Meski kerap melangsungkan upaya-upaya di balik layar untuk membantu Myanmar – sebagai anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (the Association of Southeast Asian Nations/ASEAN) – menyelesaikan krisis politik di negaranya, secara tak terduga Indonesia mengundang beberapa wakil pemangku kepentingan Myanmar untuk melangsungkan pertemuan di Jakarta pekan ini.
Dalam pertemuan yang digelar dari 20 November hingga 22 November lalu, target utamanya tetap pada implementasi konsensus lima poin yang disepakati para pemimpin ASEAN pada pertengahan 2021, dan mewujudkan dialog inklusif guna mencapai solusi politik.
Dalam siaran pers yang dirilis Jumat (24/11), Kementerian Luar Negeri Indonesia mengatakan wakil dari pemerintahan Persatuan Nasional yang berada di pengasingan, wakil Dewan Pemerintah Negara yang dipimpin oleh Jenderal Min Aung Hlaing, di Myanmar dan wakil pemerintah Laos yang tahun depan mendapat giliran menjadi ketua ASEAN, merupakan beberapa pihak yang hadir dalam pertemuan itu.
BACA JUGA: Indonesia Sebagai Ketua ASEAN, Banyak Pencapaian Plus PRPernyataan itu menggarisbawahi tujuan utama pertemuan tersebut yaitu “membawa pihak-pihak yang berkonflik ke dalam dialog inklusif, mengurangi kekerasan dan memastikan pengiriman bantuan kemanusiaan yang ama bagi masyarakat Myanmar yang berdampak konflik,” kata pernyataan tersebut.
Fasilitasi Pertemuan
Kantor Utusan Khusus ASEAN untuk Myanmar juga memfasilitasi para pemangku kepentingan di Myanmar saling bertukar pesan. Harapannya adalah untuk memuluskan jalan bagi terlaksananya dialog awal menuju dialog nasional yang inklusif, melibatkan semua pihak berkepentingan di Myanmar.
Para pemangku kepentingan tersebut juga bertemu secara terpisah dengan Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia Pahala Mansury. Dia menegaskan dialog inklusif dan solusi politik adalah satu-satunya cara yang memungkinkan untuk mengatasi krisis di Myanmar. Mereka, tambah Pahala, memuji kepemimpinan dan konsistensi komitmen Indonesia untuk membantu rakyat Myanmar keluar dari krisis.
Ngurah Swajaya dari Kantor Utusan Khusus ASEAN Untuk Myanmar mengatakan sebagai anggota ASEAN, Indonesia berkomitmen untuk terus menolong rakyat Myanmar mencapai solusi politik yang komprehensif bagi perdamaian dan stabilitas jangka panjang di negara itu. Selama menjadi Ketua ASEAN tahun ini, Indonesia telah melakukan lebih dari 180 kali komunikasi dan interaksi dengan para pemangku kepentingan di Myanmar.
ASEAN telah melarang para pemangku kepentingan di Myanmar untuk menghadiri seluruh pertemuan forum kerjasama ini hingga mereka melaksanakan rencana perdamaian ASEAN. Namun, sebagaimana dilaporkan oleh kantor berita Reuters, tidak dapat dipungkiri bahwa ASEAN terpecah dalam isu Myanmar ini. Militer Myanmar menuduh Pemerintah Persatuan Myanmar NUG mendukung gerakan perlawanan yang mereka sebut sebagai “teroris,” tetapi menolak terlibat.
Juru bicara junta militer Myanmar belum dapat dihubungi untuk mengomentari pertemuan di Jakarta pekan ini. Namun, seorang juru bicara NUG mengatakan
"pihaknya bertekad mengikuti dialog yang tulus, tetapi tidak ada tempat bagi militer dalam masa depan politik kita. Angkatan bersenjata harus tunduk pada pemerintahan sipil.”
Tunjukkan Konsistensi ASEAN
Peneliti ASEAN dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Pandu Prayoga menjelaskan pertemuan para pemangku kepentingan Myanmar itu merupakan tindak lanjut dari pertemuan para pemimpin ASEAN di Labuan Bajo dan Jakarta tahun ini. Para pemimpin ASEAN sudah menegaskan lima poin konsensus menjadi referensi utama ASEAN dalam menangani isu Myanmar.
