Serikat Nelayan Indonesia (SNI) dengan tegas menolak keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) 26/2023 soal Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Lewat PP tersebut, komoditas pasir laut diperbolehkan untuk ditambang dan diekspor. Padahal aktivitas tersebut sangat berdampak langsung terhadap nelayan.
Sekjen SNI Budi Laksana melihat ada lebih banyak kepentingan bisnis dalam keputusan terbaru ini. Ekspor pasir laut dianggap menjadi jalan keluar untuk menambah pendapatan negara, tetapi di sisi berlawanan justru sangat merugikan pihak nelayan.
“Bagi nelayan, habitat yang mereka cari pasti akan hilang. Nah yang kedua, banyak konflik nelayan dengan para penambang pasir laut. Akhir-akhir ini terjadi, misalnya di Lampung. Banyak nelayan rajungan yang berkonflik, lalu dia pindah mencari rajungannya,” kata Budi kepada VOA, Senin (5/6).
Budi juga mengingatkan, desa-desa nelayan di pesisir akan menerima risiko cukup besar dari aktivitas tambang pasir laut, bahkan hingga kemungkinan hilangnya kawasan pesisir.
Penambangan pasir laut secara liar selama ini sudah terjadi, dan nelayan Indonesia menyaksikan praktik itu. SNI khawatir, pulau-pulau kecil, yang juga menjadi tempat tinggal para nelayan akan semakin terancam. Apalagi kehidupan mereka sangat bergantung pada ekosistem pesisir dengan wilayah tangkap yang terbatas. Aktivitas tambang pasir laut, biasanya berada di kawasan tangkap nelayan itu.
“Dampaknya tidak hanya pada nelayan, tapi keluarga nelayan. Semuanya itu terdampak. Resikonya adalah menghilangkan pekerjaan. Nelayan itu sudah susah mencari ikan, ditambah masalah lagi,” ujar Budi.
SNI juga tidak sepenuhnya percaya, alasan sedimentasi di laut yang dipakai pemerintah untuk melegalkan praktik tambang pasir laut.
Pemerintah Klaim Butuh Penataan
Polemik ekspor pasir laut ini memaksa Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mempersingkat kunjungan kerjanya ke China pada akhir Mei lalu. Begitu kembali ke Tanah Air, Wahyu langsung berbicara kepada media di Jakarta untuk meluruskan sejumlah persoalan.
“Salah satu hal yang jadi penting, bahwa kebutuhan akan reklamasi di dalam negeri itu begitu besar. Kalau ini kita diamkan, kita tidak atur dengan baik, maka bisa jadi pulau-pulau itu akan diambil untuk digunakan untuk reklamasi. Atau penyedotan yang di dasar laut, diambil dan berakibat pada kerusakan lingkungan. Ini yang harus kita jaga dan kita hadapi,” kata Wahyu.
Praktik penambangan pasir laut untuk kebutuhan reklamasi yang tidak diatur itu lah, menurut Wahyu, yang menjadi salah satu dasar terbitnya PP 26/2023. Dia menyebut, penambangan pasir yang diperbolehkan untuk reklamasi harus menggunakan pasir hasil sedimentasi. Wahyu menyebut, negara ini memiliki 23 miliar meter kubik pasir hasil sedimentasi sebagai konsekuensi posisi Indonesia dalam pertemuan arus laut.
Dia menjamin, praktik tambang pasir laut akan diawasi dengan melibatkan banyak pihak mulau dari tim Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, tim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tim Kementerian Kelautan dan Perikanan, para pakar perguruan tinggi, bahkan organisasi non-pemerintah.
Wahyu juga mengklaim bahwa pihaknya sudah mencegah pemanfaatan pasir laut yang tidak sesuai aturan selama ini. Selain itu, penyedotan pasir di Pulau Rupat juga dia hentikan termasuk proyek reklamasi di Kendari yang tidak memiliki ijin cukup.
BACA JUGA: Timah Memakmurkan dan Menghancurkan Bangka-Belitung“Di Surabaya, mau reklamasi seribu hektare belum saya izinkan. Saya bilang, syaratnya ini boleh direklamasi tapi harus dari sedimentasi,” kata Wahyu.
Tindakan serupa juga diterapkan di berbagai proyek lain.
“Kita buat peraturan pemerintahnya, tujuannya adalah untuk memenuhi reklamasi di dalam negeri. Bahwasannya kemudian ada sisa, ada yang pengen, misalnya membawa keluar, silakan saja. Kalau tim kajian mengatakan bahwa sedimentasi ini boleh, ya silakan,” tambah Wahyu sambil memberi catatan, bahwa penentu akhir tetap tim penilai dari berbagai kementerian dan lembaga tadi.
