Sudah menjadi pengetahuan umum, sunat perempuan kerap menimbulkan persoalan medis.
Dipraktikkan di 30 negara di Afrika, Timur Tengah dan Asia, termasuk Indonesia, sunat perempuan pada intinya adalah pembuangan sebagian atau seluruh bagian luar klitoris yang terlihat. Secara historis atau agama, praktik ini ditujukan sebagai bagian dari usaha menyempurnakan “keperempuanan” seseorang.
Banyak perempuan tidak menghadapi masalah setelah menjalani sunat yang yang dalam istilah medis sering disebut female genital mutilation ini. Namun tidak sedikit pula yang meninggal, dan, atau menghadapi sejumlah konsekuensi medis seumur hidup, termasuk infeksi saluran kemih dan vagina, masalah seksual, komplikasi saat melahirkan, dan penderitaan psikologis.
Enam puluh perempuan Kenya yang baru-baru ini menjalani operasi pemulihan klitoris (clitoralplasty) termasuk di antara mereka yang mengalami dampak negatif sunat perempuan. Mereka menerima tawaran LSM Clitoraid untuk menjalani operasi gratis memulihkan “keperempuanan” mereka dengan bantuan ahli bedah AS Dr. Marci Bowers.
"Klitoris panjangnya kurang lebih 11 sentimeter, dan sebagian besar tersembuyi di dalam vagina. Dalam sunat perempuan yang dipotong adalah ujungnya. Jadi, ini seperti memotong puncak gunung es, di mana di bawah permukaannya ada gunung es. Yang kami lakukan dalam operasi kami adalah membawa gunung es atau klitoris ke permukaan sehingga vagina dapat menjalankan fungsi dengan semestinya.”
Bowers membantah bahwa operasi rekonstruksi klitoris semata untuk memulihkan kemampuan perempuan dalam menikmati sensasi saat berhubungan intim.
Your browser doesn’t support HTML5
"Maksud saya, ini mengubah hidup mereka dan itulah pernyataan yang kami dengar berulang kali. Mereka bisa merasakan keperempuanan mereka kembali. Sekali lagi, ini bahkan bukan motivasi seksual dalam banyak kasus. Mereka selama ini merasa tidak seperti perempuan yang utuh. Mereka ingin keperempuanan mereka kembali,” jelasnya.
Ini bukan kali pertama Bowers menawarkan operasi pemulihan gratis. Ia pernah mengoperasi ratusan perempuan Kenya selama dua kunjungan sebelumnya pada 2017 dan 2019.
Joycelyn Mwangi adalah seorang aktivis Kenya yang bekerja pada program komunitas yang ditujukan untuk mencegah sunat perempuan melalui pendidikan. Ia mengatakan operasi itu bukan solusi untuk menghentikan praktik sunat, tapi dapat membantu meringankan penderitaan para penyintasnya.
“Pemahaman saya tentang clitoralplasty adalah ini bukan solusi untuk sunat perempuan. Namun ini melengkapi usaha untuk menghentikan sunat perempuan. Operasi ini bisa meringankan perempuan yang kesulitan buang air kecil, tidak bisa haid, atau bahkan membantu mereka menikmati hak-hak perkawinannya. Setidaknya, ini membantu mereka hidup normal," komentarnya.
Kenya sudah selama sepuluh tahun melarang sunat perempuan. Praktik ini bisa dikenai hukuman tiga tahun penjara dan denda $2.000, tetapi praktik tersebut terus berlanjut karena beberapa komunitas menganggapnya perlu untuk penerimaan sosial dan meningkatkan prospek pernikahan anak perempuan mereka. Menurut PBB, satu dari lima perempuan Kenya berusia 15 dan 49 tahun telah menjalani sunat perempuan. [ab/uh]