Kepala BKF Febrio Kacaribu mengatakan pandemi COVID-19 berdampak besar terhadap kehidupan sosial dan aktivitas ekonomi global. Termasuk pada penurunan pendapatan per kapita Indonesia dari 4.050 dolar AS pada 2019 menjadi 3.870 dolar AS pada 2020. Penurunan pendapatan per kapita ini membuat Indonesia kembali masuk kategori negara berpendapatan bawah dari sebelumnya kategori negara berpendapatan menengah atas seperti laporan Bank Dunia.
“Pandemi telah menciptakan pertumbuhan ekonomi negatif di hampir seluruh negara, termasuk Indonesia, di tahun 2020. Dengan demikian maka penurunan pendapatan per kapita Indonesia merupakan sebuah konsekuensi yang tidak terhindarkan," jelas Febrio melalui keterangan pers tertulis, Kamis (8/7/2021).
Febio mengatakan pemerintah mampu menahan kontraksi ekonomi yang lebih dalam melalui respons kebijakan fiskal yang adaptif dan kredibel. BKF juga menyebut pertumbuhan ekonomi pada 2020 yang -2,1 persen juga masih lebih baik dibandingkan negara lain. Antara lain India (-8 persen), Afrika Selatan (-7 persen) dan Brazil (-4,1 persen).
Selain itu, BKF menyebut program pemerintah mampu memberikan perlindungan terhadap masyarakat miskin dan rentan sehingga tingkat kemiskinan dapat dikendalikan menjadi 10,19 persen pada September 2020. Padahal, Bank Dunia mengestimasi angka kemiskinan Indonesia pada tahun 2020 dapat mencapai 11,8 persen.
“Pandemi masih memberikan ketidakpastian yang tinggi terhadap ekonomi. Oleh karena itu, saat ini pemerintah akan fokus melakukan berbagai langkah yang responsif agar pandemi dapat semakin terkendali dan langkah pemulihan ekonomi dapat terus berjalan," tambah Febrio.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira mengatakan penurunan kelas Indonesia menjadi negara berpendapatan menengah bawah akan membuat Indonesia membutuhkan waktu lebih lama untuk menjadi negara maju. Kata dia, kondisi ini juga dapat membuat Indonesia terjebak dalam kelas menengah dalam waktu lama.
Your browser doesn’t support HTML5
Di samping itu, potensi bonus demografi pada 2030 juga bisa hilang karena angkatan kerja muda kesulitan mencari kerja akibat perekonomian tidak tumbuh. Sementara beban mereka akan semakin berat karena harus menanggung beban keluarga, termasuk orang tua mereka yang akan lanjut usia.
"Karena ekonominya tidak mengalami pertumbuhan yang signifikan maka lapangan kerjanya menjadi sangat terbatas. Efeknya adalah serapan tenaga kerja baru menjadi kurang optimal. Tingkat pengangguran khususnya pengangguran usia muda menjadi tinggi," jelas Bhima Yudhistira kepada VOA, Kamis (8/7/2021).
Bhima Yudhistira menambahkan penurunan kelas dapat membuat Indonesia kurang diminati sebagai negara tujuan investasi karena dianggap berisiko tinggi. Menurutnya, para investor cenderung tertarik menanamkan modal mereka pada negara yang berpendapatan menengah ke atas.
Kata Bhima, Indonesia juga akan menghadapi potensi godaan tawaran utang dari kreditur karena dinilai belum mampu mendorong penerimaan pendapatan secara mandiri. Karena itu, ia mengingatkan pemerintah untuk lebih hati-hati dalam mengambil utang karena beban bunga utang sudah tinggi.
"Sekarang saja cukup menjadi beban di mana per tahunnya harus membayar bunga utang Rp 370an triliun. Nah, itu juga menjadi salah satu catatan," tambah Bhima.
Kendati demikian, menurut Bhima masih terdapat sisi positif dari penurunan kelas yaitu Indonesia dapat mengirimkan barang ke luar negeri dengan tarif yang rendah. [sm/em]