Your browser doesn’t support HTML5
KKP diklaim Wahyu juga sedang membangun aplikasi ocean accounting. Melalui aplikasi ini, setiap permintaan reklamasi akan bisa dihitung manfaat ekonomi dibanding dampak ekologi. Kementerian ini juga membangun pusat komando untuk memantau kerusakan terumbu karang, kerusakan pesisir, dan bahkan pulau-pulau yang hilang akibat tambang pasir liar.
Tidak Ada Alasan Ekologis
Penolakan yang sama disampaikan Afdillah, juru kampanye laut Greenpeace Indonesia. Organisasi lingkungan ini menilai PP 26/2023 menjadi turunan dari undang-undang yang sudah disahkan, seperti Undang-Undang Mineral dan Batubara. Greenpeace sendiri sejak awal menolak UU tersebut, yang menetapkan wilayah laut sebagai wilayah tambang.
“Kami menilai ini adalah bentuk greenwashing dari pemerintah. Jadi tidak ada landasan ekologi yang masuk akal di dalam PP tersebut, yang menjadikan alasan urgent, perlu ada pengelolaan pasir sedimentasi,” kata Afdillah dalam pernyataan resmi secara daring.
Indonesia dinilai tidak memiliki data valid terkait sedimentasi laut, yang dikhawatirkan akan mengganggu pelayaran kapal. Justru yang ada adalah data terkait seberapa besar pasir laut yang dibutuhkan untuk proyek reklamasi, baik di dalam maupun luar negeri.
“Dan kami yakin, bahwasanya kebijakan atau PP ini adalah untuk merespons itu. Jadi kepentingannya adalah bisnis, bukan kepentingan ekologi,” tambah Afdillah.
Parid Ridwanuddin, manajer kampanye pesisir dan laut, Wahana Lingkungan Hidup Indoensia (Walhi) juga bersuara sama.
“Kami di Walhi, sudah menyatakan sikap sejak awal, bahwa ada yang tidak beres dengan PP ini. Ada yang perlu dikritisi secara substansi maupun katakanlah kepentingan ekonomi politik di balik itu,” ujarnya.
Parid menambahkan, “Saya bersama kawan-kawan direktur walhi seluruh Indonesia di 28 provinsi, sudah menyerukan kepada presiden Indonesia untuk mencabut PP 26/2023 ini, termasuk menghentikan secara permanen seluruh proyek tambang pasir laut di Indonesia, plus seluruh proyek reklamasi yang tengah atau akan diselenggarakan.”
Walhi mencatat, hingga 2040 akan ada kurang lebih 3,5 juta - 4 juta hektare proyek reklamasi di Indonesia. Data ini didasarkan pada data Perda Zonasi di 28 provinsi di Tanah Air.
BACA JUGA: Koalisi Anti Reklamasi Tuntut Pencabutan Izin Reklamasi Tanpa Kecuali“Kalau dikalkulasi, ini artinya butuh material pasir yang sangat banyak,” tambah Parid.
Proyek reklamasi akan dinilai Walhi berdampak pada kehancurkan pesisir dan pulau kecil, serta menghancurkan laut.
Penolakan Politisi Parlemen
Sejumlah politisi turut mengkritisi pembukaan keran ekspor pasir laut ini, seperti anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi PKS, Slamet.
“Presiden Jokowi seharusnya lebih jeli melihat dampak negatif diberlakukannya aturan ekspor pasir itu, sebelum menandatangani draft peraturan pemerintah. Apalagi di akhir-akhir masa kepemimpinan beliau, dipastikan banyak yang mengambil kesempatan dalam situasi ini,” ujarnya.
Slamet juga menyoroti keberadaan PP ini yang potensial bertabrakan dengan aturan lain, seperti UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Ada pula UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Slamet juga menyoroti isi PP 26/2023 yang menurutnya agak ganjil, karena ada penyisipan pasal mengenai pemanfaatan pasir laut. Termasuk di dalamnya, mengatur secara teknis mekanisme jual belinya.
Sementara Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Partai Demokrat Syarief Hasan meyakini keputusan ini akan menimbulkan kerugian besar.
“Penyedotan pasir laut secara besar-besar dan mengekspor pasir laut dapat semakin memperparah dampak perubahan iklim yang sudah di depan mata. Ini sungguh sangat berbahaya,” kata Syarief Hasan.
Dia juga mempertanyakan komitmen Presiden Jokowi.
“Selama ini di berbagai forum internasional, Presiden Jokowi selalu menyuarakan soal perubahan iklim yang menjadi ancaman besar terhadap pembangunan global. Namun, nyatanya Presiden Jokowi meneken peraturan yang memperparah perubahan iklim,” tambahnya. [ns/ah]