Jumlah pasien COVID-19 yang meninggal dunia setiap hari terus bertambah. Ada sejumlah orang yang mendedikasikan diri untuk memberikan penghormatan terakhir yang layak bagi para korban virus corona tersebut.
Hari Minggu (11/7) Daerah Istimewa Yogyakarta mencatat dua rekor sekaligus, yaitu rekor jumlah kasus positif dalam sehari dan jumlah kasus meninggal. Menurut Kepala Bagian Humas Pemda DIY, Ditya Nanaryo Aji, hari ini, Minggu (11/7), ada penambahan 1.895 kasus, sehingga total kasus terkonfirmasi menjadi 76.263.
“Sedangkan penambahan kasus meninggal sebanyak 50 kasus, sehingga total kasus meninggal menjadi 1.979 kasus,” paparnya.
Tingginya angka kematian pasien membawa sejumlah konsekuensi. Antrean pemulasaran di rumah sakit begitu panjang, sehingga keluarga pasien harus menunggu lama untuk mengubur jenazah. Tidak hanya itu, peti mati juga menjadi barang yang sulit dicari karena produksi tidak bisa mengimbangi kenaikan kebutuhan.
Tren lain yang cukup mengkhawatirkan adalah naiknya jumlah pasien yang meninggal ketika menjalani isolasi mandiri (isoman) di rumah. Data Tim Reaksi Cepat (TRC) BPBD DIY mencatat dalam sebulan terakhir setidaknya ada 106 pasien isoman meninggal di rumah. Tanggung jawab pemulasaran jenazah beralih dari rumah sakit ke Satgas di tingkat desa.
Ada dua gerakan yang kini berkembang di Yogyakarta dalam menyikapi kondisi ini. Sejumlah pihak bekerja sama membentuk tim pemulasaran jenazah pasien COVID-19, dan sebagian yang lain bahu membahu menyediakan peti mati bagi korban.
Sukarelawan Pemulasaran Jenazah
Untungnya, ada sejumlah wilayah yang telah bersiap menghadapi perubahan situasi. Kepanewonan (Kecamatan -red) Banguntapan, di Kabupaten Bantul, Yogyakarta misalnya, telah memperkirakan apa yang terjadi saat ini sejak tiga bulan yang lalu. Penewu (Camat -red) Banguntapan, Fauzan Mu'arifin kepada VOA mengatakan lewat persiapan sejak lama itu kini mereka telah memiliki tim pemulasaran jenazah, baik laki-laki maupun perempuan.
“Sekitar tiga bulan yang lalu ada fenomena pasien meninggal di rumah. Kemudian saya mengupayakan pelatihan rukti jenazah COVID, dan kemudian terbentuk tim rukti jenazah COVID. Berkembangnya waktu, ada jenazah perempuan, kemudian kita kembangkan tim rukti yang beranggotakan perempuan,” ujar Fauzan.
Kepanewonan dengan delapan desa itu kini memiliki sepuluh orang relawan pemulasaran jenazah laki-laki dan empat relawan perempuan. Mereka melayani jenazah COVID-19 secara bergerak, tidak hanya berdasar lokasi tempat tinggal. Di bawah koordinasi Fauzan, tim ini juga bekerja bersama dengan tim relawan di bagian lain, seperti ambulans, evakuasi pasien dan pemakaman.
“Hari ini, Minggu (11/7) kami memakamkan sampai enam jenazah. Dari jumlah itu, yang empat warga satu kelurahan. Cukup kelelahan, sehingga kita butuh bantuan relawan dari kelurahan lain,” kata Fauzan.
Idealnya, setiap kelurahan saat ini memiliki satu tim pemulasaran jenazah. Namun dibutuhkan jiwa sosial yang tinggi dan keberanian untuk mengurus jenazah COVID-19. Fauzan mengatakan memandikan jenazah adalah tradisi yang umum dilakukan oleh warga, baik laki-laki maupun perempuan. Namun, karena ini terkait COVID-19, maka dibutuhkan mental yang lebih kuat. Tidak mengherankan, lanjutnya, lebih sulit mencari relawan pemulasaran jenazah perempuan dibanding laki-laki.
