Kementerian Kesehatan mengusulkan hukuman kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak dimasukan dalam revisi Undang-undang tentang Perlindungan Anak.
JAKARTA —
Kementerian Kesehatan mengusulkan agar hukuman kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak di masukkan dalam Undang-undang tentang perlindungan Anak.
Selama ini hukuman terhadap pelaku kejahatan seksual dalam Undang-undang tersebut sangat rendah yaitu minimal tiga tahun dan maksimal 15 tahun. Wakil Menteri Kesehatan Ali Gufron Mukti kepada VOA, Senin (2/6) mengatakan hukuman kebiri kimia dapat memberikan efek jera bagi pelaku.
Kebiri kimia ini lanjutnya dilakukan dengan menyuntikan obat untuk menghambat pembentukan hormon testosteron. Ketika hormon testosteron berkurang maka libido atau keinginan seks menurun.
Sejumlah negara yang sudah menerapkan hukuman kebiri kimia di antaranya Korea Selatan, Turki dan Polandia. Kebiri kimia seperti ini di sejumlah negara kata Gufron dapat mencegah pelaku kejahatan seksual.
Ali Gufron Mukti menjelaskan, "Tidak hanya efektifitas dalam melindungi anak untuk jadi korban. Selain ini suatu hukuman tetapi dia (pelaku) sendiri juga kayak semacam dapat terapi gitu kemudian dorongan-dorongan yang tidak terkendali bisa diperkecil. Di suntik hormon sehingga dorongan-dorongan untuk mendapat korban , tidak hanya itu para korban ini sebagian ingin mencari korban lagi. Jadi efeknya ini luar biasa yah."
Sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan pelaku kekerasan terhadap anak harus diperberat dengan berencana merevisi Undang-undang perlindungan anak.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Arist Merdeka Sirait menyatakan pemerintah dan DPR memang harus segera merevisi Undang-undang Perlindungan Anak karena kasus kekerasan seksual terhadap anak termasuk fedofilia terus terjadi.
Dalam merevisi Undang-Undang Perlindungan Anak tambahnya pemerintah harus memperjelas hukuman terhadap pelaku kejahatan seksual anak. Komnas Perlindungan Anak kata Arist telah mengusulkan hukuman untuk pelaku kekerasan seksual dengan penjara minimal 20 tahun dan maksimal seumur hidup serta kebiri.
"Demi keadilan korban-korban ditambah kimiawi kebiri," kata Arist.
Arist Merdeka Sirait mengatakan kejahatan seksual yang terjadi sekarang ini sedang mengancam dunia anak. Hal ini kata Arist perlu disikapi serius oleh berbagai pihak khususnya pemerintah.
Menurutnya situasi kejahatan seksual terhadap anak sudah sangat darurat. Kejahatan seksual lanjutnya sekarang tidak hanya terjadi di luar rumah tetapi ada juga yang terjadi di dalam rumah dimana predatornya adalah orangtuanya sendiri, paman, kakak dan juga orang tua tiri.
Arist menambahkan, "Bahwa tempat kejadian setelah rumah adalah sekolah. Sekolah bisa melakukan simulasi-simulasi bagaimana mengajarkan anak misalnya apa yang tertutup di balik baju , anak diberikan pengetahuan yang cukup, bahwa hanya bisa disentuh oleh tiga orang yaitu dirimu sendiri, ibumu dan dokter, dokter juga harus didampingi. Kemudian mengajarkan berani berteriak mengatakan tidak."
Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia menyebutkan, pada empat bulan terakhir ini telah terjadi lebih dari 400 kasus kekerasan seksual terhadap anak.
Selama ini hukuman terhadap pelaku kejahatan seksual dalam Undang-undang tersebut sangat rendah yaitu minimal tiga tahun dan maksimal 15 tahun. Wakil Menteri Kesehatan Ali Gufron Mukti kepada VOA, Senin (2/6) mengatakan hukuman kebiri kimia dapat memberikan efek jera bagi pelaku.
Kebiri kimia ini lanjutnya dilakukan dengan menyuntikan obat untuk menghambat pembentukan hormon testosteron. Ketika hormon testosteron berkurang maka libido atau keinginan seks menurun.
Sejumlah negara yang sudah menerapkan hukuman kebiri kimia di antaranya Korea Selatan, Turki dan Polandia. Kebiri kimia seperti ini di sejumlah negara kata Gufron dapat mencegah pelaku kejahatan seksual.
Ali Gufron Mukti menjelaskan, "Tidak hanya efektifitas dalam melindungi anak untuk jadi korban. Selain ini suatu hukuman tetapi dia (pelaku) sendiri juga kayak semacam dapat terapi gitu kemudian dorongan-dorongan yang tidak terkendali bisa diperkecil. Di suntik hormon sehingga dorongan-dorongan untuk mendapat korban , tidak hanya itu para korban ini sebagian ingin mencari korban lagi. Jadi efeknya ini luar biasa yah."
Sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan pelaku kekerasan terhadap anak harus diperberat dengan berencana merevisi Undang-undang perlindungan anak.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Arist Merdeka Sirait menyatakan pemerintah dan DPR memang harus segera merevisi Undang-undang Perlindungan Anak karena kasus kekerasan seksual terhadap anak termasuk fedofilia terus terjadi.
Dalam merevisi Undang-Undang Perlindungan Anak tambahnya pemerintah harus memperjelas hukuman terhadap pelaku kejahatan seksual anak. Komnas Perlindungan Anak kata Arist telah mengusulkan hukuman untuk pelaku kekerasan seksual dengan penjara minimal 20 tahun dan maksimal seumur hidup serta kebiri.
"Demi keadilan korban-korban ditambah kimiawi kebiri," kata Arist.
Arist Merdeka Sirait mengatakan kejahatan seksual yang terjadi sekarang ini sedang mengancam dunia anak. Hal ini kata Arist perlu disikapi serius oleh berbagai pihak khususnya pemerintah.
Menurutnya situasi kejahatan seksual terhadap anak sudah sangat darurat. Kejahatan seksual lanjutnya sekarang tidak hanya terjadi di luar rumah tetapi ada juga yang terjadi di dalam rumah dimana predatornya adalah orangtuanya sendiri, paman, kakak dan juga orang tua tiri.
Arist menambahkan, "Bahwa tempat kejadian setelah rumah adalah sekolah. Sekolah bisa melakukan simulasi-simulasi bagaimana mengajarkan anak misalnya apa yang tertutup di balik baju , anak diberikan pengetahuan yang cukup, bahwa hanya bisa disentuh oleh tiga orang yaitu dirimu sendiri, ibumu dan dokter, dokter juga harus didampingi. Kemudian mengajarkan berani berteriak mengatakan tidak."
Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia menyebutkan, pada empat bulan terakhir ini telah terjadi lebih dari 400 kasus kekerasan seksual terhadap anak.