Kemenkes: Sunat Perempuan Tak Miliki Manfaat Medis dan Langgar HAM

  • Yoanes Litha

Seorang balita perempuan duduk di pangkuan ibunya dalam upacara sunat di Gorontalo, Provinsi Gorontalo, 20 Februari 2017. (Foto: Bay Ismoyo/AFP)

Direktur Kesehatan Usia Produktif dan Lanjut Usia Kementerian Kesehatan, Kartini Rustandi, menegaskan bahwa praktik sunat perempuan tidak memiliki manfaat medis. Tindakan yang kerap disebut sebagai praktik Pemotongan/Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP), itu bahkan dianggap sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Kartini menyebut praktik tersebut malahan dapat memberikan konsekuensi negatif bagi kesehatan. Dalam jangka pendek sunat, perempuan berpotens menimbulkan komplikasi, demam, luka, perdarahan, pembengkakan jaringan genitalia, infeksi, masalah berkemih dan perlukaan pada jaringan sekitar organ genitalia. Sedangkan dalam jangka panjang, sunat perempuan juga dapat berdampak pada kerusakan jaringan yang membutuhkan tindakan operasi lebih lanjut, peningkatan risiko komplikasi persalinan, dan bahkan kematian bayi baru lahir.

“Bahkan bisa ada yang juga kalau kena klitorisnya akan terjadi berkurangnya hasrat seksual, infeksi saluran kemih yang berlanjut, dan yang pasti kita khawatirkan adalah trauma psikologisnya,” papar Kartini pada Senin (14/11).

Seorang ibu (kiri) dan bidan mengucapkan selamat kepada Kania, 4 tahun (tengah), usai menjalani sunat perempuan di Bandung, Jawa Barat, 10 Februari 2021. (Foto: Adek Berry/AFP)

Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2021 melakukan survei di 160 kabupaten dan kota di 10 provinsi dengan usia responden berada di rentang 15 hingga 64 tahun. Hasilnya menunjukkan praktik sunat perempuan masih marak dilakukan, baik di pedesaan dan perkotaan.

Masfufah dari Direktorat Statistik Ketahanan Sosial BPS mengungkapkan survei itu di antaranya menemukan 55 persen anak perempuan dari kelompok usia 15-49 tahun yang tinggal bersama orang tua menjalankan praktik sunat perempuan. Dari jumlah itu, 33,7 persen menjalankan praktik sunat perempuan hanya secara simbolis tanpa perlukaan pada alat kelamin perempuan.

“... dan 21,3 persen itu adalah praktik sunat kriteria WHO (Organisasi Kesehatan Dunia -red) yang mengalami perlukaan,” jelas Masfufah.

Sunat perempuan menurut kriteria WHO adalah tindakan menggoreskan, memotong melukai alat kelamin sehingga menyakitkan dan menyebabkan keluar darah.

BACA JUGA: Indonesia Butuh Komitmen Kuat Hapus Praktik Sunat Perempuan

Terdapat tiga wilayah dengan proporsi perempuan yang pernah mendengar dan yang pernah disunat di atas rata-rata nasional (50,5 persen), yaitu Sulawesi (81,2 persen), Kalimantan (73,1 persen), dan Sumatera (69,7 persen).

Survei itu juga mengungkapkan persepsi 34,8 persen perempuan menyatakan perempuan tidak perlu disunat, tetapi 49,3 persen menyatakan perempuan perlu disunat dengan alasan mengikuti perintah agama (68,1 persen), sebagian besar masyarakat melakukannya (40,3 persen) dan alasan kesehatan (26,1 persen)

“Jadi ini mungkin perlu sosialisasi yang lebih gencar lagi terkait dengan persepsi mengapa sunat perempuan itu perlu dilakukan atau tidak,” saran Masfufah.

Your browser doesn’t support HTML5

Kemenkes: Sunat Perempuan Tak Miliki Manfaat Medis dan Langgar HAM

Terus Lakukan Edukasi

Ika Agustina dari Pusat Komunikasi dan Infomasi Perempuan (Kalyanamitra) Jakarta, mengungkapkan pihaknya terus melakukan upaya edukasi untuk komunitas dan publik untuk mencegah terjadinya praktik sunat perempuan. Upaya yang dilakukan organisasi itu salah satunya. dengan melibatkan kader-kader posyandu dan para ibu Pembinaan Kesejahtaraan Keluarga (PKK).

“ Jadi kami melibatkan ibu-ibu kades posyandu ini untuk juga memasukkan materi pencegahan P2GP, apa itu P2GP dalam penyuluhannya, karena Ini yang kita sasar orang tua yang mungkin dia sudah punya anak perempuan atau sedang dalam keadaan hamil, itu kita langsung ke keluarga-keluarga untuk mencegah P2GP ini,” kata Ika Agustina.

Seorang batita duduk di pangkuan ibunya dalam upacara sunat untuk anak perempuan di Gorontalo, Provinsi Gorontalo, 20 Februari 2017. (Foto: Bay Ismoyo/AFP)

Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Ikatan Bidan Indonesia (PB IBI), Ade Jubaedah, mengungkapkan edukasi pencegahan praktik sunat perempuan juga telah dilakukan terhadap lebih dari 400 ribu bidan di seluruh Indonesia. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan nomor 320 Tahun 2020 tentang Standar Profesi Bidan tidak satupun mengatur sunat perempuan.

“Kami juga sudah menyampaikan tidak ada tindakan apapun apakah itu membersihkan atau melakukan apapun terhadap genetali perempuan untuk kita tidak lagi melakukan P2GP, walaupun itu hanya sekedar membersihkan alat kelamin perempuan,” kata Ade Jubaedah.

Dia mengingatkan tenaga kesehatan yang melakukan tindakan di luar standar, tanpa ada indikasi medis atau manfaat kesehatan melanggar Undang-Undang Tenaga Kesehatan dan melanggar kode etik profesi, dapat dikenai sanksi dari mulai teguran lisan sampai dengan pencabutan izin praktik. [yl/ah]