan membuka kasus itu untuk mencari pembunuh Pouya. Tetapi ia mengatakan, pihak berwenang kemudian menegaskan bahwa mereka yang bertanggung jawab atas tewasnya Pouya dan para demonstran muda lainnya bukanlah pasukan keamanan Iran, melainkan agen-agen antipemerintah yang datang dari luar negara itu.
“Mereka telah berbohong selama 41 tahun,” kata Mehrdad Bakhtiari, merujuk pada lamanya ulama Syiah berkuasa di Iran sejak merebut kekuasaan di sana dalam Revolusi Islam tahun 1979. [uh/ab]