Sementara hubungan antara Iran dan Arab Saudi diwarnai ketegangan politik dan agama, para analis mengatakan bahwa kesepakatan nuklir dengan Iran kemungkinan akan memperumit konflik yang sudah lama eksis antara kedua negara besar di kawasan Timur Tengah itu.
Revolusi Islamis di Iran pada 1979 memicu konflik geopolitik antara Iran dan Arab Saudi menyangkut pengaruh mereka di Timur Tengah.
Namun cendikiawan masalah Timur Tengah di Wilson Center, David Ottaway, mengatakan kerusuhan di dunia Arab, yang juga dikenal sebagai Arab Spring, mendorong Arab Saudi ke tingkat pergolakan politik yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang mempertegas perselisihan sektarian antara kerajaan Saudi yang dipimpin Sunni dan pemerintah Iran yang didominasi Syiah.
Ia mengatakan, setelah penandatanganan kesepakatan nuklir dengan Iran, Saudi menjadi semakin bertekad untuk menurunkan pengaruh Iran di kawasan itu.
“Bagi Arab Saudi, kesepakatan nuklir itu mencerminkan awal perubahan kebijakan Amerika Serikat yang tadinya mendukung Arab Saudi di Teluk Persia dan kini condong ke Iran, dan melegitimasi pengaruh Iran,” kata David Ottaway.
Ottaway mengatakan persepsi itu lebih jauh dikukuhkan oleh keberatan Saudi ketika Amerika dan Rusia mengundang Iran ke meja perundingan untuk membahas masa depan Suriah.
Ottaway khawatir Arab Saudi akan merasa perlu menunjukkan kemampuan sepihaknya di kawasan itu.
Para analis mengatakan, Iran berusaha menunjukkan keterbukaan baru pada diplomasi dan kerjasama dengan Barat, khususnya dengan Amerika. Ini paling tidak tercermin dalam sikap Iran yang dengan segera membebaskan para pelaut Amerika yang ditangkapnya, dan pertukaran tahanan antara Iran dan Amerika.
Menurut cendekiawan U.S. Institute of Peace, Robin Wright, sementara Iran muncul kembali di panggung dunia, pertanyaan mengenai negara mana yang dianggap lebih penting oleh Amerika menjadi titik fokus bagi Arab Saudi dan Iran.
Wright khawatir persaingan itu akan menggoyahkan prakarsa-prakarsa global yang lebih besar seperti pembicaraan perdamaian Suriah yang rencananya dimulai tanggal 25 Januari.
"Bahayanya, tentunya, adalah meskipun jika semua pihak menghadiri pembicaraan perdamaian Suriah, ada rasa kurang saling percaya antara kedua pihak, sehingga akan lebih sulit berkompromi,” jelas Robin Wright.
Wright mengatakan, kesepakatan nuklir itu telah memaksa kedua kekuatan terbesar besar di kawasan Timur Tengah itu menyesuaikan strategi dan posisi mereka. Menurut pendapatnya, Amerika harus mengakui kenyataan ini dan mengevaluasi keseimbangan kekuatan untuk melindungi Timur Tengah dan dampak negatif persaingan Saudi-Iran. [ab/lt]