Pejabat Kepala Kepolisian Kongres AS pada hari Kamis (25/2) didesak untuk menjelaskan kenapa pihaknya tidak siap menghalau massa pemberontak, termasuk para pendukung supremasi kulit putih, yang mencoba menghentikan proses sertifikasi pilpres bulan lalu, meskipun para pejabat telah lebih dulu memiliki data intelijen menarik.
Associated Press melaporkan, Pejabat Kepala Polisi Yogananda Pittman membantah bahwa aparat gagal menanggapi peringatan kekerasan denga serius sebelum pemberontakan pada 6 Januari. Tiga hari sebelum kejadian, Kepolisian Kongres mendistribusikan dokumen internal yang memperingatkan bahwa para ekstremis bersenjata siap melakukan kekerasan dan dapat menyerang Kongres karena mereka melihatnya sebagai upaya terakhir untuk membalikkan hasil pemilu, kata Pittman.
Akan tetapi, kericuhan itu nyatanya jauh lebih besar dari yang mereka perkirakan, ujarnya.
BACA JUGA: Senator AS Lakukan Sidang Dengar Pendapat tentang Keamanan di Gedung Capitol“Tidak ada data intelijen itu. Meski kami tahu kemungkinan tindak kekerasan oleh ekstremis, tidak ada ancaman kredibel yang mengindikasikan bahwa puluhan ribu orang akan menyerang Kongres AS. Begitu pula intelijen yang diterima dari FBI maupun mitra penegakan hukum lainnya, tidak ada yang menunjukkan ancaman semacam itu,” tambah Pittman.
Kemudian, saat diinterogasi oleh ketua subkomite DPR, Tim Ryan, Pittman mengatakan bahwa meski mungkin ada ribuan orang yang menuju gedung Kongres dari unjuk rasa pro-Trump, sekitar 800 orang yang benar-benar masuk ke dalam gedung.
Pittman mengakui bahwa protokol komando untuk insiden yang dimiliki badan yang dipimpinnya “tidak ditaati,” dan terdapat “kegagalan berlapis.” Aparat keamanan dibiarkan tanpa komunikasi yang baik maupun pengarahan yang kuat dari atasan mereka, ketika gerombolan pemberontak itu menerobos gedung Kongres.
BACA JUGA: McConnell: Trump 'Bertanggung Jawab' Secara Moral dalam Kerusuhan CapitolAnggota panel dari Partai Republik, Jaime Herrera-Beutler dari Washington, mengatakan bahwa pejabat tinggi Kepolisian Kongres “entah gagal menanggapi secara serius intelijen yang diterima atau intelijen itu gagal menjangkau orang-orang yang tepat.”
Dalam kesaksiannya pada sidang di DPR awal pekan ini, pendahulu Pittman mengatakan polisi awalnya memperkirakan kedatangan gerombolan demonstran yang marah, tetapi mengira mereka adalah pendukung Trump yang biasa. Namun Pittman mengatakan intelijen yang dikumpulkan sebelum terjadinya kericuhan mendorong polisi mengambil langkah-langkah khusus, termasuk mempersenjatai pasukan, melakukan pengacakan sinyal atau jamming radio yang digunakan oleh para penerobos dan menerjunkan mata-mata ketika berlangsung unjuk rasa di halaman Ellips, di mana Trump menyuruh pendukungnya pergi ke gedung Kongres untuk “berjuang habis-habisan.”
Pada 3 Januari, kepolisian Kongres membagikan peringatan penilaian intelijen bahwa anggota milisi, supremasi kulit putih dan kelompok ekstremis lainnya kemungkinan besar akan berpartisipasi, bahwa para demonstran akan dipersenjatai dan bahwa ada kemungkinan mereka akan datang ke gedung Kongres untuk mencoba menggangggu proses pengesahan suara pemilu, menurut Pittman.
