Para pejabat Prancis mengatakan lebih dari 400 orang ditangkap pada Kamis (29/6) sementara Prancis mengalami kerusuhan malam ketiga berturut-turut. Kerusuhan itu dipicu oleh penembakan fatal dari jarak dekat terhadap seorang remaja keturunan Maroko dan Aljazair oleh polisi saat penyetopan lalu lintas.
Presiden Prancis Emmanuel Macron telah mengatakan bahwa penembakan itu “tidak dapat dibenarkan.” Macron diperkirakan mengadakan rapat darurat kabinet pada Jumat (30/6) untuk membahas krisis, kata kantor berita Prancis AFP mengutip kantor presiden.
Sementara itu penyelidikan sedang berlangsung. Kantor berita AP mengutip para jaksa yang mengatakan polisi yang terlibat dalam penembakan itu telah dikenai dakwaan awal melakukan pembunuhan disengaja. AP mengutip para pengacara polisi yang ditahan itu yang mengatakan bahwa klien mereka terpukul oleh pembunuhan tersebut dan melakukan apa yang ia kira “perlu pada saat itu.”
Empat puluh ribu polisi dikerahkan di berbagai penjuru negara itu hari Kamis dalam upaya memadamkan protes yang mencakup pembakaran mobil dan bangunan umum di berbagai kota termasuk Paris, Marseille, Lyon dan Toulouse.
Jumlah polisi yang dikerahkan pada Kamis itu empat kali lebih banyak daripada yang dikerahkan pada Rabu, kata pihak berwenang.
Namun, peningkatan keamanan tersebut tidak menghentikan para demonstran pada Kamis untuk keluar mengungkapkan kemarahan mereka mengenai penembakan Nahel yang berusia 17. Ia tewas pada Selasa di Nanterre, di pinggiran barat kota Paris.
Insiden maut ini menyebabkan bermunculannya pengaduan mengenai aktivitas polisi yang ditujukan pada warga nonkulit putih.
BACA JUGA: Polisi Tembak Mati Remaja di Paris, Kerusuhan Meluas“Masalahnya adalah bagaimana membuat kita memiliki pasukan kepolisian yang ketika mereka melihat orang-orang kulit hitam dan Arab, tidak cenderung meneriaki mereka, menggunakan kata-kata rasis terhadap mereka dan pada sejumlah kasus, menembak kepala mereka,” kata Dominique Sopo, kepala organisasi SOS Racisme kepada AP.
Dalam demonstrasi di Nanterre, ibu Nahel mengatakan kepada stasiun televisi France 5, “Saya tidak menentang polisi, saya hanya berurusan dengan satu orang, yang membunuh putra saya.”
Tahun lalu tercatat sebagai rekor tertinggi di mana 13 orang yang menolak berhenti ketika distop polisi tewas di tangan aparat tersebut di Prancis. [uh/ab]