Keputusan Penarikan Pasukan AS dari Afghanistan Sulitkan Perundingan Damai

Dalam foto yang dirilis oleh Operation Resolute Support, tentara AS bersama Gugus Tugas Besi mengarahkan meriam M-777 howitzer agar bisa ditarik ke posisi di Lapangan Udara Bost, Afghanistan, 10 Juni 2017.

Para mantan diplomat senior yang telah mengarahkan kebijakan AS terhadap Afghanistan mengatakan keputusan Presiden AS Donald Trump untuk menarik ribuan tentara dari negara itu menyulitkan upaya Duta Besar AS Zalmay Khalilzad untuk menengahi perjanjian gencatan senjata dengan Taliban.

Trump mengumumkan dia mempertimbangkan penarikan sekitar separuh dari 14 ribu pasukan AS dari Afghanistan tidak lama setelah dia mengatakan pasukan AS akan mundur dari Suriah. Kedua keputusan itu mengejutkan banyak pihak, termasuk sebagian pejabat yang ditugaskan untuk mengawasi kebijakan luar negeri AS.

Seorang mantan diplomat AS, yang meminta identitasnya dirahasiakan, mengatakan kepada VOA bahwa Khalilzad perlu fleksibilitas terkait penarikan pasukan AS dari Afghanistan karena itu sejak lama merupakan permintaan Taliban.

"Yang problematik adalah langkah apapun yang mengindikasikan penarikan harus berdasarkan 'quid pro quo' dan terikat pada perjanjian gencatan senjata oleh Taliban, tapi kenyataannya tidak demikian," kata mantan pejabat AS itu.

"Dan itu bisa berdampak pada militer serta kebijakan, belum lagi lingkaran pemerintah Afghanistan tidak menyukai situasi ini sedikit pun karena mereka merasa telah dijual oleh Dubes Khalilzad."

Duta Besar Richard Boucher, seorang mantan wakil menteri luar negeri urusan Asia Selatan dan Tengah, mengatakan kepada VOA keputusan untuk menarik pasukan secara bertahap dari Afghanistan adalah keputusan politik dan bukan strategis.

Mantan Duta Besar AS Robin Raphel, sepakat, dan menambahkan bahwa pengumuman itu menambah tekanan pada kedutaan untuk menawarkan perjanjian yang tidak merugikan reputasi AS sebagai sekutu yang dapat diandalkan di kawasan itu.

"Jika tidak, ini akan mengirimkan pesan yang salah pada Taliban dan negara-negara tetangga seperti Pakistan, yang selalu meragukan keseriusan AS untuk tetap di Afghanistan," kata Raphel. [vm]