Dorongan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen terus disuarakan oleh berbagai kalangan. Keterwakilan perempuan merupakan bagian dari upaya untuk memastikan terwakilinya kepentingan-kepentingan perempuan dalam berbagai kebijakan.
Lima ratus tujuh puluh lima anggota DPR, 136 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan 711 anggota MPR –yang merupakan gabungan anggota DPR dan DPD– hari Selasa (1/10), resmi dilantik dalam sidang Paripurna di gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta.
Dari 575 kursi di DPR itu, 120 kursi atau 20,87 persen diisi oleh perempuan. Jumlah tersebut meningkat 22 persen dibanding pemilu sebelumnya, yang ketika itu hanya mengisi 97 kursi. Sementara di Dewan Perwakilan Daerah ada 45 perempuan. Tujuh puluh persen dari mereka baru menduduki posisi sebagai wakil rakyat.
BACA JUGA: Kristalina Georgieva dan Puan Maharani, Dua Perempuan di Kursi PanasSekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia, Dian Kartikasari, kepada VOA, Rabu (2/10), mengatakan dengan latar belakang yang berbeda-beda, tantangan terbesar yang dihadapi saat ini adalah bagaimana menyamakan visi pada isu-isu strategis terkait dengan hak-hak perempuan dan anak, serta masyarakat secara umum, karena tidak semua memahaminya.
Dian juga menyayangkan kegagalan sejumlah politisi perempuan untuk terpilih kembali di DPR. Padahal pada periode sebelumnya mereka dikenal gigih memperjuangkan isu-isu strategis, seperti kesehatan reproduksi, kekerasan seksual, hak tentang pendidikan dan perkawinan anak. Antara lain Rahayu Saraswati dari Partai Gerindra, Eva Kusuma Sundari dari PDI-Perjuangan, Erma Ranik dari Demokrat dan Irma Chaniago dari Nasdem.
“Padahal mereka adalah orang-orang yang punya pemahaman yang baik tentang isu-isu kesetaraa gender dan dia tahu peta di DPR.” kata Dian.
Sebenarnya sejak pemilu 2004 sudah ada kuota 30% kursi bagi perempuan, namun hingga kini belum tercapai. Dian mengatakan, ia memahami fenomena ini karena untuk memperoleh suara terbesar, diperlukan logistik dan sumber daya yang juga besar. Perempuan, ujarnya, seringkali tidak memiliki hal tersebut. Dian mencontohkan kehilangan suara di tengah proses perhitungan karena tidak ada yang mengawal. Ini, kata Dian, sebenarnya merupakan masalah yang sangat krusial.
Persoalan lainnya, tambah Dian, sejumlah partai politik tidak memiliki strategi untuk memasukan atau meningkatkan keterwakilan perempuan karena partai yang bersangkutan kerap tidak memiliki aturan khusus untuk kaderisasi dan rekrutmen.
Your browser doesn’t support HTML5
“Sehingga mereka ketika menempatkan perempuan, milihnya mereka yang kepala daerah, karena logistiknya pasti ada. Atau artis. Mereka mencari perempuan-perempuan yang punya logistik dan modalitas, baik sosial maupun material,” tambahnya.
Dian berharap perempuan bisa mendapatkan posisi yang strategis di parlemen, karena jika tidak maka kekuatan untuk menyuarakan isu-isu perempuan akan berkurang.
Ada sejumlah “warisan” dari DPR sebelumnya yang sedianya diperjuangkan, antara lain RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender, dan RUU Kesejahteraan Sosial.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Ledia Hanifa Amaliah, juga menilai peningkatan jumlah keterwakilan perempuan di DPR akan menguntungkan dalam memperjuangkan isu-isu perempuan.
Menurut Ledia, politisi perempuan harus berargumentasi dengan baik dalam memperjuangkan isu-isu perempuan.
“Problemnya adalah yang bias itu ketika kemudian kita tidak berargumentasi dengan baik, orang cenderung akhirnya memandangnya tidak substantif, itu yang seringkali agak menjadi persoalan.
Ledia juga menyoroti fenomena banyaknya anggota dewan perempuan yang merupakan keluarga dari pimpinan daerah dalam periode 2019-2024 ini. [fw/em]