Tana Toraja di Sulawesi Selatan telah dinominasikan untuk masuk dalam daftar Warisan Budaya Dunia PBB atau UNESCO World Heritage Center. Antropolog AS Dr. Kathleen M. Adams, ikut duduk dalam kepanitiaan pengajuan lokasi wisata budaya tersebut.
WASHINGTON, DC —
Antropolog kenamaan AS di Universitas Loyola, Chicago, Dr. Kathleen M. Adams yang tercantum dalam daftar "300 Dosen Terbaik Amerika" versi lembaga “The Princeton Review,” memusatkan penelitian lapangannya pada pulau-pulau Sulawesi dan Alor. Dalam 20 tahun terakhir ini, dia telah bolak-balik melakukan perjalanan dari AS ke Tana Toraja.
Mengenai kebudayaan rakyat Toraja yang ditekuninya, dia mengemukakan: “Saya telah tertarik pada suku Toraja sejak awal-awal tahun 1980-an, dan pertama kali mengunjungi daerah itu pada tahun 1993, ketika melewati kuliah musim panas untuk tingkat pasca sarjana, belajar bahasa Indonesia tingkat lanjut. Saat ini saya turut terlibat dalam persiapan nominasi Toraja sebagai Warisan Budaya Dunia UNESCO.”
Suku Toraja berpenduduk sekitar satu juta orang, dengan 500 ribu orang masih hidup di dataran tinggi Toraja. Termasyhur karena upacara penguburan jenazah yang unik, yang diselipkan di rongga-rongga batu gunung, rumah-rumah tradisional bertanduk, yang disebut tongkonan, pahatan patung kayu dan tenun rakyat berwarna-warni cerah, Toraja telah lama menjadi tujuan wisata populer.
Namun, di tengah-tengah persaingan wisata dunia yang ditingkahi resesi ekonomi yang panjang, apakah tak ada tantangan yang dihadapi Tana Toraja?
Adams mengatakan: “Salah satu tantangan yang dihadapi Toraja berkenaan dengan mempertahankan posisi pada peta wisata adalah bahwa masih relatif sulit untuk pergi ke sana. Harus terbang ke Bali dahulu, dan terbang ke Makassar, kemudian naik bis selama delapan jam ke dataran tinggi Toraja.”
Kendatipun demikian, pantau Adams, prospek turisme Toraja akan tetap bertahan. "Sewaktu dalam proses menulis buku saya, saya mewawancarai banyak wisatawan, dan semuanya merasa, jerih-payah menempuh perjalanan sedemikian jauh, terbayar, saat menginjak tanah Toraja. Sekali tiba, mereka enggan pergi. Toraja benar-benar sebuah tempat yang unik dan indah di dunia,” ujar Adams.
Ditanyakan mengenai pengalaman hidupnya selama dua tahun di Tana Toraja, adakah tantangan berat yang ia rasakan dalam menyesuaikan diri di tengah-tengah masyarakat, Adams menjawab: “Mungkin, isu yang lebih besar bagi saya dalam hal menyesuaikan diri hidup di daerah perdesaan di Indonesia, adalah lebih samar; berkenaan dengan kebutuhan waktu untuk bersendiri. Orang Amerika terkenal sangat membutuhkan waktu ‘untuk bersendiri.’ Gagasan semacam ini agak asing bagi orang Toraja."
Kenangan manis hidup dengan keluarga angkatnya di Tana Toraja 20 tahun lalu terpateri kuat dalam ingatannya. Hingga sekarang, Kathleen Adams tetap menjadikan Toraja sebagai pusat penelitian ilmiahnya, yang ia katakan sebagai “pay back” alias “balas budi.”
Belum lama ini, Adams, bersama koleganya Dr. Kathleen Gillogly, antropolog dari Universitas Wisconsin di Parkside, Kenosha, Wisconsin, menjadi penyunting untuk buku bunga rampai “bestseller” berjudul: “Everyday Life in Southeast Asia,” yang diterbitkan oleh Indiana University Press.
Penelitiannya kini berpusat pada pemasaran karya-karya seni Indonesia dalam masa ketidakmenentuan wisata dewasa ini. Adams hidup di kota Chicago bersama suaminya Dr. Peter Sanchez, seorang ahli ilmu politik Amerika Latin, dan seorang puteri mereka.
Mengenai kebudayaan rakyat Toraja yang ditekuninya, dia mengemukakan: “Saya telah tertarik pada suku Toraja sejak awal-awal tahun 1980-an, dan pertama kali mengunjungi daerah itu pada tahun 1993, ketika melewati kuliah musim panas untuk tingkat pasca sarjana, belajar bahasa Indonesia tingkat lanjut. Saat ini saya turut terlibat dalam persiapan nominasi Toraja sebagai Warisan Budaya Dunia UNESCO.”
Suku Toraja berpenduduk sekitar satu juta orang, dengan 500 ribu orang masih hidup di dataran tinggi Toraja. Termasyhur karena upacara penguburan jenazah yang unik, yang diselipkan di rongga-rongga batu gunung, rumah-rumah tradisional bertanduk, yang disebut tongkonan, pahatan patung kayu dan tenun rakyat berwarna-warni cerah, Toraja telah lama menjadi tujuan wisata populer.
Namun, di tengah-tengah persaingan wisata dunia yang ditingkahi resesi ekonomi yang panjang, apakah tak ada tantangan yang dihadapi Tana Toraja?
Adams mengatakan: “Salah satu tantangan yang dihadapi Toraja berkenaan dengan mempertahankan posisi pada peta wisata adalah bahwa masih relatif sulit untuk pergi ke sana. Harus terbang ke Bali dahulu, dan terbang ke Makassar, kemudian naik bis selama delapan jam ke dataran tinggi Toraja.”
Ditanyakan mengenai pengalaman hidupnya selama dua tahun di Tana Toraja, adakah tantangan berat yang ia rasakan dalam menyesuaikan diri di tengah-tengah masyarakat, Adams menjawab: “Mungkin, isu yang lebih besar bagi saya dalam hal menyesuaikan diri hidup di daerah perdesaan di Indonesia, adalah lebih samar; berkenaan dengan kebutuhan waktu untuk bersendiri. Orang Amerika terkenal sangat membutuhkan waktu ‘untuk bersendiri.’ Gagasan semacam ini agak asing bagi orang Toraja."
Kenangan manis hidup dengan keluarga angkatnya di Tana Toraja 20 tahun lalu terpateri kuat dalam ingatannya. Hingga sekarang, Kathleen Adams tetap menjadikan Toraja sebagai pusat penelitian ilmiahnya, yang ia katakan sebagai “pay back” alias “balas budi.”
Belum lama ini, Adams, bersama koleganya Dr. Kathleen Gillogly, antropolog dari Universitas Wisconsin di Parkside, Kenosha, Wisconsin, menjadi penyunting untuk buku bunga rampai “bestseller” berjudul: “Everyday Life in Southeast Asia,” yang diterbitkan oleh Indiana University Press.
Penelitiannya kini berpusat pada pemasaran karya-karya seni Indonesia dalam masa ketidakmenentuan wisata dewasa ini. Adams hidup di kota Chicago bersama suaminya Dr. Peter Sanchez, seorang ahli ilmu politik Amerika Latin, dan seorang puteri mereka.