Begitu Donald Trump terpilih setahun lalu, pertanyaan-pertanyaan besar mengenai seperti apa Amerika ke depan dan gaya kepemimpinannya mengemuka. Seiring waktu berlalu, satu persatu pertanyaan itu menemukan jawabannya. Dalam diskusi di Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada, Kamis (14/12) siang, Dr Nur Rachmat Yuliantoro merunut sejumlah jawaban itu.
“Amerika keluar dari kesepakatan Paris, kemudian minta kesepakatan nuklir dengan Iran dibatalkan, Amerika akan merenegosiasi NAFTA dengan Kanada dan Meksiko. Amerika juga keluar dari UNESCO bersama Israel. Ini adalah wujud dari politik kekuasaan, wujud dari percaya diri Trump,” kata Rachmat.
Rachmat, Kepala Departemen Ilmu Hubungan Internasional di UGM sekaligus pakar kawasan Amerika Serikat. Berbicara dalam diskusi, dia menguraikan meski belum menemukan bukti yang jelas, n banyak kebijakan Amerika Serikat dipengaruhi Trump sebagai pribadi. Secara tradisi, pemimpin politik di Amerika yang kurang memperoleh dukungan domestik, akan menyatukan warganya melalui isu bersama. Namun dalam kasus Yerusalem, kata Rachmat, keputusan Trump salah dan harus dibatalkan.
“Dengan keputusan ini, saya kemudian membaca bahwa Amerika mungkin sudah tidak tahu lagi bagaimana caranya mengatasi masalah-masalah di Timur Tengah," kata Nur Rachmat Yuliantoro.
Sehingga alih-alih mencari kebijakan yang konstruktif, yang dilakukan Trump justru membuat kebijakan yang mengarah kepada destruksi yang lebih besar.
Terkait Yerusalem, keputusan Trump ini merupakan strategi keluar dari tekanan domestik sekaligus langkah Trump memenuhi janjinya selama kampanye. Namun, Rachmat menilai, keputusan ini secara efektif telah membuat kawasan Timur Tengah tidak terkontrol.
Dari Makassar, Sulawesi Selatan, pengamat hubungan internasional Universitas Hasanuddin, Patrice Lumumba kepada VOA menyatakan, ia memiliki pertanyaan yang sama. Dia menilai, tidak ada alasan yang kuat bagi Trump ketika tiba-tiba mengangkat masalah Yerusalem ke permukaan.
“Padahal yang selama ini menjadi perhatian Amerika dan dunia itu adalah rivalitas Amerika dengan Korea Utara dalam masalah yang terkait dengan pengembangan nuklir dan uji coba rudal yang dilakukan Korea Utara. Kok tiba-tiba kemudian muncul keputusan soal Yerusalem. Soal wacana pemindahan kedutaan itu sudah lama, itu berjalan begitu saja, dan bahkan di dua periode Presiden Obama pun tidak digubris,” kata Patrice Lumumba.
Your browser doesn’t support HTML5
Bagi Patrice, keputusan Trump bahkan dianggap tidak mewakili Amerika Serikat. Dia yakin, Trump sebagai pribadi lebih berpengaruh. Sehingga meskipun dikelilingi banyak penasehat terkait keamanan dan politik global, keputusan ini lebih menyerupai kehendak Trump sendiri.
Patrice juga mengapresiasi langkah tegas Presiden Jokowi yang langsung membuat pernyataan jelas untuk memastikan posisi Indonesia. Bahkan, permintaan penjelasan langsung dari Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta, adalah langkah berani yang jarang dilakukan presiden sebelumnya. Patrice juga menunggu peran besar Indonesia dalam KTT luar biasa Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Turki.
Posisi Arab Saudi
Dalam perkembangannya posisi Arab Saudi sebagai salah satu negara berpengaruh dalam komunitas Islam juga menarik perhatian. Pengamat Timur Tengah, Dr Siti Mutiah Setiawati, memandang Arab Saudi sebenarnya tidak akan mudah bersikap.
Sikap politik Arab Saudi terhadap Israel selalu dipengaruhi pemimpin yang berkuasa disana. Negara itu pernah sangat dekat dengan Palestina dan mendukung perjuangan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Raja Faisal tahun 1973 pernah menerapkan embargo minyak untuk menolak keberadaan Israel. Namun, kebijakan itu tidak dapat bertahan lama.
“Raja Faisal sendiri kemudian dibunuh oleh Raja Khalid. Kemudian di bawah Raja Fadh, Arab Saudi juga tidak berani mendukung Israel. Justru dia mendukung PLO. Tetapi kemudian PLO justru mendukung Irak dalam Perang Teluk II. Padahal ketika itu, Arab Saudi dekat dengan Amerika Serikat, sehingga kemudian dukungan keuangan ke Palestina dihentikan,” kata Siti Mutiah.
Terkait situasi terakhir, kata Siti Mutiah, posisi Arab Saudi akan sangat dipengaruhi oleh pilihan politik putra mahkota Mumammad bin Salman. Penangkapan sejumlah pangeran yang terjadi sebelum ini, nampaknya adalah konsolidasi kekuatan internal. Bukan tidak mungkin, semua ini berkaitan dengan sikap Arab Saudi ke depan, terkait hubungannya dengan Israel. Siti Mutiah bahkan menduga, Arab Saudi akan membuka kemungkinan hubungan diplomatik dengan Israel, mengikuti sejumlah negara lain dari kawasan itu.
“Arab Saudi memang sejak 1990 tidak lagi mendukung perjuangan Palestina secara finansial, tetapi juga tidak mendukung eksistensi Israel. Ke depan ini, nampaknya ada kecenderungan untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel, mengikuti Mesir dan Jordan. Alasannya, bahkan Turki pun sudah punya hubungan diplomatik sudah lama dengan Israel. Jadi, Arab Saudi di bawah putra mahkota Pangeran Muhammad bin Salman ini akan cenderung mendukung Israel, mungkin kalau belum bisa terbuka yang pelan-pelan,” imbuhnya.
Namun, sikap Arab Saudi terkait kebijakan Trump soal Yerusalem ini kemungkinan besar akan mendapat tantangan dari kelompok Wahabi disana. Kelompok ini, kata Situ Mutiah, memiliki basis dukungan cukup kuat di dalam negeri, dan sering mengingatkan penguasa Arab Saudi dengan cara yang keras, jika kebijakannya dinilai terlalu mendukung Amerika Serikat. [ns/ab]