Pemerintah meluncurkan kampanye baru untuk mengakhiri praktik mutilasi kelamin perempuan (FGM), menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise, meskipun ada perlawanan dari tokoh-tokoh agama yang telah menghalangi upaya-upaya serupa selama ini.
Pemerintah telah mencoba melarang FGM 10 tahun yang lalu namun penolakan dari ulama-ulama berpengaruh membuat budaya itu masih dipraktikkan.
Hampir separuh anak-anak perempuan berusia 11 tahun dan lebih muda di Indonesia telah menghadapi bentuk-bentuk mutilasi kelamin, menurut lembaga anak-anak PBB, UNICEF, bulan Februari lalu, yang mengutip data statistik pemerintah Indonesia untuk pertama kalinya dalam sebuah studi global mengenai FGM.
Indonesia, Mesir dan Ethiopia mencakup separuh dari 200 juta perempuan dan anak-anak perempuan di seluruh dunia yang diperkirakan telah mengalami prosedur ini, ujar UNICEF.
Menteri Yohana mengatakan pemerintah telah mulai bekerjasama dengan kelompok-kelompok perempuan dan agama untuk meningkatkan kesadaran akan bahaya-bahaya FGM. Sebuah survei juga sedang dilakukan untuk memberikan "bukti ilmiah" untuk mendukung tujuan pemerintah dalam menghentikan praktik tersebut.
"Kami mencoba mendekati tokoh-tokoh masyarakat dan agama agar mereka memahami dan menyadari bahwa kita harus menghentikan mutilasi kelamin perempuan ini," ujar Yohana kepada wartawan.
FGM, yang merupakan pemotongan sebagian atau seluruh bagian luar kelamin perempuan, dipraktikkan di banyak negara Afrika dan kantong-kantong Asia serta Timur Tengah.
Praktik ini dapat menyebabkan serangkaian masalah kesehatan. Dalam sejumlah kasus, korban mengalami pendarahan sampai meninggal atau meninggal karena infeksi. Yang lainnya menderita komplikasi fatal saat melahirkan.
Kelompok-kelompok hak asasi manusia di Indonesia telah lama menyerukan larangan terhadap FGM, sementara para pendukung praktik ini beralasan bentuk mutilasi di Indonesia tidak sedrastis di tempat lain.
Studi UNICEF menunjukkan bahwa tiga dari empat anak-anak perempuan di Indonesia mengalami FGM ketika mereka berusia di bawah enam bulan, dan prosedur itu biasanya dilakukan oleh bidan.
Setelah pemerintah mencoba melarang FGM tahun 2006, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa bahwa praktik itu merupakan tradisi agama yang wajib dilakukan.
Grata Endah Werdaningtyas, pejabat senior Kementerian Luar Negeri, mengatakan kampanye tersebut akan menyasar keluarga.
"Kita harus menyasar kelompok-kelompok terkait seperti orangtua karena merekalah yang memutuskan (sunat perempuan) -- bukannya dokter, atau tokoh agama," ujarnya kepada Thomson Reuters Foundation.
Namun kepercayaan yang meluas masih menjadi kendala, ujarnya.
"Di beberapa daerah di Indonesia, masyarakat mengatakan anak perempuan harus disunat, jika tidak mereka tidak dapat memasak nasi secara benar, atau tidak dapat mendapatkan suami," ujar Grata. [hd]