“Keluarga berencana sudah waktunya, janganlah diragukan lagi. Keluarga berencana besar maknanya, untuk hari depan nan jaya. Putra-putri yang sehat cerdas dan kuat, 'kan menjadi harapan bangsa. Ayah-ibu bahagia, Rukun raharja, rumah tangga tentram sentosa.”
Tahun ’70-an, lagu itu sangat popuper di Indonesia. Orde Baru di bawah Presiden Soeharto serius menekan ledakan penduduk, melalui program Keluarga Berencana. Komponis Mochtar Embut, diminta menciptakan sebuah lagu untuk mendukung kampanye itu, dan lahirlah Mars KB.
Sayang, masa kejayaan lagu itu kini sudah berlalu. Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo secara terbuka mengakuinya.
“Makanya kami akan mereformasi BKKBN, akan rebranding BKKBN, karena hari ini sudah tidak seperti dulu lagi. Kalau saya teriak ke anak-anak muda: dua anak cukup, dua anak cukup, dia senyum-senyum saja. Makanya, harus memakai jargon-jargon baru, tag line baru. Saya harus punya jingle baru. Kalau Anda saya nyanyikan lagu : Keluarga Berencana sudah waktunya...., untuk anak SMA sekarang itu agak gimana gitu. Mereka agak bingung,” kata Hasto di Yogyakarta pekan lalu.
Hasto Wardoyo baru menjabat sebagai Kepala BKKBN pada 1 Juli 2019 lalu. Salah satu gebrakan yang akan dia lakukan, adalah mempererat kerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama. Di sektor pendidikan, kata Hasto, lembaga yang dipimpinnya akan menyusun modul kesehatan reproduksi. Buku panduan ini akan masuk langsung ke sekolah-sekolah, menggunakan pendekatan baru bagi generasi milenial. Pemahaman kesehatan reproduksi akan didasarkan pada informasi akurat.
Your browser doesn’t support HTML5
“Contohnya, kenapa orang tidak boleh menikah kawin di usia 16-17 tahun? Karena mulut rahimnya masih menghadap keluar, mudah terjadi kanker jika berhubungan seks. Tetapi kalau sudah 20 tahun, mulut rahim itu entropion atau masuk ke dalam, sehingga tidak mudah kena kanker mulut rahim. Itu yang harus dikenalkan di sekolah-sekolah,” kata Hasto.
Desain Ulang Program KB
BKKBN, kata Hasto tidak hanya mengurus program KB. Justru keberhasilan program itu, ditentukan oleh program-program terkait periode sebelum pernikahan dilakukan. Karena itulah, pendekatan terhadap remaja penting dilakukan. Lembaga ini akan menjalin kerja sama lebih erat dengan Kementerian Agama. Mereka ingin persiapan dan konseling pra pernikahan dilakukan dalam periode lebih panjang. Selain soal kesehatan reproduksi, program ini juga bertujuan menurunkan angka perceraian.
Apakah slogan "Dua Anak Cukup" akan dipertahankan? Menurut Hasto, pendekatan yang dilakukan saat ini tidak seperti masa lalu. Satu ukuran tidak akan dipakai untuk semua. Di Jawa dan Bali misalnya, dua anak masih menjadi target, karena tingkat kepadatan penduduk yang tinggi. Angka Kelahiran Total di Jawa Timur dan Bali, misalnya, sudah 2,1 dan harus dipertahankan.
Namun, ada beberapa kondisi yang membuat angka itu tidak mutlak. Di Bali, program dua anak berpotensi menghilangkan nama Nyoman atau Ketut, yang diberikan pada anak ketiga dan keempat. Khusus untuk ini, Hasto memberi catatan tersendiri dan sudah berdiskusi dengan Gubernur Bali. Selain itu, wilayah luar Jawa yang kepadatan penduduknya rendah, ada kebijakan khusus yang akan didiskusikan dengan setiap daerah.
Butuh Pendekatan Berbeda
Relawan di Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) DI Yogyakarta, Mashoeroel Noer Poerdjanadi menilai, model kampanye pemerintah dalam isu ini kurang sesuai dengan sasaran saat ini. Pedoman lama yang dipakai birokrat, yaitu bahwa anak muda tidak paham apa-apa, harus dihilangkan. Kenyataannya, saat ini akses informasi bagi remaja untuk kesehatan reproduksi sangat mudah diperoleh.
