Kemiskinan, Tunawisma, dan Depresi Meningkat di Kalangan Muda Eropa Akibat Pandemi

Polisi bicara dengan tunawisma di tendanya di Paris, Perancis (foto: ilustrasi).

Perekonomian dan perbatasan Eropa kembali dibuka musim panas ini berkat penurunan kasus Covid-19 dan meningkatnya angka vaksinasi. Akan tetapi, para pakar memperingatkan bahwa ‘bekas luka’ pandemi bisa bertahan lama dan mendalam – terutama bagi generasi muda yang sangat berharga bagi benua Eropa.

Keadaan semakin membaik bagi muda-mudi di Paris. Beberapa minggu terakhir sebelum liburan musim panas dimulai, bar-bar dan restoran kembali dibuka, begitu juga sekolah dan universitas.

Di salah satu aula bersama mahasiswa Universitas Sorbonne lainnya, Kataryzna Mac tengah belajar untuk menghadapi ujian akhir. Ia bersyukur masa karantina berbulan-bulan akibat COVID-19 telah berakhir.

Dengan karantina wilayah yang terus bergulir di Perancis, kata Mac, sendirian di depan komputer seharian rasanya sulit dan membuat stres. Seperti mahasiswa lain di Perancis, ia menjalani sebagian besar tahun ajaran dengan mengambil kelas-kelas daring dari rumah.

Para pakar menunjukkan bagaimana krisis telah dan terus melanda generasi muda Eropa dalam berbagai aspek, sehingga menyebabkan kesulitan ekonomi, sosial dan mental. Banyak anak muda lain, seperti Mac, yang sudah hidup dalam kesulitan.

Anak-anak muda di Perancis banyak yang kehilangan pekerjaan akibat pandemi (foto: ilustrasi).

Tutupnya berbagai bisnis, terutama di sektor perhotelan dan restoran, menghilangkan lapangan kerja yang diandalkan banyak orang. Statistik Uni Eropa memperkirakan lebih dari 17 persen warga berusia di bawah 25 tahun kehilangan pekerjaan– lebih dari dua kali lipat rata-rata di kawasan tersebut. Tingkat kemiskinan dan tunawisma di kalangan muda semakin meningkat, demikian pula tingkat depresi.

Sarah Coupechoux adalah kepala studi Eropa pada lembaga nirlaba Abbe Pierre Foundation di Perancis. Ia mengatakan, saat ini terdapat sekelompok warga Eropa, termasuk anak-anak muda, yang sulit sekali bertahan hidup. Akibat pandemi dan hilangnya pekerjaan, banyak anak muda yang kelaparan dan mencari makan. Laporan terbaru lembaga itu juga menunjukkan semakin sulitnya mereka mencari tempat tinggal.

Seperti warga muda Eropa lainnya, Mac juga terlalu miskin untuk meninggalkan rumah orang tuanya. Tapi belum lama ini ia menemukan apartemen subsidi di gedung yang menampung para mahasiswa dan karyawan di tepi kota Paris.

Unit apartemennya hanya cukup diisi tempat tidur, meja belajar dan dapur kecil. Piring-piring kotor menumpuk, sementara isi kulkasnya hampir kosong.

Ia menerima bantuan bagi mahasiswa dan sedikit tunjangan pemerintah. Namun itu saja tidak cukup untuk bertahan hidup, padahal orang tuanya tidak selalu punya cukup uang untuk membantunya.

BACA JUGA: Kandidat Muslim dalam Pemilu Perancis Serukan Kesetaraan Kesempatan

Hari demi hari yang dijalani dengan belajar sendirian juga menggerogoti kondisi kejiwaannya.

Bahkan sejak sebelum COVID-19 merebak, ia mengaku punya masalah dengan stres dan pikiran untuk bunuh diri. Semua itu semakin parah dengan adanya pandemi, terutama karena ia tidak bisa berkuliah secara normal di kelas.

COVID-19 adalah penyakit yang disebabkan oleh virus corona. Pandemi telah menambah kesulitan bagi kaum muda lainnya, terutama – berdasarkan penelitian – mereka yang berasal dari lingkungan yang kurang beruntung.

Di Bobigny, pinggiran kota Paris yang ditinggali warga kelas pekerja, aktivis muda Stanley Camille mengatakan mahasiswa kesulitan mengakses internet, padahal mereka membutuhkannya untuk mengikuti kelas daring selama lockdown. Kotanya ditinggali warga tidak mampu. Dalam satu rumah tangga, satu komputer seringkali digunakan oleh empat hingga lima anak.

Your browser doesn’t support HTML5

Kemiskinan, Tunawisma, dan Depresi Meningkat di Kalangan Muda Eropa Akibat Pandemi


Tahun lalu, Perancis meluncurkan program bernilai miliaran dolar untuk membantu generasi muda mendapatkan pekerjaan, pelatihan dan pendidikan yang dibutuhkan. Kantin sekolah pun menjual menu makan siang seharga satu dolar saja. Para pemimpin Eropa juga bertekad akan memerangi kemiskinan. Namun para pakar seperti Coupechoux menilai masih banyak yang perlu dilakukan.

Coupechoux mengatakan, pada tingkat nasional maupun lokal di Eropa, institusi-institusi harus diingatkan akan pentingnya mendukung generasi muda.

Mac setuju. Kini ia mendapatkan bantuan psikologis – meski, katanya, layanan dari pemerintah daerah kekurangan SDM, padahal jumlah permintaan tinggi. Ia dan para tetangganya membentuk grup solidaritas (support group) sendiri dan berbagi sembako, seperti susu, untuk bertahan hidup. Berjalan-jalan di taman pun dirasa bisa membantu.

Mac juga direkrut untuk melakukan kerja sosial selama musim panas. Ia berharap hidupnya bisa segera kembali normal. Namun dengan ancaman perebakan virus corona varian baru, tidak ada hal yang pasti. [rd/jm]