Setelah diterpa COVID-19 yang kemudian disusul oleh kemunculan hepatitis akut yang hingga kini penyebabnya masih menjadi misteri, dunia kembali digegerkan dengan keberadaan cacar monyet (monkeypox) yang kini sudah terdeteksi di beberapa negara Eropa, Amerika Serikat, Australia dan juga Kanada.
Menanggapi munculnya wabah penyakit menular tersebut, Juru Bicara Kementerian Kesehatan dr Mohammad Syahril menegaskan sampai hari ini pihaknya belum mendeteksi adanya kasus monkeypox di Indonesia.
Meski demikian, ia mengatakan pemerintah tetap mewaspadai hal tersebut dengan cara memperkuat deteksi dini atau skrining di pintu-pintu masuk seperti bandara dan pelabuhan, seperti melakukan pemeriksaan terhadap penumpang yang memiliki gejala penyakit cacar monyet.
Your browser doesn’t support HTML5
“Sampai hari ini belum ada data untuk monkeypox, cuma kita harus tetap waspada karena ini bagian daripada kewaspadaan internasional, bahwasanya penyakit ini bisa menular antar lintas negara,” ungkap Syahril kepada VOA.
Lebih lanjut Syahril menjelaskan, virus monkeypox merupakan penyakit yang ditularkan melalui hewan monyet dan tikus. Penyakit ini bersifat zoonosis atau disebabkan oleh virus yang menyebar antara hewan dan manusia.
“Menularnya bisa secara kontak langsung, kemungkinan karena digigit (oleh hewan), atau kontak langsung dari monyet ke orang atau antar orang ke orang juga bisa,” tuturnya.
Gejala yang ditimbulkan oleh penyakit ini, ujar Syahril meliputi dua tahap. Pertama, tahap awal dengan masa inkubasi kurang lebih 16-21 hari. Tahap selanjutnya ditandai dengan demam tinggi, sakit kepala, nyeri otot dan disertai dengan benjolan-benjolan di ketiak, leher, dan tangan.
“Kalau dia berkembang lagi mulai terjadi ruam-ruam, ada bercak merah, lalu benjolan yang berisi air,” tuturnya.
Sama halnya dengan COVID-19, pemeriksaan yang dilakukan untuk mendeteksi penyakit cacar monyet ini adalah dengan metode swab PCR, di mana dilakukan pengambilan sampel darah atau cairan dari benjolan yang timbul.
Pihak Kemenkes, katanya sudah menyiapkan dua laboratorium untuk melakukan pemeriksaan terhadap sampel-sampel yang diduga sebagai cacar monyet ini, yakni di Litbangkes, Kementerian Kesehatan dan di RSPI Sulianti Saroso. Meski begitu, masyarakat diimbau untuk tidak panik berlebihan.
Ancaman Wabah Penyakit Lain
Ahli Epidemiologi dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengatakan dengan terdeteksinya kasus cacar monyet di beberapa negara semakin memperlihatkan pentingnya deteksi dini. Semakin cepat terdeteksi dan ditangani, maka akan semakin cepat orang tersebut terselamatkan.
“Ini sebetulnya penyakit yang umumnya bergejala ringan dan bisa sembuh sendiri dalam kurun waktu 2-3 minggu. Tapi pada beberapa kasus, gejala bisa parah, selain gangguan kulit itu, bisa sangat gatal dan nyeri sekali terutama kalau menyerang wanita hamil bisa membuat keguguran, dan pada beberapa kasus misalnya pada anak terjadi gejala yang lebih parah,” ungkapnya kepada VOA.
Maka dari itu, menurutnya meskipun kasus cacar monyet ini terbilang jarang namun kewaspadaan tetap harus dibangun. Jika dilihat dari angka kematiannya yang ditimbulkan akibat penyakit cacar monyet ini, ujar Dicky hampir menyamai tingkat kematian dari COVID-19 yakni kurang lebih satu persen.
Ia mengatakan bahwa skrining terhadap sejumlah penerbangan khususnya dari Afrika harus dilakukan, mengingat vaksin untuk penyakit ini masih sangat terbatas jumlahnya.
“Inilah contoh, bagaimana deteksi dini, skrining dan vaksinasi atas penyakit yang bisa dicegah dengan vaksinasi ini penting untuk dilakukan. Selain itu, Kemenkes harus membangun komunikasi dengan WHO ataupun dengan otoritas di Inggris misalnya untuk mencari informasi lebih lanjut. Kita harus bangun terus surveillance kita, gunakan PeduliLindungi jangan hanya untuk COVID-19. Gunakan untuk penyakit yang diduga wabah atau sudah mewabah, itu bisa dimanfaatkan,” tuturnya.
Dengan munculnya berbagai virus di kala pandemi COVID-19 masih berlangsung membuktikan bahwa ancaman dan tantangan di dalam dunia kesehatan semakin rentan. Maka dari itu, ia berharap Indonesia dan juga negara lainnya tidak mengendorkan pengawasan, deteksi dini dan tidak merasakan euforia yang berlebihan di balik turunnya angka kasus COVID-19.
“Ini benar-benar membuat kita dalam kondisi semakin rawan karena tantangan, ancaman wabah ke depan semakin besar seiring perubahan iklim yang semakin memburuk yang makin jelas terasa,” pungkasnya. [gi/rs]