“Negara meyakini remaja tidak paham, jadi ketika membuat perencanaan untuk kampanye, remaja tidak dilibatkan. Bisa jadi karena pemerintah sendiri tidak paham atau problem birokrasi,” kata Mashoeroel.
Karena kampanye dari pemerintah tidak efektif, remaja yang memiliki ketertarikan pada isu ini kemudian mencari sumber seadanya yang ada di internet. Salah satu resikonya adalah mereka mengakses situs-situs porno, yang sebenarnya diawali dengan pencarian terkait kesehatan reproduksi. Resiko lain adalah begitu banyaknya mitos berkembang di kalangan remaja, karena mereka justru tidak memperoleh informasi yang benar. Paket-paket informasi yang disediakan pemerintah kurang menarik baik narasi maupun secara visual.
“Mitos berkembang karena ketidaktahuan mereka. Ketidaktahuan remaja tentang pengetahuan reproduksi dan proses-proses informasi yang disampaikannya mungkin tidak sampai ke sana. Materi-materi ini disampaikan oleh negara atau oleh sekolah. Sekolah mungkin juga tidak berani menyampaikan mitos-mitos yang beredar di remaja, yaitu mitos tentang seksualitas,” tambah Mashoeroel.
Mashoeroel mencatat, belum lama ada kasus darah putih yang viral di media sosial. Seorang remaja perempuan melakukan oral seks karena pacarnya mengatakan bahwa dia mengalami sakit dan sel darah putih yang tidak lain adalah sperma itu, harus dikeluarkan dari tubuhnya. Beberapa mitos lain yang dicatat PKBI DIY adalah bahwa hubungan seks ketika pacaran adalah bukti cinta, hubungan seks sekali tidak menyebabkan kehamilan, dan loncat-loncat setelah berhuhungan seks dapat mencegah kehamilan.
“Fasilitas pemerintah, seperti sekolah di sektor pendidikan dan Puskesmas di sektor kesehatan harus bisa menjadi sumber informasi bagi remaja untuk melawan mitos-mitos seputar kesehatan reproduksi semacam itu,” lanjut Mashoeroel.
Pengukuran Resiko Bagi Remaja
Dalam upaya pencegahan dampak buruk ketidakpahaman remaja terkait kesehatan reproduksi, diperlukan panduan pengukuran resiko. Terkait ini, dosen Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Endang Triyanto belum lama mempublikasikan hasil penelitian program doktoralnya. Endang berupaya menyusun instrumen yang membantu sekolah menentukan resiko yang dimiliki siswa terkait kesehatan reproduksi.
Endang melakukan penelitian selama satu tahun terhadap 463 remaja berusia 10-19 tahun di wilayah Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Penelitian itu mengelompokkan faktor dalam tiga kelompok, yaitu mikrosistem, mesosistem, dan makrosistem. Mikrosistem adalah faktor internal remaja, seperti: usia pacaran terlalu dini, norma negatif yang dianut, ketidakberdayaan remaja, pengetahuan kesehatan reproduksi rendah, kebiasaan berisiko, dan gaya hidup bebas. Mesosistem merupakan interaksi remaja dengan keluarga maupun teman sebaya. Sedangkan makrosistem memiliki cakupan lebih luas, seperti kontrol masyarakat.
Dari penelitian ini, Endang menyusun instrumen komprehensif yang teruji secara statistik. Uji diskriminasi, uji reliabilitas, dan uji validitas isi, dengan interpretasi pengukuran menghasilkan data dalam tiga kategori, yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Instrumen ini, dapat dimanfaatkan sekolah untuk mengidentifikasi siswanya secara berkala, terkait perilaku kesehatan reproduksi sehingga diketahui resikonya sejak dini.
“Kelompok siswa yang tergolong high risk harus mendapatkan perhatian yang lebih dibanding dengan kelompok low risk. Pihak sekolah dapat berkoordinasi dengan tenaga kesehatan maupun praktisi psikolog sehingga perilaku berisiko dapat diatasi sejak dini,” kata Endang dalam rilis yang diterbitkan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) UGM, tempat dia menyelesaikan pendidikan doktoral. [ns/ab]