“Kita sudah ada pelatihan tiga kali. Kita juga sudah membuat buku petunjuk pelaksanaan pemulasaran jenasah,” tambahnya.
Memilih Sediakan Peti Mati
Kepedulian bagi jenazah juga datang dari kelompok Alumni Gelanggang Mahasiswa, Universitas Gadjah Mada (UGM). Mereka adalah para alumni UGM, yang ketika menjalani kuliah aktif dalam kegiatan kemahasiswaan. Organisasi mahasiswa ini terkumpul dalam satu gedung, yang disebut sebagai Gelanggang Mahasiswa.
Susetyo Hario Putero, salah satu pegiat di komunitas ini kepada VOA mengatakan mereka secara khusus memproduksi peti mati yang disumbangkan bagi jenazah COVID-19. Idenya berawal ketika salah satu dari mereka yang aktif dalam pengurusan jenazah COVID-19, berdiskusi dengan tenaga kesehatan di bagian forensik rumah sakit. Ketika itu, keluarga pasien harus menunggu lama untuk mengambil jenazah, karena ternyata rumah sakit kesulitan memperoleh peti jenazah.
“Sekarang ini, peti mati memang relatif mahal dan itupun sulit untuk mendapatkannya,” ujar Susetyo.
Awalnya, rumah sakit merasa cukup apabila sumbangan diberikan dalam bentuk kantong jenazah, jika peti sulit didapatkan. Namun, dalam perbincangan lebih dalam, anggota Alumni Gelanggang Mahasiswa UGM merasa peti jenazah lebih manusiawi, dibanding sekedar kantong jenazah. Karena itulah, disepakati kemudian komunitas ini memproduksi peti mati.
Susetyo mengakui, kebutuhan di setiap rumah sakit saat ini cukup tinggi.
“Kemarin, waktu kami menyerahkan ke RSUP dr Sardjito, itu rata-rata kebutuhannya kira-kira 30-an peti sehari,” tambah Susetyo.
Pendanaan produksi peti mati datang dari berbagai pihak. Salah satunya dari Keluarga Alumni Teknik UGM (Katgama). Susetyo yang menjadi pengurus organisasi ini, mendiskusikan kebutuhan peti mati di rumah sakit, dan kemudian disepakati sumbangan diberikan dalam program ini. Kepedulian pihak-pihak lain terus dibutuhkan karena biaya bahan baku peti mati yang relatif tinggi, sementara kebutuhannya juga mendesak.
Komunitas ini baru dapat menjalin kerja sama dengan dua rumah sakit, yaitu RSUP dr Sardjito dan Rumah Sakit Akademik (RSA) UGM. Karena mendasarkan kegiatannya pada kerelawanan berbagai pihak, menurut Susetyo target produksi peti mati pun menyesuaikan. Pihaknya hanya berkeyakinan bahwa keluarga pasien COVID-19 sudah selayaknya dibantu dalam menyediakan peti mati karena sulitnya ketersediaan dan harganya relatif mahal.
Your browser doesn’t support HTML5
Susetyo tidak berharap akan memenuhi kebutuhan peti mati untuk seluruh rumah sakit yang ada. Dia juga meminta model kerelawanan penyediaan peti mati ini ditiru oleh komunitas lain di kota-kota yang berbeda. Produksi peti mati dapat dilakukan di perajin setempat sehingga mempermudah distribusi ke rumah sakit yang membutuhkan.
Anggota komunitas Alumni Gelanggang Mahasiswa UGM memproduksi sendiri peti-peti tersebut. Mereka yang memiliki waktu luang, bisa datang ke bengkel kerja di salah satu rumah anggota komunitas. [ns/ah]