Kementerian Hukum dan HAM melalui Dirjen Pemasyarakatan (Ditjen PAS) mengusulkan adanya aturan khusus tentang standar perlakuan bagi tahanan dan narapidana lanjut usia (lansia) di dunia internasional yang ditargetkan akan dikenal dengan nama “The Jakarta Rules”.
Hal ini dibicarakan dalam seminar bertajuk “Seminar on Treatment of Elderly Prisoners” yang mengundang 160 orang perwakilan dari Jepang, Singapura, Thailand, Korea Selatan, Vietnam, Kamboja, Malaysia, Laos dan Filipina, serta organisasi internasional seperti The Asia Foundation (TAF), International Committee of The Red Cross (ICRC), International Criminal Investigative Training Asistance Program (ICITAP), dan United Nations Office Drugs and Crime (UNODC) di Hotel Grand Mercure Kemayoran, Jakarta, Rabu (17/10).
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly berharap seminar ini akan melahirkan suatu komitmen internasional tentang pentingnya aturan khusus standar perlakuan bagi narapidana lansia, dan bisa didorong sampai ke PBB.
"Maka saya kira kita mau menciptakan, kalau nanti seminar ini bisa menghasilkan satu komitmen internasional, rulesbagaimana treatment of elderlymaka ini bisa kita buat sebagai Jakarta Rules. Nanti kita dorong dan kita buat sampai ke PBB, makanya kita undang ICRC, UNODC, dan beberapa negara untuk mendorong ini karena UNODC ini bagian daripada PBB, dan International Committee of Red Crossitu juga adalah satu organisasi yang betul-betul mendorong pendekatan-pendekatan kemanusiaan," kata Yasonna.
Yasonna menjelaskan latar belakang diusulkannya aturan ini, yaitu karena jumlah lansia di seluruh dunia terus bertambah. Selain itu, kata Yasona, napi lansia seringkali menjadi sasaran empuk narapidana lainnya untuk di-bullydan juga diperas. Karena itu diperlukan suatu perlakuan khusus bagi narapidana maupun keluarganya.
"Semuanya akan disediakan sesuai dengan needs elders. Tempat toiletnya harus duduk, dekat dengan poliklinik, kemudian tentu jam berkunjungnya beda, ya orang tua butuh treatment of psychology, anaknya dan keluarganya kita beri akses yang lebih baik," imbuhnya.
Dalam kesempatan yang sama Dirjen Pemasyarakatan Sri Puguh Budi Utami mengatakan bahwa di Indonesia tersebar kurang lebih 4.500 napi lansia yang saat ini belum dibina secara khusus. Tempat bagi mereka pun masih bercampur dengan narapidana lainnya, mengingat Indonesia sendiri masih menghadapi isu overcrowding, lapas dan rutan yang terlalu padat penghuninya.
Your browser doesn’t support HTML5
"Inginnya gedungnya dibedakan, tapi sekarang masih blok-blok khusus dan bercampur dengan yang lain. Karena posisi kita masih overcrowding, terbatas kapasitasnya, sehingga kita mengoptimalkan blok yang ada," jelasnya.
Sementara itu, Direkur Eksekutif Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju menyambut baik ide tentang hal ini. Namun, pihaknya tidak yakin pemerintah bisa memfasilitasinya seperti pembangunan lapas untuk napi lansia.
Pasalnya, sejak tahun 1981 sampai sekarang pemerintah belum bisa mengatasi masalah kepadatan penghuni lapas dan rutan. Overcrowding yang terjadi di rutan dan lapas Indonesia, kata Anggara pada tahun 2017 sudah 188 persen, sedangkan pada tahun ini sudah mencapai di atas 190 persen.
Anggara juga menyebut, pemerintah juga belum bisa menyediakan lapas khusus untuk perempuan dan anak-anak di seluruh kabupaten/kota di Indonesia.
"Ya bagus saja sih soal ide itu. Tapi itu baru bisa kita pikirkan kalau isu overcrowding-nya bisa kita atasi. Bagaimana kita bisa mengatasi isu lansia kalau overcrowding tidak bisa kita atasi," jelas Anggara.
Menurutnya, untuk mengatasi isu overcrowding ini, ke depan pemerintah harus melakukan beberapa hal. Di antaranya, KUHAP harus diganti agar orang tidak gampang untuk ditahan sehingga tidak terjadi penumpukan di rutan maupun di lapas. [gi/uh]