Janji itu disampaikan Menteri Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Teknologi Nadiem Makarim ketika mengikuti rapat kerja bersama Komisi X DPR RI. Rapat yang seharusnya membicarakan tentang penggunaan anggaran, dihiasi dengan perbincangan panjang terkait kasus yang menimpa Rektor Universitas Lampung (Unila) Prof Dr Karomani.
“Bersih-bersih yang kita lakukan di dalam kementerian itu, bapak-ibu anggota DPR sudah mengenal dari mana. Mafia apapun sudah kita lawan. Mana yang belum kita lawan, semua sudah kita lawan. Tetapi kita sangat fokus bukan menyelesaikan satu kasus persatu kasus. Kita kalau membuat suatu kebijakan sistematis,” kata Nadiem.
Nadiem memastikan, pihaknya terus mendiskusikan persoalan ini secara internal untuk menemukan solusi sistematis itu. Dia juga menjanjikan sistem yang lebih transparan ke depan.
“Transparansi dalam penerimaan mahasiswa adalah tema yang penting, dan kami secara aktif sedang mendiskusikannya secara internal, bagaimana mencapai transparansi tersebut,” tambahnya.
Menteri Nadiem juga memastikan dukungan agar proses hukum berjalan dengan baik. Untuk menjamin tidak adanya konflik kepentingan di internal Unila, Kemendikbudristek mengirim pejabatnya sebagai pelaksana tugas rektor.
“Kami juga akan menginvestigasi di luar Unila, bagaimana cara-cara sistemik yang bisa kita lakukan untuk mengeliminasi atau meminimalisir kejadian yang sangat memalukan ini,” ujarnya.
Pelaksana tugas rektor Unila yang dipilih adalah pejabat eselon II di kementerian tersebut.
“Kami saat ini menugaskan eselon II di lingkungan Dirjen Diktiristek, dalam hal ini Pak Sofwan Effendi untuk menjadi Plt (pelaksana tugas -red) Rektor Universitas Lampung. Kenapa ini perlu? Karena kalau kita mengambil wakil rektor internal di Unila untuk menjadi Plt rektor, maka tentu akan sulit untuk bisa menuntaskan permasalahan ini dan juga mengembalikan kepercayaan publik,” kata Dirjen Diktiristek, Prof Nizam.
Komisi X Desak Evaluasi
Dalam kesimpulannya, Komisi X DPR RI mendesak Kemendikbudristek untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh terkait kebijakan penyelenggaraan perguruan tinggi, khususnya penerimaan mahasiswa baru. Evaluasi dilakukan untuk menghindari adanya penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang yang melahirkan tindakan korupsi tidak terjadi.
Anggota Komisi X Putra Nababan menyebut apa yang terjadi di Unila kontras sekali dengan apa yang dia hadapi ketika berkunjung ke daerah pemilihannya. Dia menemui sendiri bagaimana remaja-remaja dari keluarga tidak mampu yang begitu ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
BACA JUGA: Jalur Mandiri: Potensi Jual Beli Kursi di Perguruan Tinggi Negeri“Saya mengusulkan dan saya minta proses pendaftaran di jalur mandiri transparan. Harus dibuat tersistem dan online, sejak proses rekrutmen, seleksi, daftar ulang, sampai proses pembayaran. Harus cepat dan menjangkau 122 PTN yang ada di Indonesia,” kata Putra.
Desakan serupa disampaikan Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian.
“Mungkin Kemendikbudristek sudah saatnya membuat suatu tindakan yang lebih tegas dan membentuk satgas monitoring, untuk bukan saja melakukan pengawasan tetapi juga potensi-potensi ke depan, pencegahan praktik-praktik suap dalam seleksi jalur mandiri termasuk juga di sekolah-sekolah,” ujarnya.
Sementara Andreas Hugi Pareira mempertanyakan soal apakah ini kesalahan sistem atau pemanfaatan sistem oleh oknum.
“Apakah ini memang sistemnya yang tidak baik, atau sistem baik tetapi memang di mana-mana faktor orang yang kemudian bisa memanfaatkan setiap kesempatan,” kata Andreas.
