Kementerian Kesehatan mencatat sampai saat ini setidaknya sudah ada 18 pasien yang diduga terpapar hepatitis akut yang belum diketahui penyebabnya.
Direktur Utama RSPI Suliati Saroso, dr. Muhammad Syahril, mengatakan 18 pasien tersebut tersebar di tujuh provinsi, yakni di Sumatra Barat (1), Sumatra Utara (1), Kepulauan Bangka Belitung (1), DKI Jakarta (12), Jawa Barat (1), Jawa Timur (1), dan Kalimantan Timur (1).
“Sampai saat ini ada 18 kasus yang bergejala yang disebut dengan hepapatis akut yang belum diketahui penyebabnya,” ungkap Syahril dalam telekonferensi pers di Jakarta, Jumat (13/5).
Ia menjelaskan, dari 18 dugaan kasus hepatitis akut tersebut, sejauh ini baru satu kasus yang dinyatakan sebagai probable atau kemungkinan hepatitis akut. Sembilan kasus lain masuk ke dalam kategori pending atau masih dalam pemeriksan, sementara satu kasus dalam proses verifikasi, dan tujuh kasus disingkirkan (discarded).
“Yang discarded atau disingkirkan dari dugaan kasus hepatitis akut ini karena dia ternyata ada hepatitis A, kemudian satu kasus ada hepatitis B, kemudian ternyata dia plus demam berdarah, tifoid dan dua kasus lagi usianya di atas 16 tahun,” jelasnya.
Berdasarkan umur, kata Syahril, yang berusia di bawah 4 tahun sebanyak empat orang, yang berusia 5-9 tahun berjumlah enam orang, yang berusia 10-14 tahun sebanyak empat orang, dan yang berusia 15-20 tahun berjumlah empat orang.
Ia mengatakan, dari 18 pasien tersebut, setidaknya ada tujuh orang yang meninggal dunia. Namun, ia menegaskan tujuh pasien yang meninggal tersebut belum termasuk kepada kategori probable atau kemungkinan hepatitis akut.
“Yang tujuh meninggal tadi itu belum probable, jadi yang probable baru satu. Yang keburu meninggal itu belum kita tegakkan diagnosisnya sebagai hepatits akut, sehingga kita tidak bisa mengatakan pasien ke tujuh ini meninggal karena hepatitis akut,” tuturnya.
Adapun gejala yang ditimbulkan oleh pasien-pasien tersebut yakni demam, tetapi tidak terlalu tinggi, mual, muntah, kehilangan nafsu makan, diare akut, lemah, lesu, nyeri di bagian perut. Mereka juga merasakan nyeri pada otot dan sendi, mata menguning dan kulit gatal-gatal. Menurut Syahril, warna urin keruh seperti air teh, sementara warna fesesnya pucat atau keputihan. Beberapa pasien juga mengeluhkan sesak nafas.
Syahril juga menekankan bahwa semua pasien dengan dugaan hepatitis akut tersebut negatif COVID-19.
BACA JUGA: Cegah Penularan Hepatitis Akut, Kantin Sekolah Dihimbau untuk DitutupDalam kesempatan ini, Syahril membantah bahwa keterbatasan fasilitas pelayanan kesehatan di Tanah Air menjadi faktor utama tingginya angka kematian pada dugaan kasus hepatitis akut tersebut. Ia menyatakan bahwa pasien yang meninggal tersebut hampir semuanya terlambat dirujuk dan ditangani oleh rumah sakit, sehingga datang dalam keadaan yang cukup parah.
“Untuk yang meninggal ini hampir semuanya dirujuk dengan keterlambatan sampai di rumah sakit, sehingga pasien itu ada yang sudah kejang. Kemudian ada yang sudah dengan kesadaran menurun, sehingga di tingkat rumah sakit sudah tidak bisa memberikan pertolongan lebih lanjut untuk kasus-kasus ini,” tuturnya.
Ia menyarankan kepada para orang tua, khususnya yang memiliki anak di bawah 16 tahun, agar segera membawa anak-anaknya ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat apabila memiliki gejala-gejala hepatitis akut tersebut, sehingga kemungkinan sembuh cukup besar.
“Upaya-upaya umum di dalam pencegahan yang perlu dilakukan, karena penyebaran kasus hepatitis akut melalui saluran pencernaan, maka cuci tangan dengan sabun merupakan kewajiban untuk kita mencegah penularan ini. Kemudian makanan dan minuman yang harus dimasak sampai matang, dan juga di dalam penyajiannya, terutama anak-anak yang disuapi oleh ibu, keluarga atau pembantu, maka harus menjaga kebersihan tangan dan juga menjaga higienis dari makanan dan minuman itu,” jelasnya.
Kaitan dengan COVID-19
Meskipun Kemenkes menyatakan bahwa ke-18 pasien yang diduga terpapar hepatitis akut tersebut dinyatakan negatif COVID-19, ahli epidemiologi dari Universitas Grifith, Australia, Dicky Budiman tetap berkeyakinan bahwa ada kaitan antara hepatitis akut yang belum diketahui penyebabnya itu dengan COVID-19.
“Bahwa ada hipotesa kaitan (hepatitis akut) dengan COVID-19 hingga saat ini belum bisa disingkirkan, bahkan menurut saya tetap kuat. Kalau saya melihat data-data makin kuat, karena sebagai contoh dikatakan di Amerika Serikat bahwa ini misalnya tidak terinfeksi COVID-19, ya saat ininya. Tapi tidak dilakukan pemeriksaan serologis atau antibodi untuk melihat potensi yang ditemukan di Israel bahwa ini ada potensi sebagai bagian dari long COVID-19,” ungkapnya kepada VOA.
Menurutnya pemeriksaan rapid test antigen atau PCR pada pasien terduga hepatitis akut tidaklah cukup. Mereka, katanya, perlu menjalani tes antibodi untuk mengetahui apakah mereka pernah terpapar virus corona
BACA JUGA: WHO Pelajari Apakah COVID-19 Berperan dalam Misteri Kasus Hepatitis pada AnakDicky berkeyakinan hepatitis akut dan COVID-19 saling berkaitan. Pasalnya, menurut pakar tersebut, temuan coronovirus dalam kasus hepatitis akut di dalam darah pasien cukup rendah sehingga ia menduga bahwa hepatitis akut tersebut adalah bagian daripada long COVID.
“Kita melihat fakta bahwa sejak awal pandemi COVID-19, bahkan di Wuhan hepatitis ini sudah terjadi, bahkan pada saat itu bukan hanya pada anak tapi juga pada orang dewasa. Kemudian data di Israel menyatakan 90 persen dari kasus COVID-19 yang dia teliti di awal atau pertengahan 2020-2021, banyak menemukan kasus yang serupa dalam artian menjadi bagian dari dampak langsung atau tidak langsung, seperti misalnya stroke, penggumpalan darah atau gangguan di otak. Itu contoh bahwa bagaimana potensi dari COVID-19 ini bisa merusak organ tubuh maupun menurunkan fungsi dari beberapa organ itu,” pungkasnya. [gi/ab]