Junta militer Myanmar pekan lalu menandatangani kerjasama dengan Rusia di bidang teknologi nuklir.
Perdana Menteri, Kepala Dewan Administrasi Negara dan Jendral Senior Min Aung Hlaing menyaksikan langsung penandatangan kerjasama membangun reaktor nuklir kecil (small nuclear power plants SNPP) di Pusat Informasi Teknologi Nuklir di Yangon.
Perjanjian itu ditandatangani oleh Menteri Persatuan Untuk Sains dan Teknologi Myanmar Dr. Myo Thein Kyaw, sementara pihak Rusia diwakili oleh Dirjen Rosatom Alexey Likhacev. Mengutip laporan beberapa media lokal di Myanmar dan Rusia, kerjasama itu dinilai sebagai “langkah logis” kelanjutan hubungan antara Myanmar dan Rusia, yang memberikan “dasar-dasar yang solid” bagi kerjasama lebih lanjut.
Perjanjian ini tampaknya menindaklanjuti kerjasama teknologi nuklir yang disepakati sebelumnya pada September 2022.
Kementerian Luar Negeri Indonesia mengatakan tidak mudah menilai tujuan kerjasama nuklir kedua negara itu. Diwawancara VOA hari Selasa (14/2), juru bicara Kemlu Teuku Faizasyah mengatakan sesuai hukum internasional, kerjasama di bidang teknologi nuklir dibolehkan selama untuk tujuan damai, seperti bidang kesehatan dan sebagainya.
“Pertama, yang harus dicari tahu adalah substansi yang dituangkan dalam kerjasama di antara kedua negara. Itu yang menjadi rujukan untuk bisa mengetahui sifat dari kerjasama dan intensi dari kerjasama yang dibangun. Jadi itu dua hal yang perlu dipastikan lebih dahulu," kata Faizasyah.
Di sisi lain, lanjut Faizasyah, Indonesia adalah negara yang juga mendukung kerjasama bilateral atau internasional mengenai pemanfaatan teknologi nuklir untuk maksud-maksud damai. Dia menambahkan tidak mudah untuk membangun fasilitas nuklir untuk kepentingan pertahanan dan ini merupakan peran dari Badan Energi Atom Internasional IAEA untuk melakukan verifikasi.
Faizasyah belum bisa memastikan apakah kerjasama teknologi nuklir Myanmar-Rusia akan menjadi salah satu agenda pembahasan dalam pertemuan ASEAN selanjutnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Pengamat: Wajar Jika Kerjasama Nuklir Myanmar-Rusia Memicu Kekhawatiran
Pengamat ASEAN di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Pandu Prayoga menjelaskan wajar jika kerjasama reaktor nuklir antara Myanmar dan Rusia memicu kekhawatiran.
"Ketika dalam posisi sekarang Myanmar lagi tidak stabil, di mana lebih dikuasai oleh militer, ya wajar saja semua orang, terutama dari oposisi Myanmar khawatir jangan sampai ini disalahgunakan untuk membentuk senjata nuklir," ujar Pandu.
Pandu menilai junta Myanmar pintar memanfaatkan momentum. Saat Rusia dimusuhi negara-negara Barat, Myanmar mendekati negara Beruang Merah itu dan berhasil menjalin kerjasama di bidang teknologi nuklir.
BACA JUGA: Media Internasional Keliru Menggambarkan Pemerintahan Oposisi MyanmarMenurut Pandu, jika krisis politik dan keamanan di Myanmar berlarut-larut maka akan mengganggu hubungan Myanmar dengan Rusia dan China. Dia menilai kerjasama nuklir Myanmar-Rusia merupakan kepentingan pragmatis dan jangka pendek dari kedua negara.
Dia melihat belum ada indikasi kerjasama nuklir antara Myanmar dan Rusia bertujuan memproduksi senjata pemusnah massal di jangka pendek atau panjang. Sebab untuk menghasilkan senjata nuklir dibutuhkan banyak modal.
Selain itu, lanjut Pandu, Rusia merupakan salah satu mitra dialog ASEAN yang menandatangani perjanjian bebas senjata nuklir untuk kawasan Asia Tenggara dengan sepuluh negara anggota ASEAN, termasuk Myanmar.
Meski demikian, ujarnya, Indonesia sebagai ketua ASEAN tahun ini harus lebih fokus pada pelaksanaan lima poin konsensus oleh junta Myanmar yang hingga belum kelihatan hasilnya. Indonesia juga harus terus melobi Rusia dan Cina agar membantu penyelesaian krisis politik di Myanmar.
BACA JUGA: ASEAN Sepakat Perkuat Kapasitas dan Efektivitas KelembagaanJunta militer Myanmar mengumumkan akan menggunakan energi nuklir untuk kepentingan rakyat.
Namun, pihak oposisi mengungkapkan kekhawatiran bahwa teknologi ini akan dimanfaatkan secara militer mengingat konflik bersenjata di Myanmar masih berlangsung.
Dalam waktu dua tahun sejak kudeta militer 1 Februari 2021, Min Aung Hlaing telah tiga kali mengunjungi Rusia untuk membahas proyek nuklir.
Tanggapan AS
Menanggapi kerjasama nuklir Myanmar dan Rusia, seorang juru bicara Departemen Luar Negeri AS menyatakan kepada VOA, “Kami sangat prihatin – tetapi tidak terkejut dengan – kesediaan Rusia untuk memperluas dukungan materialnya, termasuk melalui kerja sama energi nuklir, kepada rezim represif di Myanmar.”
Meski demikian, katanya, pemerintah AS merasa prihatin dengan munculnya banyak laporan yang kredibel bahwa Rusia menyediakan militer Myanmar senjata yang memungkinkannya melanjutkan kekerasan, kekejaman, dan pelanggaran HAM terhadap rakyat Myanmar.
“Dukungan Rusia untuk rezim tersebut juga merusak stabilitas di kawasan yang lebih luas. Tindakan Rusia memperpanjang krisis yang mengancam upaya kami untuk memajukan perdamaian dan kemakmuran dengan mitra dan sekutu kami di Indo-Pasifik,” katanya.
Ia mengatakan, AS akan terus bekerja sama dengan masyarakat internasional menuntut pertanggungjawaban militer Mynamar terkait kudeta dan semua pihak yang bertanggung jawab atas kekerasan yang mengerikan, termasuk mereka yang mendukung dan mempersenjatai rezim militer. “Kami juga akan terus bekerja sama dengan mitra internasional untuk menghentikan transfer senjata dan barang-barang berfungsi ganda lainnya ke militer Myanmar.” [fw/em/ab]