Tapi di saat bersamaan, ia mengatakan polisi tidak memiliki cukup data intelijen untuk memprediksi terjadinya pemberontakan dengan kekerasan yang mengakibatkan hilangnya lima nyawa, termasuk seorang polisi Kongres. Mereka siap menghadapi masalah, tapi bukan dalam bentuk penyerbuan.
“Meskipun asesmen khusus pada 3 Januari yang dikeluarkan kepolisian menyebutkan kemungkinan besar terjadinya kekerasan di area Kongres oleh kelompok ekstremis, penillaian itu tidak menyebutkan ancaman kredibel khusus yang mengindikasikan bahwa ribuan orang Amerika akan turun ke Gedung Kongres AS untuk menyerang petugas kepolisian dengan tujuan menerobos ke dalam gedung Kongres untuk melukai anggota dan mencegah pengesahan suara elektoral,” kata Pittman.
Steven Sund, mantan kepala pasukan kepolisian yang mengundurkan diri setelah kericuhan, bersaksi pada hari Selasa (23/2) bahwa kajian intelijen memperingatkan anggota supremasi kulit putih, anggota kelompok sayap kanan Proud Boys dan sayap kiri antifa akan berada di antara kerumunan dan mungkin melakukan tindak kekerasan.
“Kami telah merencanakan kemungkinan kekerasan, kemungkinan adanya beberapa orang yang bersenjata, bukannya kemungkinan adanya serangan terkoordinasi bergaya militer yang melibatkan ribuan orang terhadap Kongres,” kata Sund.
FBI juga meneruskan peringatakan kepada pejabat penegak hukum setempat tentang unggahan daring bahwa “perang” akan tiba. Namun Pittman mengatakan bahwa hal itu tidak cukup untuk bisa mempersiapkan diri menghadapi gerombongan yang menyerang Kongres.
Jumlah petugas jauh lebih sedikit dibandingkan ribuan pericuh yang menuju ke gedung Kongres, di mana sebagian di antaranya membawa papan kayu, senjata bius, semprotan anti-beruang hingga pipa logam, sambil mencoba menerobos jendela dan pintu dan menyerbu Kongres. Aparat dipukul dengan pagar barikade, didorong hingga jatuh, terjepit pintu, dipukuli hingga berlumur darah, ketika para anggota Kongres dievakuasi dan staf Kongres bersembunyi di ruang-ruang kantor.
Pittman juga mengatakan departemennya menghadapi “tantangan internal” ketika menanggapi kericuhan tersebut. Aparat tidak mengunci kompleks gedung Kongres dengan baik, meski sudah ada perintah melalui radio untuk melakukannya. Ia juga menyebut petugas tidak mengerti kapan mereka diperkenankan mengerahkan kekuatan yang mematikan, dan bahwa senjata kurang mematikan yang dimiliki petugas tidak bekerja seperti yang mereka harapkan.
Sementara Pittman mengatakan dalam kesaksiannya bahwa para sersan dan letnan seharusnya meneruskan intelijen ke jajaran departemen, banyak polisi mengaku hanya menerima sedikit bahkan tidak ada informasi maupun pelatihan sama sekali terkait apa yang mereka akan hadapi.
Empat polisi mengatakan kepada Associated Press tidak lama setelah kericuhan bahwa mereka tidak mendengar informasi apapun dari Sund, Pittman, maupun komandan mereka lainnya ketika gedung Kongres diterobos. Para polisi dibiarkan dalam banyak kasus untuk berimprovisasi atau mencoba menyelamatkan rekan kerja yang menghadapi bahaya.
Pittman juga menghadapi tekanan internal dari jajarannya, terutama setelah serikat Polisi Kongres baru-baru ini mengeluarkan mosi tidak percaya terhadapnya. Ia juga harus memimpin departmennya sambil mulai menghadapi sejumlah investigasi terkait kegagalan penegak hukum melindungi gedung tersebut.
Kepolisian Kongres sendiri tengah menginvestigasi tindakan 35 polisi pada waktu kericuhan; enam di antaranya diskors dengan bayaran, kata juru bicara kepolisian. [rd/jm]