Pasangan Joe Biden-Kamala Harris memenangkan kunci ke Gedung Putih setelah mengalahkan petahana Donald Trump-Mike Pence dalam pemilihan Presiden di Amerika Serikat (AS) beberapa waktu lalu. Berbagai pihak menyambut baik kemenangan Biden-Harris, termasuk Indonesia.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pasangan Biden-Harris harus mampu menciptakan stabilisasi geo politik di dunia dalam empat tahun masa kepemimpinannya ke depan, karena pada masa era kepemimpinan Trump, ketegangan khususnya antara China dan AS kerap terjadi.
Hal tersebut tentu berdampak buruk bagi perekonomian dunia, termasuk Indonesia. Menurutnya, ketenangan dan kepastian itu akan ada, kalau kondisi geo politiknya cenderung aman.
Ia berharap ketenangan tersebut nantinya, akan terbawa ke seluruh dunia khususnya di wilayah Indo-Pasifik, sehingga pemulihan perekonomian pasca pandemi COVID-19 bisa berjalan dengan lebih cepat.
“Dan kita berharap kepemimpinan baru di Amerika membawa ketenangan di Indo Pasifik. Kalau Indo-Pasifik aman, maka pertumbuhan ekonomi bisa kita jaga, dan ada optimisme bukan hanya optimisme nasional, tetapi optimisme regional. Dan kita ketahui Indonesia adalah bagian daripada ekonomi ASEAN. Maka kalau Indo-Pasifik aman, regional, ASEAN juga aman, dan tentu seperti dalam perkembangan beberapa dekade ini ASEAN bisa menjalankan perekonomian yang mensejahterakan rakyatnya,” ungkap Airlangga.
Indonesia Jangan Hanya Mengandalkan Fasilitas GSP
Pengamat Ekonomi INDEF, Bhima Yudhistira kepada VOA mengatakan Biden effect sudah mulai terasa di tanah air pasca Biden diumumkan menjadi pemenang dalam kontestasi Pilpres AS tersebut. Hal ini, katanya terlihat dari dana asing yang masuk ke pasar modal Indonesia senilai Rp1,8 triliun dalam kurun waktu satu pekan terakhir ini. Sentimen positif ini juga membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menguat ke level Rp14.000.
“Ini efek terpilihnya Biden dalam jangka pendek, karena pelaku usaha eksportir di Indonesia berharap Biden ini bisa menurunkan eskalasi perang dagang khususnya dengan China. Di mana dua negara ini Amerika dan China menyumbang 25 persen dari total ekspor Indonesia. Jadi sangat penting,” ungkap Bhima.
Lanjutnya, Indonesia jangan hanya mengandalkan fasilitas GSP (Generalized System of Preferences) yang memang sudah diberikan oleh AS pada masa kepemimpinan Trump, karena fasilitas tersebut lambat laun bisa dicabut. GSP merupakan kebijakan AS untuk membantu perekonomian negara berkembang dengan memberi potongan bea masuk impor.
Menurut Bima, yang terpenting dalam memperkuat kerja sama ekonomi antara Indonesia dan AS, adalah meningkatkan kualitas produk yang akan diekspor ke negeri Paman Sam tersebut sehingga memiliki daya saing yang kuat.
“Yang paling penting adalah terkait dengan intelijen pasar. Ini maksudnya, ini kan AS sedang dalam tahap pemulihan, kira-kira barang atau produk apa saja yang diminati oleh konsumen di AS, trennya ke arah mana. Ini harus difasilitasi oleh pemerintah, oleh kedutaan besar atau atase perdagangan, informasi ini diteruskan kepada pelaku usaha yang ada di Indonesia,” jelasnya.
Kesempatan Emas Menggaet Investor AS
Berbagai insentif juga harus dipersiapkan oleh pemerintah agar kelak para investor dari AS tidak menemui hambatan yang berarti ketika akan menanamkan modalnya di tanah air. Kemenangan Biden ini, ujar Bhima, merupakan kesempatan emas bagi Indonesia untuk menggaet para investor dari AS dengan melakukan diversifikasi investasi, karena selama ini investasi AS di Indonesia sangat terbatas dan hanya pada sektor tertentu.
Apalagi pada masa terjadinya perang dagang dengan China, tidak ada satu pun perusahaan AS yang merelokasi usahanya ke Indonesia.
BACA JUGA: Menlu RI: Indonesia, ASEAN Siap Bekerja Sama dengan Pemerintahan Baru AS“Investasi di energi terbarukan, karena ini bagian dari green new deal-nya Joe Biden, Kemudian yang terkait dengan ekonomi digital. Karena banyak pemain besar ekonomi digital di AS mendukung Joe Biden. Jadi mungkin itu ada arahan untuk iklim investasi di start up lebih besar lagi. Apalagi Indonesia pasarnya besar untuk start up. Fokusnya Biden gak kaya Trump yang ke sektor ekstraktif seperti migas, pertambangan. Biden lebih ke green economy atau ekonomi yang terbarukan, jadi lebih cocok dengan ekonomi digital itu,” tambahnya.
Kemenangan Biden Beri Sentimen Positif ke Perekonomian Global
Sementara itu Pengamat Ekonomi CORE Indonesia Moh Faisal mengatakan, dampak jangka panjang terpilihnya presiden baru AS tersebut adalah angin positif bagi perekonomian global. “Kalau ekonomi global bagus berarti iklim untuk ekspor kita lebih bagus, bukan hanya ke AS, tapi juga ke negara-negara lain,” ujar Faisal kepada VOA.
Your browser doesn’t support HTML5
Menurutnya hal itu terlihat dari karakter dan pendekatan Biden yang lebih kooperatif dibandingkan Trump yang dirasakan terlalu frontal. Dengan pendekatan tersebut, menurutnya dalam empat tahun ke depan Biden akan lebih bisa mendorong bukan hanya kerja sama bilateral namun juga multilateral.
“Jadi kalau dia lebih kooperatif mestinya dampaknya terhadap global adalah volume perdagangan akan kembali meningkat. Ketegangan dagang dengan China dan dengan kawasan lain, itu akan berkurang, perang tarif akan berakhir, mestinya sehingga hambatan perdagangan akan berkurang. Kalau hambatan perdagangan berkurang, mestinya volume perdagangan akan meningkat. Itu artinya bagi Indonesia, ruang untuk ekspor lebih bagus,” jelasnya.
BACA JUGA: Jokowi Ucapkan Selamat atas Terpilihnya Joe Biden Menjadi Presiden ASTambahnya, dalam masa kepemimpinan Biden nanti, AS akan tetap menaruh perhatian pada konflik Laut China Selatan, seperti halnya yang dilakukan pada era kepemimpinan Trump.
“Saya rasa secara politik AS baik Biden maupun Trump sama-sama berkepentingan , untuk bekerja sama dengan Indonesia terutama dalam konteks Indonesia sebagai negara terbesar di ASEAN dan dominan ketika memasuki isu Laut China Selatan, ketegangan dengan China. Jadi isu Laut China Selatan tetap jadi sorotan AS di masa Biden, karena kan khawatir zona tersebut menjadi zona yang tidak netral lagi karena diinfiltrasi oleh China,” tuturnya. [gi/ab]