Sumbangan Bisa Nol Rupiah
Meski kewenangan ada di pengelola perguruan tinggi, tidak semua rektor memanfaatkan jalur mandiri untuk menghimpun pendanaan semaksimal mungkin. Di Universitas Gadjah Mada (UGM) misalnya, kesediaan untuk menyumbang baru diberikan setelah mahasiswa diterima lewat jalur tersebut, bukan sebelumnya.
Rektor UGM, Prof Ova Emilia, menyebut pihaknya baru tahun ini menerapkan skema sumbangan lewat jalur mandiri itu, dan dijamin sepenuhnya sukarela.
“Di kami memang baru tahun ini ada, jadi artinya ada, tapi dalam kaitannya sukarela. Sukarela itu artinya boleh menyumbang nol rupiah. Dan itu diisikan pada saat mereka setelah diterima, setelah ada pengumuman. Pada saat registrasi, mereka diperbolehkan untuk mengisi sesuai dengan kemampuannya, dan hasilnya lebih dari 70 persen mengisinya nol rupiah,” kata Ova.
Sumbangan dalam skema jalur mandiri memang dimungkinkan, tetapi Ova menegaskan kembali bahwa itu bersifat sukarela. Kebijakannya kemudian sangat tergantung pada masing-masing institusi perguruan tinggi. Jalur mandiri ini, desain awalnya menurut Ova adalah untuk membuka skema subsidi silang, dimana mahasiswa mampu dapat membantu pembiayaan mahasiswa lain yang kurang mampu.
BACA JUGA: Kejar Kualitas, Pemerintah Luncurkan Dana Abadi Perguruan TinggiOva mengusulkan adanya prosedur standar operasional yang transparan untuk mencegah kasus Unila terulang. Seluruh pihak, harus dapat turut pengawasi prosedur itu.
Forum Rektor Bersikap
Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI), Prof Panut Mulyono, ketika dihubungi VOA mengaku sangat prihatin dengan kasus yang menimpa rektor Unila.
“Dugaan suap penerimaan mahasiswa baru itu, jika terbukti benar, telah mencederai rasa keadilan masyarakat dan dunia pendidikan yang secara bersama-sama kita bangun untuk mencerdaskan kehidupan bangsa,” kata dia.
Sementara dalam pernyataan resmi, FRI menjelaskan bahwa penerimaan mahasiswa baru jalur Mandiri di PTN merupakan salah satu bentuk diskresi dari rektor. Skema ini juga memiliki dasar hukum yang jelas, yaitu Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penerimaan Mahasiswa Baru Program Sarjana pada Perguruan Tinggi Negeri.
Peraturan menteri itu menyebut, jalur penerimaan mahasiswa baru program sarjana pada PTN dilakukan melalui Seleksi Nasional Masuk PTN (SNMPTN), Seleksi Bersama Masuk PTN (SBMPTN) dan seleksi lainnya. Jalur mandiri masuk dalam kelompok ketiga ini, dan karena itu FRI bersikap bahwa skema tersebut sah secara hukum.
Hanya saja, FRI meminta penerimaan mahasiswa baru, khususnya melalui jalur mandiri, harus mengacu pada tata kelola yang baik, akuntabel, transparan, dan memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat.
Your browser doesn’t support HTML5
“Biaya pendidikan melalui jalur Mandiri dimungkinkan berbeda dari jalur SNMPTN maupun SBMPTN. Namun, penerimaan dan pemanfaatan biaya tersebut harus jelas, serta transparan untuk sebesar-besarnya bagi kemajuan pendidikan, tidak untuk keuntungan pribadi, apalagi keuntungan para pimpinan PTN,” tegas Panut selaku Ketua FRI.
Melihat kasus ini, FRI mendorong pemimpin PTN mengevaluasi dan memperbaiki tata kelola sistem seleksi Mandiri untuk menjamin rasa keadilan, akuntabilitas, dan transparansi serta menghindarkan diri dari praktik-praktik koruptif. FRI mengajak pimpinan PTN menjaga marwah perguruan tinggi sebagai garda terdepan dalam menjunjung tinggi etika dan integritas moral yang baik. [ns/ah]