Hal itu dikatakannya Mahfud MD VOA, usai silaturahmi Idul Fitri pejabat negara dengan Presiden Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono, di Istana Negara, Rabu siang. Menurutnya, ketegasan dari pemerintah dalam hal ini lebih penting; baik melalui Keputusan Presiden (Keppres) atau Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) atau bahkan keputusan dari Menteri Hukum dan HAM sendiri.
Setelah Ketua KPK, Busyro Muqoddas, menyatakan keberatannya atas pemberian remisi atau pengurangan masa tahanan kepada terdakwa kasus korupsi, giliran Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD mengeluarkan pernyataan serupa.
Mahfud mengakui, memang ada alasan kemanusiaan yang dapat dikecualikan; misalnya karena terdakwa menderita sakit. Namun, jika dilihat dari pelanggaran hukum yang dilakukan, Mahfud menilai perbuatan para koruptor telah merusak negara.
“Ada alasan kemanusiaan kalau memang sudah luar biasa (kondisinya). Tetapi secara umum saya setuju dengan MK. Koruptor jangan dikasih hati, kalau perlu hukumannya ditambah karena koruptor itu merusak negara,” tegas Mahfud MD.
Berdasarkan informasi dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, ada 44.652 narapidana Muslim di seluruh Indonesia, yang mendapatkan remisi pada Idul Fitri tahun ini.
Dari 44 ribu lebih narapidana tersebut, 235 tahanan diantaranya terjerat kasus korupsi. Delapan orang dari jumlah tersebut juga langsung bebas. Mereka berasal dari Sumatera Selatan, DKI Jakarta dan Kalimantan Selatan. Rata-rata remisi yang diberikan antara 15 hari sampai dua bulan.
Saat ditanyakan, apakah pemerintah dan DPR perlu merevisi pasal-pasal mengenai remisi, Mahfud MD menjelaskan pada dasarnya ketentuan dalam UU yang mengatur soal pengurangan masa tahanan itu sudah jelas. Tetapi yang lebih penting, kata Mahfud, adalah ketegasan pemerintah; khususnya Kementerian Hukum dan HAM, saat mempertimbangkan remisi tersebut.
Mahfud MD mengatakan, “Di dalam UU dikatakan “dapat” diberikan remisi, jadi dapat diberikan dapat tidak. Itu tidak perlu ada revisi UU, cukup kebijakan pemerintah saja. Bisa lewat PP (Peraturan Pemerintah), Perpres atau bahkan dengan keputusan Menkumham. Memang begitu administrasinya, harus Kementerian yang mengatur. Keputusan akhir tetap di tangan menteri dan tentu dilaporkan kepada Presiden, pertimbangan untuk setiap orang (terdakwa). Maka saya pikir tidak perlu ada revisi UU.”
Sementara itu, Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar mengatakan ia sudah mengetahui keberatan Ketua KPK atas pemberian remisi kepada koruptor. Namun, sepanjang UU masih ada maka kebijakan remisi masih tetap berlaku.
Patrialis mengatakan, “Sementara ini peraturan itu masih jalan, karena belum ada revisinya ya kita jalan apa adanya saja. UU membolehkan remisi untuk kasus korupsi, ada syarat dan kondisinya seperti sudah menjalankan hukuman badan sepertiga (dari vonis), sudah membayar uang pengganti, dan uang denda.”
Mengenai keberatan yang diutarakan Ketua KPK, Busyro Muqoddas, Patrialis Akbar mengaku tidak masalah karena keberatan itu disampaikan secara pribadi.
“Menolak secara pribadi tidak ada kaitannya dengan institusi, kita aturan yang ditegakkan bukan orang per orang. Kalau aturannya tidak jalan justru melanggar HAM, itu bahaya. Kalau pendapat orang per orang tidak perlu dipikirkan,” ujar Patrialis.