Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Imran Pambudi, mengungkapkan tidak semua dari 12.553 anak yang terinfeksi HIV, sudah mendapatkan pengobatan.
"Kalau dilihat dari total, ada sekitar 12.553 anak usia 14 tahun ke bawah yang diketahui status HIV-nya. Itu kalau dilihat data dari 2010 sampai September 2022. Dari 12.553, yang sudah mulai mendapat pengobatan baru sekitar 7.800 anak. Di mana anak laki-laki lebih banyak yang (terinfeksi) HIV dibandingkan perempuan," kata Imran dalam temu media Hari AIDS Sedunia, Selasa (29/11).
Menurut Imran, prevalensi HIV di Indonesia pada sebagian besar wilayahnya adalah 0,26 persen dengan prevalensi tertinggi tercatat di wilayah Papua dan Papua Barat yang mencapai 1,8 persen.
Kendati demikian, Kemenkes mengklaim dalam kurun waktu tahun 2010 hingga 2020 telah terjadi kemajuan dalam penanggulangan HIV-AIDS di Indonesia. Jumlah kasus baru HIV menurun. Terjadinya penuruan kasus ini sebagai dampak akselerasi pengendalian yang berfokus pada intervensi pencegahan dan ekspansi berskala besar dengan terapi anti-retroviral.
"Tetapi kalau dibandingkan dengan targetnya, maka masih perlu upaya-upaya yang lebih kuat untuk mencapai targetnya, apalagi setelah terjadi pandemi COVID-19 yang menurunkan cakupan program kesehatan," ucap Imran.
Kemenkes memiliki tujuan untuk mengakhiri epidemi HIV pada tahun 2030. Jalur cepat yang ditempuh Indonesia untuk mengakhiri epidemi HIV adalah dengan mencapai target indikator 95 persen orang dengan HIV (ODHIV) untuk mengetahui status HIV-nya, 95 persen ODHIV diobati, dan 95 persen ODHIV yang diobati mengalami supresi virus.
Berdasarkan data Kemenkes pada September 2022, capaian target 95-95-95 belum tercapai. Target yang pertama baru terwujud 76 persen, sementara target kedua, dan ketiga masing-masing baru 41 dan 16 persen.
Menurut Imran, tantangan penanggulangan HIV-AIDS di Indonesia cukup besar. Berdasarkan pengamatan data tahun 2018-2022 upaya pencegahan penularan HIV, khususnya pada perempuan, anak, dan remaja belum optimal. Sebagian besar kasus HIV berada di kelompok umur 25 hingga 29 tahun.
"Setiap tahunnya masih saja ditemukan anak dengan HIV. Ini menunjukkan bahwa upaya pencegahan dan pengendalian HIV itu masih memerlukan penguatan-penguatan," jelas Imran.
Selanjutnya, tantangan besar lainnya dalam penanggulangan HIV-AIDS adalah masih dirasakannya ketidaksetaraan dalam layanan HIV khususnya pada perempuan, anak, dan remaja. Lalu, masih dirasakannya stigma dan diskriminasi yang berawal dari kurangnya pengetahuan masyarakat tentang HIV-AIDS.
BACA JUGA: Anak Penderita HIV/AIDS Hadapi Beban Berat di Tengah Pandemi Covid-19"Hal ini membutuhkan pendekatan yang perlu direspons lebih baik oleh pemerintah pusat dan daerah. Lalu, akademisi, masyarakat, swasta, dan media di sektor kesehatan," pungkas Imran.
Ratna Budi Hapsari, selaku anggota tim kerja HIV PIMS Hepatitis PISP Kemenkes, mengatakan jumlah kasus HIV baru di Indonesia mencapai sekitar 30.000 per tahun. Namun, masih banyak orang yang sebenarnya telah terinfeksi HIV belum mengetahui status mereka yang sebenarnya.
"Memang kita harus menggencarkan penemuan kasus HIV, karena ternyata di Indonesia masih banyak orang dengan HIV yang sebenarnya terinfeksi tapi belum tahu status. Untuk itu sekarang yang kita gencarkan untuk menaikkan cakupan penemuan kasus HIV," katanya.
Sejauh ini Kemenkes memperkirakan ada 526.841 kasus orang dengan HIV di Indonesia. Sayangnya, pemerintah hanya menemukan sekitar 79 persen dari jumlah totalnya.
"Sebanyak itu harus ditemukan, sekarang ini kami sudah menemukan sebesar 417.863 atau sekitar 79 persen. Jadi ada 21 persen yang harus kita temukan di seluruh Indonesia," ungkap Ratna.
Menurut Ratna, pemerintah berkomitmen untuk terus melakukan pelacakan kasus dan mencegah terjadinya infeksi HIV yang baru. Untuk itu pemerintah akan mengutamakan pelayanan terhadap perempuan, remaja, dan anak yang dinilai paling berisiko tertular HIV.
BACA JUGA: IDAI: 90% HIV Anak karena Penularan dari Ibu ke Janin"Karena sesungguhnya perempuan, remaja, dan anak adalah populasi yang punya posisi tawar paling rendah dibandingkan lainnya," ujarnya.
Hal senada juga disampaikan dokter praktisi, yakni Santoso Edi Budiono. Menurutnya, pemerintah harus mengembangkan layanan kesehatan yang ramah bagi anak dan remaja terutama terkait penanganan kasus HIV.
"Kita tahu obat-obatan untuk anak yang tersedia dalam bentuk sirop sangat terbatas. Jadi anak-anak dengan HIV itu kendalanya kadang-kadang minum obatnya yang susah. Karena obatnya harus itu terus, dan itu tidak enak sekali, dan tak ramah pada anak," pungkasnya. [aa/ab]