Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Rabu (21/12) menerbitkan resolusi yang mendesak junta Myanmar membebaskan semua tahanan politik, termasuk mantan pemimpin pemerintahan sipil Aung San Suu Kyi. Ini merupakan resolusi pertama yang dikeluarkan oleh PBB dalam menanggapi krisis politik di Myanmar yang terjadi sejak kudeta militer pada 1 Februari 2021.
Melalui resolusi itu, Dewan Keamanan PBB juga mendesak junta Myanmar segera mengakhiri seluruh tindakan kekerasan di seantero negara itu. Resolusi ini disokong oleh 12 dari 15 negara anggota Dewan Keamanan PBB. Rusia, China dan India menyatakan asbtain dalam pemungutan suara.
Menanggapi hal tersebut, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah kepada VOA, Jumat (23/12) menjelaskan ASEAN akan lebih dulu mengedepankan mekanisme ASEAN dan tidak serta merta menggunakan mekanisme lain, termasuk PBB.
Lewat Twitter, kantor perwakilan tetap Indonesia di PBB menjelaskan Indonesia menyambut baik resolusi Dewan Keamanan PBB itu untuk mendukung upaya ASEAN dalam menyelesaikan persoalan di Myanmar.
Seperti diungkapkan para pemimpin ASEAN dalam konferensi tingkat tinggi di Kamboja bulan lalu, kata Teuku, Myanmar merupakan bagian tidak terpisahkan dari ASEAN. "ASEAN berkomitmen membantu Myanmar untuk menemukan solusi damai dan berkepanjangan. Lima poin konsensus tetap menjadi referensi valid dan harus dilaksanakan seluruhnya," katanya.
Konsensus yang dibuat para pemimpin negara-negara anggota ASEAN pada April 2021 mengandung lima poin, yakni dialog konstruktif, penghentian kekerasan, mediasi antara berbagai pihak, pemberian bantuan kemanusiaan dan pengiriman utusan khusus ke Myanmar.
Pengamat ASEAN dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Pandu Prayoga menilai resolusi yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB merupakan bentuk kekhawatiran dari dunia internasional tentang situasi di Myanmar yang semakin memburuk, sehingga perlu ada dukungan non-militer bagi kaum oposisi dan rakyat sipil di Myanmar.
Dia menambahkan resolusi Dewan Keamanan PBB soal situasi di Myanmar tersebut juga merupakan bentuk dukungan terhadap beragam upaya yang telah dan sedang dilakukan dalam membantu penyelesaian krisis politik dan kemanusiaan di Myanmar.
Menurut Pandu, ada tiga amunisi yang bisa digunakan ASEAN tahun depan dalam mendorong solusi krisis politik di Myanmar. "Amunisi pertama, Dewan Keamanan PBB telah mengeluarkan resolusi untuk membantu Myanmar. Kemudian kedua, Amerika Serikat mengeluarkan sebuah undang-undang bernama 2022 Burma Act, ini akan memberi bantuan kepada pihak-pihak terkait yang tidak mematikan," ujar Pandu.
Namun dia melihat bantuan non-mematikan bisa juga menjadi mematikan jika berupa pelatihan militer kepada kelompok oposisi. Amunisi ketiga, menurut Pandu, adalah posisi Indonesia sebagai Ketua ASEAN sepanjang 2023.
Pandu menjelaskan ketiga amunisi tersebut bisa digunakan secara maksimal untuk mendorong pemerintah junta Myanmar melaksanakan konsensus lima poin.
Menurutnya, dengan posisinya sebagai Ketua ASEAN tahun depan, Indonesia harus bertindak dan menjalankan diplomasi seoptimal mungkin agar solusi isu Myanmar bisa terwujud.
Menurut Pandu, resolusi PBB dan undang-undang yang disahkan oleh Kongres Amerika merupakan kabar gembira bagi kelompok oposisi di Myanmar. Namun sebaliknya, katanya, resolusi itu harus disikapi secara hati-hati oleh pihak junta karena menunjukkan masyarakat internasional sudah tidak sabar dengan perkembangan yang ada di Myanmar dan ingin segera ada perubahan.
Pandu mengatakan Thailand juga harus ikut membantu upaya perdamaian di Myanmar. Sebagai negara berbatasan langsung, peningkatan eskalasi konflik di Myanmar akan berdampak langsung pada situasi di Thailand.
Lebih jauh Pandu mengatakan, langkah tegas yang bisa dilakukan Indonesia sebagai ketua ASEAN tahun depan adalah tetap tidak mengundang perwakilan junta dalam semua pertemuan ASEAN. segera menunjuk utusan khusus ASEAN untuk Myanmar, dan memerintahkan utusan ituuntuk segera menjalankan tugasnya.
Menurutnya, selama dua tahun ASEAN beradadi bawah kepemimpinan Brunei Darussalam dan Kamboja, isu Myanmar jalan di tempat.
Arfin Sudirman, pengamat hubungan internasional dari Universitas Padjadjaran menilai resolusi tentang Myanmar yang dikeluarkan Dewan Keamanan PBB merupakan warning untuk Myanmar.
"Kalau Dewan Keamanan PBB sudah punya resolusi ataupun tindakan, kebijakan, ini sebetulnya sudah lampu merah atau kuning bagi Myanmar supaya untuk segera melakukan demokratisasi kembali seperti sebelum kudeta," tutur Arfin.
Namun dia mengingatkan resolusi Dewan Keamanan itu hanya sekadar peringatan dan bukan sanksi bagi junta agar Myanmar kembali ke era sebelum kudeta militer. Dia berharap dua negara anggota tetap sekaligus pemegang hak veto di Dewan Keamanan PBB yang selama ini mendukung Myanmar yakni Rusia dan China, tidak akan memveto rancangan draft resolusi lainnya mengenai Myanmar.
Arfin menduga resolusi Dewan Keamanan PBB tentang krisis politik di Myanmar itu keluar karena ada inisiatif dan lobi-lobi yang dilakukan oleh negara-negara anggota ASEAN termasuk Indonesia.
Menurut Arfin, resolusi Dewan Keamanan PBB tersebut menjadi posisi tawar baru bagi Indonesia dan ASEAN tahun depan untuk menekan junta agar mau melaksanakan lima poin konsensus. Tapi dia juga mengharapkan Dewan Keamanan PBB juga menunjuk utusan khusus untuk Myanmar guna mengawal perkembangan dan kemajuan pelaksanaan konsensus lima poin.
Dia merekomendasikan agara Indonesia, sebagai Ketua ASEAN pada 2023, melobi Rusia dan China yang selama ini mendukung junta Myanmar. Indonesia harus dapat meyakinkan kedua negara tersebut bahwa kepentingan ASEAN di Myanmar tidak membawa kepentingan negara-negara Barat. [fw/ab]