Kembali ke Rumah, Warga Tyre, Lebanon Kehilangan Akses Air dan Listrik 

Anak-anak tampak berjalan di salah satu area yang hancur di Kota Tyre, Lebanon, pada 28 November 2024. (Foto: Reuters/Aziz Taher)

Sejumlah keluarga dari Tyre, kota di Lebanon selatan, kembali ke rumah mereka setelah gencatan senjata Israel-Hizbullah tercapai. Namun serangan Israel telah mengubah sebagian wilayah kota tersebut menjadi zona bencana yang tidak dapat dihuni, dengan hilangnya sumber air atau listrik.

Di dekat reruntuhan bangunan yang masih berasap, salah satu keluarga yang membawa banyak koper menaiki tangga yang gelap dan menemukan flat mereka dengan semua jendela dan pintunya hancur.

Hanya ruang tamu yang masih utuh.

“Saya tidak menyangka kerusakan seperti itu. Kami melihat gambarnya, tetapi kenyataannya lebih sulit,” kata Dunia Najdeh, yang berusia 33 tahun.

Saat dia berupaya melindungi anak-anaknya dari pecahan kaca yang terselip di antara buku-buku dan mainan mereka, ayah mertuanya, Sleiman Najdeh melihat dengan putus asa kehancuran yang terjadi di kota kuno itu.

BACA JUGA: Israel, Hizbullah Saling Tuduh Langgar Gencatan Senjata

“Tidak ada lagi air atau listrik, bahkan generator pribadi tidak berfungsi lagi, kabelnya putus,” kata pria berusia 60 tahun itu.

“Tyre dan Lebanon tidak pantas menerima apa yang terjadi... tetapi Tuhan akan memberi ganti rugi kepada kita, dan Tyre akan menjadi lebih baik dari sebelumnya,” ujar dia.

Sejak akhir September, Israel telah melancarkan serangan dahsyat tanpa henti ke kota di wilayah selatan Lebanon tersebut, yang merupakan rumah bagi Situs Warisan Dunia UNESCO.

Seluruh kawasan kota telah porak-poranda dan ratusan rumah serta infrastruktur vital di kota yang dihuni 120.000 orang sebelum mereka melarikan diri dari pemboman hebat tersebut, ikut porak-poranda.

Tidak ada rumah yang utuh

Jalan raya utama yang melintasi kota tersebut kini dipadati buldoser yang menyingkirkan puing-puing bangunan yang hancur.

Wali Kota Tyre tersebut, Hassan Dbouk, mengatakan kepada AFP bahwa “lebih dari 50 bangunan setinggi tiga hingga 12 lantai telah hancur total akibat serangan Israel,” sementara puluhan bangunan lainnya rusak sebagian.

Kondisi dari situs reruntuhan kuno Phoenicia, yang terletak di Tyre di selatan Lebanon, pada 28 November 2024, sehari setelah gencatan Israel-Hizbullah berlaku. (Foto: AFP/Anwar Amro)

“Kita dapat mengatakan bahwa tidak ada satu rumah pun yang utuh,” katanya.

Meskipun antrean panjang pengendara membanjiri kota, semua toko dan restoran tetap tutup pada hari Kamis, hari kedua gencatan senjata.

“Warga mulai kembali untuk memeriksa rumah mereka pada siang hari, tetapi mereka pergi lagi pada malam harinya, karena tidak ada air di seluruh kota, dan tidak ada listrik di kawasan yang paling parah terkena serangan Israel,” kata Dbouk.

Pada 18 November, serangan Israel menargetkan perusahaan daerah penyedia air di Tyre, menghancurkan sebuah gedung dan menewaskan dua pekerja.

Serangan itu memutus aliran air ke 30.000 pelanggan terdaftar, kata pemimpin perusahaan itu Walid Barakat.

Serangan itu juga menghancurkan pompa dan jaringan pipa, kata wartawan AFP yang menyaksikan langsung dalam tur pers di kota yang diselenggarakan oleh Hizbullah.

Tidak ada roket

“Tidak ada roket atau peluncur di sini. Ini adalah infrastruktur publik vital yang menjadi sasaran agresi Israel,” kata Barakat.

Rekonstruksi kota diperkirakan akan memakan waktu antara tiga dan enam bulan, katanya, seraya menambahkan bahwa solusi sementara sedang dicari untuk menyediakan air bagi warga yang kembali.

Your browser doesn’t support HTML5

Reaksi terhadap Gencatan Senjata antara Israel dengan Hizbullah

Serangan hebat telah menghujani Lebanon selatan, berhenti hanya satu jam sebelum gencatan senjata mulai berlaku sebelum fajar pada Rabu.

Serangan terakhir itu menargetkan daerah Tyre tempat seorang penjahit asal Suriah, Anas Mdallali, tinggal selama 10 tahun.

“Saya menangis karena marah,” kata pria berusia 40 tahun itu, sambil menatap tajam tumpukan puing yang menghalangi pintu masuk gedungnya.

“Sejak kemarin, saya minum obat penenang untuk mengatasi syok,” tambahnya.

Di pelabuhan di kota tua, perahu nelayan tetap berada di tambatannya sejak awal Oktober.

Madhi Istanbuli, 37 tahun, mengatakan bahwa dia dan sesama nelayan tidak melaut sejak militer Israel memperingatkan mereka untuk tidak melakukannya.

“Kami mengamati situasi dan menunggu,” kata ayah empat anak itu.

“Kadang-kadang, ketika saya melihat ke laut dan mendengar ombak menghantam, saya pikir itu serangan udara lagi. Kami masih dalam keadaan syok,” tambahnya. [ns/ab]