"Kedua, ASEAN itu harus memastikan mereka satu dan sentral dalam mengatasi isu Myanmar. Kemudian wakil non-politik harus ada. Jadi kalau mau ada KTT atau pertemuan ASEAN, bukan juntanya (yang hadir), tapi perwakilan nonpolitik," ujar Pandu kepada VOA.
BACA JUGA: ADMM 2023: Prabowo Soroti Krisis Politik Myanmar dan Perang GazaPandu menilai pertemuan para pemangku kepentingan Myanmar tersebut merupakan ajang diplomasi untuk menunjukkan konsistensi ASEAN. Pesan lainnya adalah bahwa ASEAN tetap berusaha membantu Myanmar keluar dari krisis berdasarkan mekanisme ASEAN, yakni lima poin konsensus.
Diplomasi membutuhkan momentum, tambahnya, dan tidak serta merta langsung berhasil.
Harapan pada Laos
Di bawah kepemimpinan Laos tahun depan, ada kekhawatiran Laos tidak akan menindaklanjuti keputusan-keputusan ASEAN mengenai Myanmar yang telah disepakati saat Indonesia menjadi ketua ASEAN, ujar Pandu. Namun, Indonesia sedianya tetap menekankan bahwa meskipun tidak lagi menjabat sebagai ketua ASEAN, Indonesia tetap merupakan pemimpin ASEAN.
Pandu menambahkan Indonesia harus dapat menjamin Laos sebagai ketua ASEAN tahun depan melanjutkan agenda-agenda yang sudah disepakati para pemimpin ASEAN tahun ini. Dia sedikit skeptis karena Laos sudah menyatakan hanya akan menggelar konferensi tingkat tinggi (KTT) sekali saja.
"Pengalaman ini yang saya kira sudah ditegaskan dalam kesepakatan KTT kemarin bahwa kesatuan dan sentralitas ASEAN dalam mengatasi isu Myanmar harus dikedepankan. Kemudian penegasan lima poin konsensus sebagai referensi utama ASEAN. Negara-negara ASEAN yang lain tentu akan mengingatkan Laos soal ini bahwa apa yang sudah kita lakukan kemarin harus segera dilanjutkan dan agenda-agenda yang mendesak untuk segera dilakukan," ujar Pandu.
Konsensus lima poin adalah keputusan para pemimpin ASEAN yang diambil dalam pertemuan di Jakarta pada 24 April 2021, kurang dari dua bulan setelah junta militer Myanmar melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil pimpinan Aung San Suu Kyi. Ketika konsensus lima poin itu disepakat, ASEAN diketuai oleh Brunei Darussalam.
Lima poin konsensus yang dimaksud adalah pengiriman bantuan kemanusiaan, penghentian aksi kekerasan, diselenggarakannya dialog yang inklusif, pembentukan utusan khusus dan kunjungan utusan khusus ke Myanmar.
Your browser doesn’t support HTML5
Krisis politik berkepanjangan
Krisis politik di Myanmar bermula oleh kudeta militer pada 1 Februari 2021 terhadap pemerintahan sipil yang terbentuk dari hasil pemilihan umum 2020. Militer menilai pemilu itu telah dicurangi, meskipun tidak memberikan bukti apapun. Hingga saat ini belum ada tanda-tanda krisis akan berakhir meski ASEAN terus memberikan tekanan kepada junta di Myanmar.
Laporan terbaru yang dikeluarkan Peace Research Institute, satu badan pemerhati HAM di Myanmar yang berkantor di Oslo, menyatakan sedikitnya 6.000 warga sipil tewas dalam 20 bulan pertama setelah kudeta militer pada 2021.
Laporan yang dirilis pada Juni 2023 itu menunjukkan angka yang jauh lebih tinggi dibanding yang dikeluarkan badan-badan dunia, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Laporan berjudul “Counting Myanmar’s Dead, Reported Civilian Casualties Since 2021 Military Coup” itu menggunakan sistem pemantau konflik yang dilakukan Myanmar Institute for Peace and Security, dan juga dua data set lain sebagai sumber utama pengumpulan data. [fw/em]