Pejabat tertinggi urusan HAM PBB menyatakan kegusaran atas kekerasan dan kematian orang-orang yang menentang rancangan konstitusi baru Mesir.
JENEWA —
Komisaris Tinggi PBB untuk HAM Navi Pillay mempertanyakan ketergesa-gesaan majelis yang didominasi unsur Islamis Mesir untuk menerima naskah final konstitusi untuk ditindaklanjuti oleh presiden. Ia mengatakan tindakan tersebut dan berbagai keadaan seputar hal itu membuat kredibilitas proses itu meragukan serta ikut menjadi penyebab kekacauan di ibukota Mesir, Kairo, dan kota-kota lainnya.
Imbauan Presiden Mesir Mohamed Morsi untuk mengadakan referendum konstitusi pada tanggal 15 Desember telah memicu protes paling keras sejak dia memangku jabatan bulan Juni.
Dalam dua hari ini, sedikitnya tujuh orang tewas dan hampir 700 lainnya cedera dalam bentrokan antara pendukung dan penentang presiden. Berbicara lewat siaran televisi nasional hari Kamis, Morsi mengatakan tidak akan mentolerir pembunuhan atau sabotase.
Para demonstran menuntut agar referendum dibatalkan. Mereka mengatakan konstitusi itu tidak cukup mewakili mereka atau melindungi hak-hak mereka. Komisaris Tinggi Pillay mengatakan ia ikut merasakan banyak keprihatinan itu.
Juru bicaranya, Rupert Colville, mengatakan Pillay yakin kekacauan itu berkembang di Mesir karena sebagian besar masyarakat Mesir tidak dimasukkan dalam proses penyusunan dan terlalu banyak keluhan mereka tidak terwakili dalam rancangan konstitusi baru itu.
"Rancangan konstitusi itu memberikan jaminan bagi sebagian HAM. Tetapi ada juga penghilangan beberapa bagian yang sangat mengkhawatirkan dan ketidakjelasan, dan dalam beberapa hal, perlindungan terhadap HAM dalam rancangan konstitusi baru itu justru lebih lemah daripada dalam UUD 1971 yang akan digantikannya. Komisaris Tinggi sangat prihatin, misalnya, dalam draft itu tidak ada referensi mengenai perjanjian-perjanjian HAM internasional yang telah diratifikasi Mesir dan mengikat negara itu untuk mematuhinya. Sebaliknya, konstitusi 1971 menetapkan keabsahan hukum perjanjian-perjanjian itu," paparnya.
Pillay mencatat banyak ketentuan dalam rancangan konstitusi itu bertentangan dengan norma-norma HAM internasional. Ia mengatakan pasal-pasalnya seharusnya dinyatakan dengan jelas sehingga hukum nasional tidak mengurangi derajat atau bertentangan dengan hukum internasional.
Misalnya, ia mencatat rancangan konstitusi itu menjamin kesetaraan di hadapan hukum, tetapi tidak secara eksplisit melarang diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, agama dan asal-usul seseorang.
Setelah Presiden Mohamed Morsi memberi dirinya wewenang yang hampir absolut 22 November lalu, ia juga menghilangkan wewenang hakim untuk membuat keputusan hukum. Hal itu mendorong para hakim untuk mogok dan menolak mengawasi referendum konstitusi.
Imbauan Presiden Mesir Mohamed Morsi untuk mengadakan referendum konstitusi pada tanggal 15 Desember telah memicu protes paling keras sejak dia memangku jabatan bulan Juni.
Dalam dua hari ini, sedikitnya tujuh orang tewas dan hampir 700 lainnya cedera dalam bentrokan antara pendukung dan penentang presiden. Berbicara lewat siaran televisi nasional hari Kamis, Morsi mengatakan tidak akan mentolerir pembunuhan atau sabotase.
Para demonstran menuntut agar referendum dibatalkan. Mereka mengatakan konstitusi itu tidak cukup mewakili mereka atau melindungi hak-hak mereka. Komisaris Tinggi Pillay mengatakan ia ikut merasakan banyak keprihatinan itu.
Juru bicaranya, Rupert Colville, mengatakan Pillay yakin kekacauan itu berkembang di Mesir karena sebagian besar masyarakat Mesir tidak dimasukkan dalam proses penyusunan dan terlalu banyak keluhan mereka tidak terwakili dalam rancangan konstitusi baru itu.
"Rancangan konstitusi itu memberikan jaminan bagi sebagian HAM. Tetapi ada juga penghilangan beberapa bagian yang sangat mengkhawatirkan dan ketidakjelasan, dan dalam beberapa hal, perlindungan terhadap HAM dalam rancangan konstitusi baru itu justru lebih lemah daripada dalam UUD 1971 yang akan digantikannya. Komisaris Tinggi sangat prihatin, misalnya, dalam draft itu tidak ada referensi mengenai perjanjian-perjanjian HAM internasional yang telah diratifikasi Mesir dan mengikat negara itu untuk mematuhinya. Sebaliknya, konstitusi 1971 menetapkan keabsahan hukum perjanjian-perjanjian itu," paparnya.
Pillay mencatat banyak ketentuan dalam rancangan konstitusi itu bertentangan dengan norma-norma HAM internasional. Ia mengatakan pasal-pasalnya seharusnya dinyatakan dengan jelas sehingga hukum nasional tidak mengurangi derajat atau bertentangan dengan hukum internasional.
Misalnya, ia mencatat rancangan konstitusi itu menjamin kesetaraan di hadapan hukum, tetapi tidak secara eksplisit melarang diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, agama dan asal-usul seseorang.
Setelah Presiden Mohamed Morsi memberi dirinya wewenang yang hampir absolut 22 November lalu, ia juga menghilangkan wewenang hakim untuk membuat keputusan hukum. Hal itu mendorong para hakim untuk mogok dan menolak mengawasi referendum konstitusi.