Kemenangan tim sepakbola pada Piala Afrika menambah kebahagiaan rakyat Mali setelah pengusiran pemberontak Islamis oleh pasukan Perancis.
TIMBUKTU, MALI —
Selama berbulan-bulan, Salaha Najim diam-diam memasang antena parabola yang dilarang oleh pemberontak Islamis di Timbuktu, menutup semua jendela rumah dan menyalakan televisi untuk menonton sepakbola dengan suara yang dikecilkan.
Namun akhir pekan lalu, semua jendela dibuka lebar dan volume suara terdengar keras saat tim nasional Mali, Eagles, mengalahkan Afrika Selatan dalam adu penalti untuk mencapai semifinal Piala Bangsa-Bangsa Afrika.
Warga Timbuktu tumpah ke jalanan, bersorak sorai dan menyalakan klakson pada akhir minggu luar biasa yang dimulai dengan kedatangan pasukan Perancis yang mengakhiri kekuasaan pemberontak Islamis yang keras, dan diakhiri dengan kemenangan tim sepakbola dan ribuan orang menyambut kedatangan Presiden Perancis Francois Hollande.
"Kelompok Islamis melarang semua hal,” ujar Najim, dengan wajah bersinar saat menonton pertandingan dengan kedua kawannya di rumahnya di Timbuktu. “Namun sekarang saya dapat menonton pertandingan dengan volume sekeras apa pun.”
Serangan kilat tiga minggu oleh pasukan udara dan angkatan darat Perancis telah mengakhiri pendudukan di kota-kota utara Mali oleh aliansi pemberontak Islamis yang berafiliasi dengan sayap al-Qaida di Afrika Utara, AQIM.
Di seluruh Timbuktu, bendera Perancis dan Mali sekarang terpasang berdampingan untuk merayakan kebebasan dan warga menyambut meriah konvoy militer Perancis yang sering lewat. Kota itu selama berabad-abad menjadi pusat perdagangan trans-Sahara dan pusat pembelajaran agama Islam sebelum menjadi magnet turis dalam dekade-dekade terakhir.
Pasar-pasar di jalanan ramai karena warga berbelanja bahan makanan yang pasokannya berkurang selama isolasi berbulan-bulan. Namun ketidakpastian membayang mengenai apakah pemerintahan Mali yang lemah dan tentara dapat mencegah kelompok Islamis memberontak lagi saat pasukan Perancis pergi.
Konflik selama berbulan-bulan juga telah memperdalam keretakan di antara penduduk. Sebagian besar warga Arab dan Tuareg yang berkulit terang telah meninggalkan Timbuktu setelah serangan balasan terhadap mereka yang dituduh mendukung kelompok Islamis. (Reuters/David Lewis)
Namun akhir pekan lalu, semua jendela dibuka lebar dan volume suara terdengar keras saat tim nasional Mali, Eagles, mengalahkan Afrika Selatan dalam adu penalti untuk mencapai semifinal Piala Bangsa-Bangsa Afrika.
Warga Timbuktu tumpah ke jalanan, bersorak sorai dan menyalakan klakson pada akhir minggu luar biasa yang dimulai dengan kedatangan pasukan Perancis yang mengakhiri kekuasaan pemberontak Islamis yang keras, dan diakhiri dengan kemenangan tim sepakbola dan ribuan orang menyambut kedatangan Presiden Perancis Francois Hollande.
"Kelompok Islamis melarang semua hal,” ujar Najim, dengan wajah bersinar saat menonton pertandingan dengan kedua kawannya di rumahnya di Timbuktu. “Namun sekarang saya dapat menonton pertandingan dengan volume sekeras apa pun.”
Serangan kilat tiga minggu oleh pasukan udara dan angkatan darat Perancis telah mengakhiri pendudukan di kota-kota utara Mali oleh aliansi pemberontak Islamis yang berafiliasi dengan sayap al-Qaida di Afrika Utara, AQIM.
Di seluruh Timbuktu, bendera Perancis dan Mali sekarang terpasang berdampingan untuk merayakan kebebasan dan warga menyambut meriah konvoy militer Perancis yang sering lewat. Kota itu selama berabad-abad menjadi pusat perdagangan trans-Sahara dan pusat pembelajaran agama Islam sebelum menjadi magnet turis dalam dekade-dekade terakhir.
Pasar-pasar di jalanan ramai karena warga berbelanja bahan makanan yang pasokannya berkurang selama isolasi berbulan-bulan. Namun ketidakpastian membayang mengenai apakah pemerintahan Mali yang lemah dan tentara dapat mencegah kelompok Islamis memberontak lagi saat pasukan Perancis pergi.
Konflik selama berbulan-bulan juga telah memperdalam keretakan di antara penduduk. Sebagian besar warga Arab dan Tuareg yang berkulit terang telah meninggalkan Timbuktu setelah serangan balasan terhadap mereka yang dituduh mendukung kelompok Islamis. (Reuters/David Lewis)