Kepala Urusan HAM PBB Volker Turk, Senin (4/3) mengatakan China melanggar hak-hak dasar di wilayah Xinjiang dan Tibet dan meminta Beijing untuk mengubah sikapnya.
Turk, yang dikritik karena tidak cukup keras mempersoalkan China atas catatan HAM-nya, juga meminta Beijing untuk membebaskan para pembela HAM yang ditangkap karena pelanggaran “yang tidak jelas” yaitu “menimbulkan pertengkaran dan membuat masalah”.
Turk meminta Beijing untuk menerapkan rekomendasi yang dibuat oleh kantornya dan badan-badan HAM lainnya “sehubungan dengan undang-undang, kebijakan dan praktik yang melanggar HAM, termasuk di wilayah Xinjiang dan Tibet,” dalam penjelasan global terbarunya kepada Dewan Urusan HAM PBB.
“Saya terlibat dengan pihak berwenang Hong Kong terkait dengan keprihatinan yang berlanjut mengenai undang-undang keamanan nasional,” tambahnya.
Di wilayah barat laut di Xinjiang, China dituduh memenjarakan lebih dari satu juta warga Uighur dan kelompok-kelompok minoritas Muslim lainnya. Beijing dengan keras membantah tuduhan tersebut.
Sebuah laporan yang dibuat oleh pendahulu Turk, Michelle Bachelet yang dirilis hanya beberapa menit sebelum masa jabatannya berakhir pada tahun 2022, menyebutkan kemungkinan “kejahatan terhadap kemanusiaan” di Xinjiang. Laporan tersebut ditolak mentah-mentah oleh China.
Laporan tersebut merinci bukti-bukti yang “kredibel” mengenai penyiksaan, perlakuan medis paksa dan kekerasan seksual atau berbasis gender serta kerja paksa.
Namun mereka tidak menyebut tindakan Beijing di Xinjiang sebagai “genosida”, seperti yang dinyatakan Amerika Serikat dan beberapa anggota parlemen Barat.
Beijing membantah tuduhan pelecehan dan menegaskan tindakannya di Xinjiang telah membantu memerangi ekstremisme dan meningkatkan pembangunan.
Turk mengatakan kantornya sedang melakukan pembicaraan dengan China mengenai kebijakan antiteror, kesetaraan gender, perlindungan minoritas, ruang sipil, dan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. “Seiring dengan langkah kita ke depan, penting agar dialog ini membuahkan hasil yang nyata,” katanya.
Turk mengakui kemajuan China dalam pembangunan dan pengentasan kemiskinan, namun mendesak agar kebijakan tersebut dibarengi dengan reformasi "untuk menyelaraskan undang-undang dan kebijakan yang relevan dengan standar HAM internasional".
“Saya secara khusus mendorong revisi Pasal 293 Undang-undang Pidananya soal pelanggaran tidak jelas mengenai 'menimbulkan pertengkaran dan membuat onar', dan saya mendesak pembebasan para pembela HAM, pengacara, dan lainnya yang ditahan berdasarkan undang-undang tersebut,” katanya.
Pada bulan Januari, China menerima kritik pedas dari negara-negara Barat selama evaluasi catatan HAM-nya di PBB, namun negara-negara lain memuji Beijing, termasuk Rusia dan Iran.
China menghadapi Tinjauan Berkala Universal (Universal Periodic Review) secara rutin, suatu pemeriksaan yang harus dilakukan oleh 193 negara anggota PBB setiap empat hingga lima tahun untuk menilai catatan HAM mereka.
China bersikukuh bahwa pihaknya telah mengambil langkah besar untuk memperbaiki taraf hidup masyarakatnya, mengakhiri kemiskinan dan melindungi HAM, dan mengecam para pengkritik karena “mempolitisasi dan mempersenjatai” permasalahan HAM untuk mencampuri urusan dalam negeri China.
Namun negara-negara Barat menyoroti tindakan keras terhadap kebebasan sipil dan undang-undang keamanan nasional yang diberlakukan di Hong Kong pada tahun 2020 untuk meredam perbedaan pendapat setelah protes prodemokrasi.
Negara-negara lain menyuarakan kekhawatiran atas dugaan upaya menghapus identitas budaya dan agama di Tibet, dan penindasan di Xinjiang. [ab/uh]