Ketahuan Berjudi 4 Warga Aceh Hadapi Hukum Cambuk

  • Budi Nahaba

Dalam foto dokumentasi ini, algojo pelaksana cambuk mengayunkan rotan ke punggung pelanggar syariah di Banda Aceh, 19/9/2014 (Foto: VOA/Budi Nahaba)

Petugas syariah di Aceh usai sholat Jumat (3/10) melakukan prosesi hukuman cambuk terhadap empat warga yang berlangsung di halaman Masjid Agung Al Makmur Banda Aceh.

Keempat warga oleh hakim pengadilan syariah divonis bersalah melanggar Qanun 13 tahun 2003 tentang perjudian (maisir). Setelah dipotong masa tahanan, dari 7 kali vonis cambuk yang ditetapkan pengadilan, keempat warga masing-masing hanya menjalani 5 kali hukuman cambuk di muka umum.

Wali Kota Banda Aceh Illiza Sa’aduddin Djamal mengatakan Jumat (3/10), bahwa pelaksanaan hukum cambuk bagian dari komitmen Pemerintah Kota (pemkot) bagi umat Islam dalam menegakkan syariat yang berlaku di Aceh.

“Dalam penegakan syariat ini kita tidak bisa intervensi siapapun, yang kita jalankan hukum Allah, kalau ada warga yang komplain, komplain sama Allah, karena yang kita lakukan menegakkan syariat Allah,” kata Wali Kota Illiza Sa’aduddin Djamal.

Illiza mengapresiasi partisipasi warga dalam menekan praktik pelanggaran syariat demi mewujudkan Banda Aceh sebagai kota madani. Illiza meminta warga tidak mencela pelaksanaan cambuk dan penegakan syariat di Aceh.

Dari keempat warga yang menjalai hukuman cambuk hari Jumat, petugas syariah sebelumnya sempat menyita barang bukti, berupa seperangkat kartu judi (joker) berikut uang tunai senilai Rp 933 ribu.

Pelaksanaan eksekusi cambuk disaksikan ribuan warga (dewasa) usai sholat Jumat di Banda Aceh, dan merupakan prosesi cambuk kedua kalinya setelah pekan lalu, sembilan warga Banda Aceh divonis hakim pengadilan syariah untuk kasus yang sama, karena terbukti berjudi.

Pro kontra pelaksanaan cambuk di Aceh masih bergulir di tengah masyarakat, sebagian warga menilai penegakan syariah cukup tegas tanpa pandang bulu. Namun sebagian warga yang lain menilai pelaksanaan cambuk diskriminatif dan kurang manusiawi.

Aktivis sosial Sylvia Rosa mengatakan, aparat pemerintah semestinya memiliki formulasi dan opsi lain dalam upaya konkrit mencegah berbagai bentuk kejahatan yang meresahkan warga.

“Kampanye Banda Aceh kota madani itu pembohogan publik banget. Terkait pelaksanaan syariat atau agama itu kembali kepada masing-masing umat Muslim. Kita bukan Saudi Arabia, masyarakat belum siap. Yang paling penting itu, perkuat keluarga dan pendidikan anak-anak kita, apakah itu dilakukan oleh para pemangku kebijakan,”kata Sylvia Rosa.

Sylvia memuji beberapa pemuka muslim terutama yang dimotori kaum muda yang lebih memilih menekankan aspek-aspek pencegahan dan memperkuat kaum Muslim melalui lembaga-lembaga pendidikan resmi dan informal.

Politisi Aceh Bardan Sahidi mengatakan, penguatan masyarakat multiaspek sebagai pencegahan yang dilakukan petugas pemerintah, sehingga upaya menekan pelanggaran syariah berjalan baik.

“Cara kita berislam di Aceh banyak tafsir, kemudian diwujudkan dengan memiliki Qanun, ada Jinayat dan Jarimah beragam jenis sanksi di sana. Penguatan masyarakat perlu dilakukan melalui pendidikan terlebih dahulu, sehingga warga cukup siap dan memiliki pemahaman yang lebih komprehensif,” kata Bardan Sahidi.

Sosiolog terkemuka Guru Besar Universitas Syiah Kuala Aceh Prof. Bahrein Sugihen mengatakan, Qanun atau Perda merupakan produk hukum yang harus dihormati dan didukung pelaksanaannya. Namun metode penerapannya perlu lebih dimutakhirkan dan dilakukan kajian akademis yang lebih komprehensif, tambahnya.

Prof. Bahrein mengapresiasi otoritas pemerintah yang ingin mewujudkan Aceh madani, namun menyarankan agar menemukan model yang tepat dan proporsional agar penerapan produk hukum atau kebijakan lebih bisa diterima warga, lebih demokratis dan tidak diskriminatif.

“Itu tidak pernah diuji secara akademis, kita sendiri tidak mengetahui bagaimana makna “madani” itu dulu, saat ada kota Madinah (Saudi Arabia) yang aman tentram dan damai masa itu. Kondisi kita di Aceh tidak sama , kita barangkali harus mencari model kota yang baru yang memang menuju yang kita cita-citakan dalam bahasa kita sendiri, madaninya barangkali mestinya ke sana,” kata Prof. Bahrein.

Parlemen Aceh (DPRA) baru-baru ini mengesahkan tujuh Qanun atau Peraturan Daerah. Salah satunya, Qanun Jinayat yang mengatur tentang pelanggaran Syariat yang berlaku bagi seluruh umat Islam di provinsi itu.

Qanun Jinayat yang disahkan mengatur sejumlah sanksi bagi warga Aceh , khususnya kaum Muslim dan non Muslim yang terbukti terlibat kasus pemerkosaan, perzinaan, pelecehan seksual, pemerkosaan anak, mesum, judi, minum minuman keras yang memabukkan, termasuk memuat sanksi terhadap hubungan intim dengan pasangan sejenis, gay dan lesbian.

Qanun Jinayat melarang hubungan seksual sesama jenis, sanksi terhadap gay dan lesbian adalah hukuman cambuk dengan rotan 100 kali. Paling ringan sepuluh kali atau denda 100 gram emas atau penjara 10 bulan dan paling berat adalah 150 kali atau denda 1.500 gram emas atau penjara 150 bulan.

Organsiasi HAM terkemuka yang berbasis di London Inggris, Amnesty International, mengatakan otoritas resmi di Aceh semakin meningkatkan penggunaan hukum cambuk yang dinilai melanggar hukum internasional, melanggar Konvensi PBB melawan Penyiksaan, yang diratifikasi Indonesia pada tahun 1998.